Call Me!

7.1K 1.4K 102
                                    

Mei menatap kosong pada jalanan yang belum terlalu dijejali kemacetan. Rasa kantuk mendorongnya untuk menyandarkan kepala pada kaca jendela mobil sejenak saat berhenti di lampu merah. Perempuan berwajah sedikit pucat itu tidur terlalu larut dan bangun terlalu pagi. Entah sudah berapa kali ia menilik ponsel dalam tas tangannya setiap berhenti di lampu merah. Dan ketika tak ada satu pesan pun dari lelaki yang diharapkan, Mei menghela napas panjang.

Perempuan dengan rambut tergelung ke atas melepas pijakan rem dan kembali menjalankan mobil menuju apartemen William. Sahabat Amiko itu memintanya datang lebih pagi mengingat ia ada rencana menemui kolega bisnis pada pukul 11 siang nanti. Mei menilik arloji perak di pergelangan tangan kiri. Masih pukul tujuh pagi. Waktu yang longgar untuk mengumpulkan foto apartemen bersama furniture di dalamnya sebelum William benar-benar mendatangkan pembeli yang serius.

Mei memarkirkan mobil di basement. Berjalan perlahan lalu masuk lift. Lift berhenti di lantai 10. Perempuan itu segera keluar, menyusuri lorong dengan jajaran pintu bercat cokelat tua. Menyusuri lorong ini, Mei  teringat Amiko pernah mengikutinya saat bersama Brian dan lelaki itu menunggu di depan pintu. Pasti pikiran tidak-tidak mengerubutinya dengan liar saat itu.

Mei berhenti di apartemen unit 400. Ternyata apartemen William memang berdekatan dengan unit miliknya. Mungkin memang waktu itu Amiko baru berkunjung menemui sahabatnya. Ia belum sempat menekan bel ketika pintu di hadapannya terbuka menampakkan sosok jangkung berkemeja putih bergaris-garis biru muda.

"Hai, Mei?" sapanya. Senyum kecil tersungging di bibir lelaki itu.

Mei mengangguk ramah.

"Sini masuk, gue ambil kamera bentar, ya. Duduk dulu." William meletakkan ponsel ke sofa ruang tamu. Ia tergesa masuk mencari kamera.

Mei menelisik seisi ruangan. Ada foto sekumpulan remaja berseragam abu-abu di rak gantung yang terpasang rapi di sisi kiri dinding. Senyum itu tersungging menemukan sosok berambut cokelat dalam rangkulan William. Bersahabat dekat ternyata dan Amiko sewaktu remaja tampak manis dengan wajah ramah senyum serta tenang.

Sungkan masih berdiri padahal tuan rumah sudah mempersilakan duduk, Mei segera duduk di tengah sofa panjang di mana ponsel William masih menyala menampilkan status dari story WhatsApp kolega. Rasa penasaran membuat manik hitam Mei tertuju pada status yang terus berjalan menampilkan foto, kalimat-kalimat story, atau video aktivitas pengguna WhatsApp. Mungkin sebelum Mei datang, pemilik ponsel berwarna gold ini sedang iseng melihat-lihat status teman-teman lalu lupa mengunci ponsel dan tergesa masuk ke kamar mencari kamera.

Tak ada yang mengganggu. Perempuan itu justru sedikit terhibur sebab kolega William banyak yang pasang status lucu. Hingga status sebuah kontak dengan foto profil wanita berambut pirang dan bermata biru itu lewat.

"Hi, George! Are you happy?" Suara Emma sebagai perekam terdengar jelas.

"Yes!" Bocah laki-laki bermata cokelat dalam gendongan seorang pria itu menoleh ke belakang, menatap kamera dengan senyum lebar seraya memeluk leher sosok yang menggendongnya.

Hanya tampak punggung yang berjalan di depan Emma sambil menggendong putranya. Namun, Mei bisa mengenali sosok pria itu. Bahu lebar berbalut jaket hitam. Kaki jenjangnya terus melangkah mantap meski George dalam gendongannya bergerak-gerak aktif.

"Come on, Mike! Let's go to the park!" George bertepuk gembira.

Pria itu sempat menoleh sebentar dan tersenyum sekilas. Mereka benar-benar bahagia. Seperti keluarga yang sudah terpisah lama dan dipertemukan kembali. Mei menggigit bibir. Lagi. Gelisah itu berhamburan memenuhi pikiran dan hatinya. Ia meremas jemari di atas pangkuan dan terkesiap begitu pemilik ponsel kembali meraih benda pipih itu dari sofa.

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now