Break

6.6K 1.3K 50
                                    

Adukan susu dalam gelas menciptakan dentingan nyaring di pantry. Bukan hal sulit membuat sarapan. Lelaki yang mengenakan kaus tipis berwarna putih itu sudah terbiasa sendiri. Carmelita tak pernah memanjakannya. Hidup di San Francisco cukup keras. Wanita itu jelas sibuk memperbaiki ekonomi keluarga sejak bercerai. Amiko sendiri memilih melanjutkan pendidikan dan bekerja paruh waktu meski setiap bulan Alfi masih sudi membantu keberlanjutan studi putranya.

Pria berhidung bangir itu menuang kocokan telur di atas teflon, menutupnya dengan dua lembar roti tawar. Ia masih sempat membalik lembaran roti dan mengisinya dengan keju sekaligus beberapa lembar selada serta sedikit mayo dan saus tomat. Namun, aksinya itu terjeda sejenak begitu ponsel di saku celana hitamnya berdenting dua kali. Amiko segera mematikan api.

"Please, Mike, aku dan Jhonson tidak bisa membujuk George. Dia sudah dua hari tidur di apartemen Carmelita. George berkeras akan menunggumu sampai pulang."

Amiko terdiam menatap pesan dari Emma. Beberapa hari ini George mulai berontak. Kerap memaksa ibunya untuk kembali menemui Amiko, membuat Jhonson mulai pesimis bisa meraih hati bocah berusia empat tahun itu. Menemui Emma dan George bukan perkara mudah. Ia harus membicarakan ini bersama Mei dengan kepala dingin.

Amiko mengembuskan napas kasar seraya mengedikkan bahu dan meletakkan ponsel ke meja pantry sedikit kasar. Ia pusing. Rasanya tidak etis membicarakan ini sekarang sebab Mei baru saja pulang dari rumah sakit kemarin. Lelaki berambut cokelat itu meraih piring dan meletakkannya di atas nampan. Nanti saja dipikirkan lagi. Mei menunggu sarapannya.

***

Kesibukan Mei mencoret beberapa deret angka di kalender dengan tinta merah terhenti. Pesan dari nomor tak dikenal yang berisi perihal penjualan apartemen bermunculan. Agaknya sudah ada empat orang yang menghubungi Mei dua hari ini. Brian sepertinya menyerahkan semua urusan penjualan apartemen padanya secara sepihak. Lelaki itu bahkan belum menjelaskan maksudnya berbuat sedemikian nekat di kelab malam beberapa hari lalu.

Mei menggigit bibir. Ia pusing. Rasanya tak etis mengajak Amiko menemani menemui Brian demi membicarakan masalah apartemen penuh sengketa setelah apa yang terjadi. Suaminya jelas masih marah besar pada Brian. Mei menyugar rambut panjangnya. Ia menghela napas panjang bertepatan dengan Amiko masuk membawa nampan berisi sarapan.

"Waw, kamu bikin sendiri?" Mei menerima uluran segelas susu hangat setelah meletakkan kalender dan ponsel di pangkuan ke sisi tempat tidur.

Amiko mengedik sembari berkelakar, "Enggak, aku beli di Amerika makanya lama."

Mei mengerling tak percaya. "Naik permadani Aladin?"

Amiko menahan tawa dan Mei suka. Lelaki ini selalu menahan tawa tanpa mengalihkan pandangan dari lawan bicara.

"Kalau naik permadani, aku pasti ajakin kamu, Mei."

Lalu, tawa kecil terdengar dari keduanya.

"Apa kabar George? Sepertinya ada hal penting yang aku lewatkan."

Amiko mengembuskan napas panjang seraya merebahkan diri ke ranjang. Raut penyesalan itu muncul. Mei memang ingin menanyakan ini sejak kemarin. Sebab akhir-akhir ini Emma kerap menelepon. Mei urung menyentuh sarapan. Ia meletakkan kembali gelas susu ke nampan yang tergeletak di nakas.

"Sudah dua hari dia tidur di rumah Mama. Emma dan Jhonson tak sanggup membujuknya pulang." Manik cokelat Amiko menerawang ke langit-langit kamar.

Mei sama merebahkan diri di sisinya. Sama-sama menatap langit-langit kamar. "Sepertinya ... kita perlu menyelesaikan semua masalah dari masa lalu."

Amiko mengangguk setuju. "Aku pikir juga begitu."

Mei memiringkan tubuh, menatap lekat pada wajah yang sedang gamang. Mungkin cuma ini jalan satu-satunya yang harus mereka tempuh. Jalan untuk menguji bahwa Amiko dan Mei sanggup menjaga komitmen. Untuk menjaga komitmen itu, keduanya perlu membereskan segala gangguan dari masa lalu.

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now