Threat

6.7K 1.4K 73
                                    

Gadis dengan stiletto merah itu tampak duduk menyilang kaki di sofa lobi Madam Rose. Kemeja putih pas badan dengan kancing terbuka mendekati belahan dadanya tampak menantang. Ia melipat kedua tangan, sesekali menengok arloji perak di pergelangan tangan kirinya. Beberapa kali karyawan yang lalu-lalang melewati lobi itu sempat meliriknya. Entah terpukau atau mencibir, ia tak peduli.

Bibir berlipstik merah menyalanya melengkung tak minat begitu sosok wanita yang berjalan berdampingan dengan suaminya sesekali tertawa kecil. Entah apa yang mereka obrolkan, yang jelas kesenangan mereka jelas mengganggu pikirannya. Ia bergegas bangkit bertepatan dengan wanita itu menatapnya.

"Hai, Kak, bisa bicara sebentar?" Ia menyapa dahulu.

Perempuan itu terdiam beberapa detik dan mendesah. Suaminya berlalu paham dan mendahuluinya menuju lift.

"Mau bicara apa?" tanyanya tanpa berminat basa-basi.

Keduanya berjalan beriringan menuju kafe di sebelah lobi. Sepertinya gadis berpenambilan seksi itu tak enak hati menjejali perempuan dari masa lalu kekasihnya dengan peringatan di lobi.

***

Mei menyesap espresso usai menghirup aromanya. Sungguh ia sebenarnya tak ada minat berbicara dengan gadis yang lebih muda satu tahun darinya ini. Namun, demi menghormati sebagai sesama wanita di muka umum, Mei bersedia membuang waktunya barang sejenak.

"Bicaralah. Aku harus bekerja hari ini dan ingin segera menyelesaikan pekerjaan yang tertunda sebelum keberangkatanku bersama suamiku ke San Francisco."

Ya, semalam sebelum menjelang tidur, Mei sepakat berhenti dari pekerjaannya demi ikut suaminya ke San Francisco. Itu tidak buruk. Toh perempuan yang mengenakan rok span sebatas lutut dan kemeja berlengan panjang itu butuh suasana baru. Bisa jadi di sana nanti bisa mengunjungi tempat-tempat yang banyak mendatangkan inspirasi. Dania pasti senang kalau penulis kesayangannya kebanjiran banyak ide dan  mau giat menelurkan karya lagi. Dewi dan Rin juga pasti senang Mei kembali seperti yang dulu.

"Aku dan Kak Brian putus. Persahabatanku dengannya juga merenggang. Aku kira Kak Mei tahu kenapa itu bisa terjadi." Iris mata berlensa kontak abu-abu itu menatap tajam. "Tolong jauhi dia, Kak. Abaikan dia. Dan aku rasa keputusan Kak Mei pergi ke San Francisco adalah pilihan yang tepat."

Mei mencerna deretan penjelasan Lisa. Gadis bercat rambut pirang ini mungkin sedang mabuk atau otaknya sedikit bergeser karena terlalu dipenuhi kecurigaan yang tak masuk akal. Jauhi katanya? Abaikan?

"Wah, hubungan kalian yang bermasalah kenapa jadi aku yang dipersalahkan?" Mei menatap tegas seraya melipat kedua tangan di depan dada. Ia bersandar santai ke sandaran kursi kafe.

"Karena Kak Brian selalu merasa bersalah padamu dan ...."

"Oh, bagus dong. Tandanya dia masih punya hati nurani. Mencampakkan perempuan yang akan dinikahinya bukan tindakan yang pantas dilakukan laki-laki sejati. Tapi sekarang," Mei menjeda sebentar dan memberikan tatapan prihatin, "apa peduliku?"

"Kalau begitu tegaskan padanya bahwa Kak Mei tidak mencintainya lagi!" Lisa menyentak tak suka.

"Apa perlu? Aku sudah menikah, rasanya mendatangi Brian dan mengatakan tidak ada perasaan spesial lagi untuknya adalah hal basi, bukan? Seharusnya dia yang tahu diri."

Gadis di seberang meja Mei itu menggenggam cangkir lebih erat. Ia mengerutkan bibir yang sepertinya mulai bergetar.

"Oh, ayolah! Jangan jadi orang picik, Lisa. Kalian yang bermasalah kenapa harus menyalahkan orang lain? Tidakkah kalian introspeksi diri? Jangan-jangan yang punya masalah itu kekasihmu yang ... tak setia mungkin?" Mei mengedikkan bahu tak acuh, meneguk espresso tanpa menghabiskannya, dan berlalu.

Amiko, Te Amo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang