Annoyer

7.9K 1.4K 117
                                    

Senja di Pantai Kuta, Bali, selalu menghipnotis siapa saja yang melihatnya. Jingga yang membuat betah untuk berlama-lama menatap ke ufuk barat. Mei masih enggan kembali ke vila. Beberapa tas belanja tergeletak di kursi kosong. Wanita bertopi bundar dan rok flared putih tulang itu baru saja menyusuri Jalan Legian bersama suaminya.

"Mau minum?" Amiko kembali dari meja bar usai menemui rekan kuliahnya selama di San Francisco yang memilih menetap di Bali dan bekerja sebagai bartender.

Mei mengangguk diiringi senyum. Ia hampir meraih minuman dingin dengan irisan jeruk nipis dan daun mint di tangan kiri Amiko. Namun, pria itu segera mengangkat gelas lebih tinggi.

"Jangan yang ini. Ini punyaku," ucapnya pelan. "Takut kamu ketagihan."

Mei memberengut. Ini pertama kalinya ia ingin mencicipi mojito. Meski Mei kerap menuliskan minuman itu dalam novel-novelnya, ia belum pernah sama sekali menenggak minuman racikan berbahan dasar rum putih, gula, jus jeruk nipis, serta daun mint. Mei paham minuman itu memabukkan bila terlalu banyak diminum. Sebelumnya, wanita yang sekarang terpaksa mengalah minum mocktail, dulu hanya menemani Brian minum meski terkadang mantan kekasihnya meminta Mei untuk mencoba meski sedikit saja. Pun sama sekarang, ia batal mencicipi sebab Amiko hanya mengizinkannya melihat saja.

"Kamu ini aneh. Melarang istrimu minum cocktail, tapi dirimu sendiri meminumnya." Mei menggeleng heran.

"Aku lama enggak minum ini, Mei. Dulu sering."

"Sama mantanmu?" terka Mei seraya mengelus gelas mocktail-nya dengan ujung jari. Kalaupun bukan dengan mantan kekasih, pastilah dengan wanita yang pernah dikencaninya. Mei cukup paham lingkup perbedaan budaya antara dirinya dan Amiko.

Amiko tersenyum dan tak mengiakan atau menyangkal. Dari binar mata yang meredup Mei bisa membaca jawabannya sudah pasti iya.

"Jangan mabuk."

Amiko menggeleng lalu meletakkan mojito yang baru diminum dua teguk.

Mei terdiam cukup lama menatap hamparan pantai yang berkilau diterpa merahnya senja. "Apa caraku terlalu kuno dalam menjaga martabatku sebagai perempuan?"

"Maksudmu?"

"Aku enggak minum, enggak pernah mau dugem sampai pagi, enggak pernah mau kencan sembarangan. Apa itu kuno?" tegas Mei sekali lagi.

Amiko tersenyum kecil dan meneguk minuman di meja sekali lagi. "Enggak juga, Mei. Aku suka kamu yang seperti ini."

Mei mendesah usai menghela napas dalam. Masih sama. Rasanya masih menyesakkan ketika mengingat lelaki itu lebih memilih wanita yang hobi berteriak-teriak di meja bar, minum sampai pagi, dan hobi bergonta-ganti pasangan. "Kita kembali ke vila saja." Mei mengalihkan pembicaraan ketika Amiko hendak membuka suara lagi.

Pria berambut kecokelatan itu mengangguk. "Aku pamit sebentar. Kamu di sini saja, ya."

Mei mengangguk, menatap punggung lelaki berkemeja putih lengan panjang yang masuk ke dalam bar. Apa Amiko juga akan begitu? Meninggalkannya seperti Brian?

***

"Hei, kamu belum minum sampai mabuk, kenapa pergi?" James berkelakar.

"Tidak, aku harus membawa istriku kembali dengan selamat." Amiko tertawa kecil. Ia memang sudah lama tak lagi minum-minum sejak putus dengan Emma. Selama ini, alasannya mau minum hanya karena untuk menemani perempuan itu bersenang-senang.

James meledek dengan tatapan menyipit. "Waw, dapat gadis poloskah?"

Amiko berdecak kesal. Ia mengeluarkan dompet dan membayar minumannya di meja kasir.

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now