Te Amo! #2

7.3K 1.3K 39
                                    

Jajaran rak buku, antrean pembaca yang mengular menunggu giliran tanda tangan, dan wangi buku baru. Semua itu seolah menghidupkan jiwa Mei yang telah lama mati. Ada secercah kesenangan yang tak bisa ia gambarkan ketika menggores tanda tangan pada halaman pertama buku karyanya. Senyum dan sapa antusias pembaca yang menular membuat bibir perempuan berblazer merah bata itu melengkung sepanjang acara.

Dania sengaja membuat acara temu pembaca dan penulis khusus untuk beberapa penulis binaannya termasuk Mei. Lama tak ada kabar di dunia literasi membuat namanya sedikit surut dan perlu pendongkrak branding kembali demi memunculkan Mei ke hadapan pembaca setianya.

"Terima kasih, Kak."

Mei mengangguk dan tersenyum ramah. Selesai. Itu tadi peserta terakhir yang mengantre tanda tangan. Wanita dengan rambut tergerai bergelombang pada ujungnya itu menilik ponsel sebentar sementara Dania sibuk menemani penulis lain yang belum selesai menandatangani buku. Masih pukul empat sore. Ia masih punya waktu untuk menerima ajakan Dania minum kopi.

Amiko bilang akan pulang terlambat malam ini. Beruntung hari ini Dania membuat acara. Kalau tidak, Mei bisa mati kesepian di apartemen seharian ini. Ia menoleh ke arah perempuan berambut segi yang menyingkir dari keramaian. Tampaknya Dania sedang menerima telepon yang penting. Raut wajahnya berubah cemas.

"Duh, Mei, anakku lagi demam. Barusan suami telepon katanya makin panas. Kamu enggak apa pulang sendirian?" Dania mengemasi tas tangan dan beberapa buku catatan di meja.

"Eh, enggak apa. Aku bisa pulang naik taksi. Udah lama demamnya?" Mei menatap prihatin. Dania bukan tipe wanita karier yang mudah mengabaikan kabar perihal anaknya yang sakit. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu cukup bisa dipandang sebagai sosok ibu yang baik.

"Dari semalam. Sekali lagi maaf ya, Mei. Aku janji bakal ajakin kamu minum kopi next time sebelum kamu berangkat ke Amerika." Dania menepuk mantap bahu Mei sebelum pamit pulang.

Mei sendiri hanya bisa mengangguk dan memakluminya. Kepergian Dania sedikit mengetuk ingatannya mengenai keinginan Amiko menghadirkan anak dalam rumah tangga mereka. Ia menghela napas panjang. Apa harus secepat itu, ya? Apa tidak sebaiknya nanti-nanti saja setelah Mei bisa menata emosi?

Denting ponsel berkali-kali mengusik lamunan Mei. Ia mengerjap menyadari belum meninggalkan grup Madam Rose. Berbekal keisengan ia membuka ruang chat yang ramai. Sayangnya, obrolan di sana justru membuat suasana hati Mei buruk. Sebuah foto tangkapan layar media pengunduh menampilkan rating Madam Rose yang belum pulih. Disusul beberapa cuap-cuap di akun seseorang yang membahas dampak buruk penggunaan aplikasi dating online. Bukan milik Brian, tapi agaknya postingan itu tercetus ketika publik membaca kritikan Bree_26 di aplikasi pengunduh beberapa hari yang lalu.

Rasa tak enak hati menelusup. Mimpi Rose berantakan karena Mei meski terjadi secara tidak langsung. Ini harus dihentikan. Tak butuh waktu lama untuk Mei menekan nomor seseorang, mengetik sederet pesan, dan membuat janji temu sekarang juga. Setidaknya untuk mempertegas kembali.

***

Lelaki yang mengempaskan diri ke sofa ruang santai itu mengendurkan dasi di leher. Dua detik kemudian menyusul jas yang ia lempar begitu saja ke lengan sofa. Tatapan mata sipitnya menerawang ke arah langit-langit kantornya.

Masih belum ada perkembangan. Yang lebih menyebalkan lagi, ketika ia berusaha keras menghubungi akun Madam Rose Mei_admin05 selalu tak ada jawaban dan dialihkan ke admin lain. Harus bagaimana agar bisa menemui wanita itu? Rasanya kurang etis bila harus ke rumah Dewi. Perempuan paruh baya itu pasti sudah sangat tersinggung dengannya. Tak mungkin tiba-tiba menemui Dewi demi menemui Mei.

Menghubungi nomor ponsel Mei pun sia-sia saja. Sepertinya Amiko mulai tak suka dengan sikap keras hati Brian. Menemui Mei di kantor Madam Rose pun mustahil sebab Amiko juga bekerja di sana. Belum lagi akhir-akhir ini Rose mengibarkan bendera perang. Perempuan nyentrik, putri dari kolega bisnis papanya, sudah memberikan peringatan untuk berhenti mengusik kantor admin Madam Rose.

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now