George

7K 1.4K 96
                                    

"Hi, Mike! I miss you!"

Bocah berusia empat tahun itu melompat-lompat di depan kamera. Menatap ke arah kamera dengan mata bulat bermanik cokelat. Bibir tipisnya mengukir senyum ramah tak berkesudahan. Ia memeluk boneka Spiderman di depan dada. Ah, boneka itu masih saja disimpan dengan baik. Setahu Amiko, Emma rajin mencucinya setiap akhir pekan.

George masih beraksi dalam video berdurasi empat menit itu. Anak laki-laki berambut pirang seperti ibunya itu menunjukkan mainan baru yang katanya ia dapat dari Daddy Jhonson. Sepertinya George mulai bisa menerima pria pilihan Emma dalam hidupnya.

"I miss you, Mike!"

Lagi. Kalimat itu membuat dada lelaki yang tengah duduk di balkon menatap layar tabletnya menghangat. Rindu yang tak berkesudahan. Hanya itu yang bisa dirasakan.

Waktu tiga tahun ikut menemani tumbuh kembang George adalah waktu yang sangat cukup membuat keberadaannya sangat berarti. Bocah itu memang tak diinginkan pada mulanya. Siapa pula yang bisa langsung menerima bila semua terjadi di luar ke sadaran mereka. Last Friday Night. Pesta akhir pekan yang diadakan sampai pagi, berujung membuat keduanya mabuk berat.

Meski Amiko menolak datang dengan berbagai alasan, bujukan sahabat baiknya--Emma dan Jhonson--membuat ia tak ada dalih lagi untuk tak datang. Dan di situlah petaka bermula. Hingga sebulan kemudian Emma datang dengan wajah panik dan sebuah test pack di genggaman.

Meski demikian, tak ada jalan keluar yang lebih baik untuk menyelesaikan perkara kecuali melahirkan George. Emma dan keluarga bersedia merawat bayi itu. Hingga mereka lulus kuliah, perasaan tak tega mendesak Amiko mengajak Emma tinggal bersama dan bergantian menjaga George yang baru berusia satu tahun sebab Emma harus bekerja sebagai digital marketing di sebuah perbankan.

Nyatanya, hidup bersama hingga 3 tahun tak juga membuat hati Emma tersentuh. Amiko terlarut dalam perasaannya sendiri yang kemudian berakhir dengan cinta sepihak dan ibu dari George itu tetap memilih menambatkan hati pada cinta pertamanya--Jhonson.

"Elonya aja yang baperan!"

Perkataan pedas William kembali berdengung di telinga Amiko. Ah, membuatnya frustrasi saja. Ia menghela napas panjang, mengusap wajah sedikit kasar. Mengingat masa lalu memang selalu pahit.

Ia harus menyudahi ini semua. Agar hidupnya tenang. Agar dirinya tetap bisa berdiri pada posisi yang semestinya dan tak terombang-ambing begini. Amiko mematikan layar tablet. Lelaki yang hatinya terus gamang itu memilih menutup pintu balkon, meletakkan benda elektronik itu di sofa ruang tengah, dan menyusul istrinya yang tertidur sejak sejam yang lalu.

***

"Kayaknya hari ini aku pulang malam, deh." Wanita dengan apron hitam itu mengaduk sup di panci, menyendok sedikit lalu mencicipinya. "Soal perkataan Mbak Rin semalam, enggak usah dipikirin dulu, deh. Toh aku juga belum ada rencana sejauh itu. Dia emang suka ngawur kalau ngomong."

Kali ini Mei menuang air panas ke cangkir kopi di meja bar. Aroma kopi bercampur gula tercium menggoda. Namun, pria sedari tadi duduk di kursi kaki tiga itu masih saja bergeming. Melamun lagi. Mei mulai menyadari jika suaminya memang hobi sekali melamun. Amiko mengerjap begitu tangan kanan Mei menjawil bahunya.

"Kamu melamun lagi?" Mei menaikkan kedua alis.

"Apaan tadi, Mei?" Amiko mengembuskan napas pelan seraya meraih uluran secangkir kopi dari istrinya.

Mei menipiskan bibir, pertanda ia sadar sedari tadi tak didengar, dan itu menyebalkan. "Aku pulang malam hari ini."

"Oh, iya. Mau dijemput jam berapa? Aku enggak ngantor hari ini. Mau kerja dari rumah."

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now