Hot Gossip

8.1K 1.5K 26
                                    

"Ditunggu calon suami di lobi," gumam Mei mengulang perkataan Pak Satpam yang baru saja ia temui di lorong depan ruang admin.

Perempuan beralis natural itu menggeram kesal seraya mengentakkan langkah kaki lebih keras. Sepanjang 6 jam bekerja, ucapan selamat berdatangan setelah Amiko kembali ke ruangannya. Dimulai dari Ratna, staf marketing paling muda di Madam Rose, yang mengucapkan terima kasih atas traktiran kopi dan snack usai makan siang. Kemudian menyusul karyawan seisi ruangan admin memberi selamat begitu riuh. Termasuk Rose, si founder Madam Rose, juga bertutur mengenai keterkejutan atas resminya hubungan Mei dan Amiko sebagai pasangan kekasih.

Mei memberengut sebal mengingat kejadian itu. Kenapa bisa lelaki setengah bule itu sembarangan mengumbar status tanpa persetujuannya? Ia menatap bayangan dirinya di sisi lift, menanti sampai di lantai 1 sembari bersandar malas.

Begitu pintu lift terbuka, iris hitamnya mengedar ke penjuru lobi. Hidung bangirnya kembang kempis berusaha mengatur napas agar emosi tak langsung meledak begitu saja.

Sosok berkemeja denim itu tampak sedang duduk di sofa berbentuk lingkaran. Ia tak menyadari kedatangan Mei. Lelaki itu tampak terpekur menatap gerimis melalui dinding kaca lobi. Mei hampir menjawil bahu Amiko. Namun, urung saat menyadari pria itu sedang melamun.

Takut membuat lelaki berambut kecokelatan yang sedang termenung terkejut, Mei melambaikan telapak tangan tepat di depan wajah Amiko. Pergerakan tangannya terhenti begitu lelaki itu tersadar dan menyambar tangan Mei.

Wanita dengan rambut bergelombang pada ujungnya itu berjengit kaget. Tatapan keduanya berserobok sejenak dan membuat Mei salah tingkah. Beruntung Amiko segera melepas genggaman tangannya. Jantung Mei batal berdebar-debar dan ia membuang napas lega.

"Ka-kamu ... bilang apa sama orang kantor?" Tiba-tiba amarah di dada lebur dan gugup melanda.

Bibir Amiko melengkung, menampilkan senyum hangat yang nyatanya membuat Mei tak sanggup menolak keramahan itu. Ia bangkit dari sofa lalu membungkuk demi mendekatkan wajah ke telinga Mei dan berbisik, "Aku bilang kita jadian."

Hah? Jadian? Kapan? Belum sempat mencecar lebih banyak, Amiko berlalu.

"Sampai ketemu besok pagi, Mei!" serunya sambil melambai dan berjalan mundur di pelataran gedung.

Perempuan yang sedang berdiri di tengah-tengah lobi yang mulai senyap itu menatap tak percaya pada sosok yang menjauh bak ditelan gerimis di tengah malam. Lelaki itu seolah menawarkan diri untuk mengulurkan tangan, mengangkat Mei dari palung yang sempit dan menyesakkan.

***

Kamar apartemen dengan dominan warna abu-abu dan putih masih gelap. Lampu baru mulai menyala seketika pria dengan kemeja setengah basah itu masuk, melepas pakaian, dan menyisakan celana jins hitam. Ia mendekat ke sisi kiri ranjang di mana jendela kaca tampak menyuguhkan pemandangan Kota Jakarta dengan gedung-gedung pencakar langit.

"Cara elo terlalu ekstrem, Mik. Yakin udah bisa lupain Emma? Jangan cari masalah apalagi bawa orang lain ke pusara sakit hati lo, deh. Ribet!"

Obrolan bersama William dua jam lalu terngiang. Apa benar dirinya belum bisa melupakan masa lalu? Apa tidak boleh dua orang yang sama-sama sedang patah saling menyembuhkan luka?

Wanita berambut pirang keemasan dengan senyum menawan itu memang sulit dilupakan. Bagaimana bisa Amiko lupakan bila jalinan kisahnya bersama Emma hampir menginjak usia tiga tahun dan kandas begitu saja?

Amiko kembali menerawang, menatap jalanan di bawah sama. Kendaraan masih padat merayap meski jam digital di atas nakas telah berganti menunjukkan angka 22.00. Namun, ia sama sekali belum ada minat untuk tidur.

"Meisya Talitha," gumamnya seraya mengempaskan tubuh ke ranjang dan melekatkan lengan kanan di kening. Apa bisa ia memilih Mei sebagai teman hidup dan membuang segala kenangan buruk?

Ponsel di tepi ranjang berdengung dua kali. Mulanya Amiko enggan membuka kunci layar benda pipih dengan logo apel tergigit itu. Namun, sederet nomor tak dikenal memaksa dirinya membuka pesan.

"Kamu harus bertanggung jawab meluruskan gosip tak benar di kantor."

Kikikan geli muncul begitu pesan berikutnya masuk.

"Meisya."

Dari mana wanita itu dapat nomor ponselnya? Apa mungkin Mei mencari tahu lewat Rose?

Tak butuh waktu dua menit untuk Amiko membalas, "Gosip yang mana? Itu sebuah kebenaran."

"Aku tidak mau ada yang salah paham! Aku juga tidak mau disangka sedang cari pelarian!"

Pelarian? Amiko mendesah sambil menatap kosong pada layar benda pipih di tangan kanan. Malas berdebat yang berujung mengusik pikiran, ia mengetik, "Jadi kamu membatalkan lamaranmu?"

"Aku sudah bilang itu bercanda!"

"Bercandamu enggak lucu."

Tak ada balasan lagi kecuali kiriman emoticon geram berwarna merah. Amiko kembali tersenyum. Marah lagi? Mei gampang sekali diusik.

***

Kesal tak tertahan membuat wanita yang sedang mengusap pipi dengan serum perawatan wajah mendumal tiada ujung. Kenapa sih Amiko selalu mengungkit lamaran konyol itu?

Meski tak dimungkiri, semua wanita yang bisa mendapatkan pria tampan dengan mata cokelat itu pasti merasa beruntung dan tak mungkin menolak berpasangan dengannya. Namun, Mei sedang tak ingin menjalin hubungan serius dengan siapa pun. Saat pikirannya sedang waras dan mulai bisa berpikir logis, ia tak ingin terburu-buru mencari pasangan. Toh perkaranya bersama Brian belum tuntas sepenuhnya.

Mengingat nama mantan calon suami membuat Mei yang sudah merebah di kasur merangkak turun ke karpet. Ia meraih ponsel yang semula dilempar sembarangan ke atas karpet. Jari telunjuknya sedikit gemetar saat membuka status WhatsApp. Dadanya bergemuruh ketika jemarinya menekan pembaharuan status Brian.

Foto berdua lagi. Lagi-lagi kemanjaan Lisa membuat perut Mei serasa diaduk-aduk. Wanita yang lebih muda satu tahun dari Mei itu tampak melekatkan dagu di pundak Brian. Kenapa Brian berubah drastis saat menjalin hubungan dengan sahabat masa kecilnya? Oh, atau memang selama bersama Mei, Brian sebenarnya hanya berusaha menekan ego dengan mengikuti tabiat kekasihnya yang tak suka mengumbar foto berdua?

Mei menggigit bibir. Ia kembali mencari celah di mana letak kekurangan dirinya sampai Brian setega itu. Di tengah kegelisahan  batinnya, getar ponsel di tangan kanan membuat Mei menggeleng. Ia berusaha melupakan sejenak dengan membuka beberapa pesan di grup kantor.

Namun, sederet foto saat Mei duduk berdampingan di ruang admin bersama Amiko membuat bibir tipisnya membuka dan menutup tak percaya. Salah satu rekan admin pasti ada yang iseng mengambil foto ini.

Ruang obrolan di grup ramai membahas hubungannya dengan Amiko. Mei mengacak rambut frustrasi. Sepertinya semua karyawan Rose kelewat terlalu sok akrab, hobi bergosip meski di depan orang yang bersangkutan sekalipun.

Mei baru saja akan mengetik sederet kalimat panjang lebar ketika ponselnya kembali berbunyi.

"Kita butuh bicara. Aku tunggu di kantin Madam Rose besok pagi pukul 7. Bawa sertifikat apartemen."

Pesan tanpa basa-basi itu sontak membuat Mei terpekur. Secepat ini Brian ingin segera menyelesaikan semuanya. Mei tertawa hambar.

***

(28-01-2021)

🍁🍁🍁

Yang melamar Mei, yang ngejar-ngejar Amiko. 🤣

Hai, apa kabar di hari Kamis? Sehat?

Yang setuju apartemen bersama itu dijual terus dibagi 2 siapa?

🤭🤭

Jangan lupa vote dan komen ya, Kak. 🥰
Terima kasih. 🤗

🍁🍁🍁

Amiko, Te Amo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang