Disaster #1

6.7K 1.3K 128
                                    

Bree_26: "Aku putus dengan kekasihku."

Mei mengernyit. Setelah lelaki ini meninggalkan kekasihnya demi wanita lain, lalu putus karena penyesalan. Begitu yang Mei tangkap dari isi curhatan pengguna akun Madam Rose yang sering menyambangi meja adminnya.

Mei_admin05: "Kenapa? Bukankah kamu mencintainya?"

Bree_26: "Bayang-bayang mantan kekasihku selalu muncul. Rasa bersalah terus menggerogotiku. Aku harus minta maaf padanya."

Mei_admin05: "Oh, begitu ya? Lalu?"

Bree_26: "Aku akan menemuinya hari ini. Setidaknya meski sudah tak ada ikatan aku masih bisa berteman dengannya, kan?"

Mei_admin05: "Aku dukung niatanmu meminta maaf, tapi ... apa iya kamu sudah yakin dengan keputusanmu memilih mengakhiri hubungan dengan kekasih barumu?"

Tak ada balasan lagi. Mei menghela napas lega. Perempuan yang semula menatap serius pada layar komputer itu meregangkan otot tubuh lalu merauh cangkir kopi di sisi kanan meja. Alisnya berkerut saat merasakan minumannya sudah dingin dan ... tidak enak!

Mei meninggalkan kopi di meja, segera bangkit, dan meraih handbag di bawah meja. Siang ini perempuan berblazer hijau tosca dan rok span sebatas lutut itu pulang sendiri. Amiko tidak ada jam kantor dan sedang menemui William--urusan pekerjaan.

Sepertinya kalau memang pekerjaan suaminya berpindah-pindah, Mei berencana berhenti bekerja dan memutuskan kembali mendobrak dunia perbukuan kembali melalui karyanya. Jujur sejak dulu ia lebih suka bekerja dari rumah.

Tepat ketika Mei sampai di lobi, ia berbelok ke arah kiri menuju kafetaria. Kopi yang mendingin tadi membuatnya berkeinginan minum espresso sebelum beranjak pulang. Mengeluarkan dompet lalu tersenyum ramah pada perempuan penjaga stand kopi di balik meja bar. Ia baru baru saja menunjuk menu minuman yang disodorkan pelayan berapron hitam ketika tepukan lembut menyapa bahu kanan.

Mei menoleh lalu mengerjap menyadari senyum lebar dari sosok berpakaian formal. "Eh, Brian?"

"Hai, Mei. Apa kabar?" Pria di sisi Mei itu tak memandang lawan bicara dan mulai sibuk memesan dua cangkir espresso.

Wanita berbandana hitam itu belum sempat menjawab pertanyaan basa-basi tersebut. Namun, Brian sigap menuntun Mei duduk di kursi dekat jendela tanpa memberi kesempatan padanya untuk menolak.

"Ada yang perlu aku bicaraain sama kamu, Mei."

Manik bening perempuan di seberang meja  Brian itu mengerjap bingung. "Tentang?"

"Ada seseorang yang berminat membeli apartemenmu. Aku sudah janjian dengan orang yang bersangkutan untuk melihat-lihat isi apartemen hari ini. Rasanya kamu juga harus terlibat, Mei."

Mei mengembuskan napas pelan. Ia urung menanggapi ketika pelayan datang menyuguhkan dua cangkir minuman. Agaknya terlalu malu diperbincangkan saat ada orang lain di sekitar mereka.

"Aku sudah bilang, kan, terserah mau gimana, yang penting DP sama sebagaian besar cicilan kembali padaku. Kalaupun Lisa mau membelinya, aku pun tak masalah." Mei bersandar ke kursi serasa melipat kedua tangan di dada. Tatapan tajam perempuan itu tak mau kalah. Bagaimanapun bicara dengan laki-laki ini tak boleh terlihat lemah.

"Mei, aku mau kita membicarakan ini bersama ...."

"Tidak ada kata 'kita' sejak kamu mengakhiri semuanya, Bri," rutuk Mei dengan gigi bergemeletuk.

"Please, Mei ... kali ini aku mau memperbaiki diri. Aku mau minta maaf dan kalaupun kita enggak bisa kayak dulu lagi, seenggaknya masih bisa berteman kan, Mei?" Mata sipit Brian menatap penuh harap.

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now