Our Family

7.6K 1.5K 35
                                    

Suara piring dan gelas berdenting nyaring ketika Dewi meletakkannya sedikit kasar ke wastafel. Mei menggigit bibir, meraih sisa gelas kosong di meja makan dan membawanya mendekat sedikit ragu.

"Mama ... enggak suka sama Amiko?" Perlahan ia membuka suara, mengambil alih spon pencuci piring dari tangan Dewi.

Dewi menoleh sebentar, menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. Wanita dengan kemeja batik cokelat tua itu sangat terkejut mendengar penuturan putri bungsunya seminggu yang lalu. Bagaimana bisa Mei secepat itu mengambil keputusan untuk segera menikah setelah 45 hari pasca gagalnya pernikahan dengan Brian?

Bukannya Dewi tak suka. Setelah Mei membawa calon ke rumah malam ini dan mengajak makan malam bersama di rumah, Dewi sedikit lega karena Amiko cukup sopan dan bisa dibilang mapan dengan pekerjaannya saat ini. Namun, perkenalan mereka baru seumur jagung. Menjalin hubungan serius bersama Brian selama satu tahun saja kandas, apalagi bersama Amiko yang baru kenal kemarin.

"Apa enggak terlalu cepat? Kamu tahu bagaimana keluarga Amiko? Sudah pernah bertemu mama dan papanya? Apa mereka mau menerimamu dengan baik?" Dewi mengeringkan piring yang telah dicuci bersih.

Pergerakan tangan Mei yang mengusap busa sabun ke permukaan gerabah terhenti dan menunduk dalam. Itu pertanda bahwa putri bungsunya memang belum mengenal calon suaminya dengan baik. "Pikirkan baik-baik, Mei. Enggak perlu terburu-buru. Mama cuma enggak mau kamu salah pilih lagi."

Dewi menepuk bahu kanan putrinya dan berlalu ke kamar. Ia membiarkan Mei menyelesaikan sisa pekerjaan di dapur sementara Rin sedang mendampingi Aldi--putranya--mengerjakan PR. Dewi paham seberapa kuat Mei kalau sudah mengambil keputusan. Anak bungsunya keras kepala, tapi setidaknya sebagai mama, Dewi sudah berusaha membimbingnya.

***

Lelaki yang menyandang jas di lengan kiri itu baru saja pulang menemui keluarga Mei. Perbedaan fisik memang kerap membuat siapa saja ternganga. Entah berapa kali Amiko menahan tawa saat keponakan Mei bertanya kenapa warna rambutnya cokelat, iris matanya berbeda dengan milik Tante Mei, dan tubuhnya terlalu jangkung dibanding teman lelaki Tante Mei.Kehadiran bocah berusia 7 tahun itu cukup membantu mencairkan suasana yang semula tegang dan membuat dada berdesir tak keruan.

Sebelum mengenalkan Carmelitta--mama kandung Amiko--pada Mei, ia merasa perlu memperkenalkan diri dahulu pada keluarga kekasihnya. Kekasih? Kenapa terasa janggal disebut sebagai kekasih? Apa karena mereka jadian dadakan usai ajakan menikah kedua kalinga Sepertinya tidak etis mengajak Mei ke dalam lingkup keluarga besar tanpa izin dari orang tua Mei. Ah, entah apa yang akan dikatakan Mama nanti saat tahu putra tunggalnya ini mengambil keputusan mendadak untuk segera menikah.

Carmelitta tahu seberapa besar Amiko menyayangi Emma. Namun, rasa-rasanya mempertahankan rasa sayang pada mantan hanya membuang-buang waktu. Setidaknya itu cukup jadi alasan di depan Carmelitta nanti.

Langkah kaki jenjang Amiko terhenti di lobi apartemen. Sosok pria paruh baya berjas hitam dan sepatu mengilap itu tampak berdiri menghadap  dinding kaca, menatap ke arah pelataran apartemen. Amiko hampir melempar senyum, tapi batal saat menyadari kehadiran wanita berwajah oval dengan kemeja putih dan rok span abu tua sebatas lutut. Perempuan itu duduk sambil menyilangkan kaki. Ujung bibirnya terangkat sebelah, pertanda sinis merajai dirinya saat bertemu muka dengan Amiko--putra Alfi dan Carmelitta.

"Baru pulang?" tanya Alfi.

"Iya," sahut Amiko singkat. "Papa apa kabar?" Ia tersenyum tipis meski jantungnya bergemuruh.

Pertemuan antara  anak dan papanya itu terkesan kaku. Tak ada pelukan hangat dan tepukan bangga pada punggung keduanya. Meski Carmelitta masih berusaha menyambung pertalian anak dan sang papa melalui telepon sebulan sekali, Amiko enggan untuk sekadar berbasa-basi.

Amiko, Te Amo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang