Meeting

6.5K 1.4K 87
                                    

Ponsel di nakas berdengung, mengganggu pria di balik selimut yang ia rasa baru pada pukul empat pagi terlelap. Rasa kantuknya belum genap Amiko puaskan di atas kasur empuk. Begitu benda pipih itu memecah keheningan pagi hari, ia mengerang, mengumpat pelan saking sebalnya.

Semalaman Amiko tak tidur. Sengaja menyibukkan diri menyelesaikan pekerjaan demi membuang gelisah ketika Mei melayangkan pesan memilih menginap di rumah Dewi. Ia tahu istrinya pasti butuh waktu untuk berpikir. Itu sebab lelaki berkaus tipis dengan warna putih sengaja mengiakan saja meski batin jelas terusik. Sejak menikah, rasanya aneh bila ranjang sisi kiri kosong tak bertuan.

Lagi. Benda persegi panjang berlogo apel tergigit itu bergetar seolah memaksa penghuni kamar segera bangun. Amiko meraba nakas, memicingkan mata. Ia melenguh putus asa saat membaca nama William terpampang di layar.

"Apaan?" erangnya galak.

"Ck, jangan lupa siang jemput George di bandara. Rempong banget, sih, mantan lo? Bikin gue sensi!" Suara di seberang tak kalah gusar.

Amiko memang hanya membalas pesan dari Emma dengan kalimat-kalimat singkat. Entah itu kata, yes, no, sure, fine, sorry, atau no worry. Hanya beberapa kali mengangkat video call bila itu memang permintaan George. Mungkin itu yang membuat Emma lebih memilih merecoki William untuk urusan mempertemukan putranya dengan Amiko.

"Tahu ...." Lalu setelah berucap satu kalimat itu Amiko memilih mematikan ponsel dan berminat kembali tidur.

Lagi. Dengung sialan itu membuat Amiko memaksa diri bangkit dari tiduran dan menurunkan kaki ke lantai. Ia hampir saja berminat menyembur si penelepon. Namun, segudang omelan William lebih cepat daripada minatnya.

"Belum juga kelar ngomong ditutup! Lo kapan balik ke San Francisco?"

"Balik gimana? Mei aja kerja di sini." Amiko menghela napas panjang.

"Bawa Mei jugalah ke sana. Toh gaji lo di sana lebih menggiurkan. Aku ada proyek lagi nih dari teman yang buka perusahaan makanan di sana."

"Hmm ...." Untuk selanjutnya, lelaki yang kini berdiri dan menapak ke arah jendela, membiarkan manusia di seberang mengoceh panjang lebar. Dan setelah bersusah payah menjelaskan, ia hanya berkata, "Kirim aja proposal kerja samanya ke e-mail."

Selesai. Pasti William bersungut-sungut dan sangat berminat membanting ponselnya ke lantai. Amiko menahan senyum puas telah membuat sahabatnya kesal sebagai ajang balas dendam mengganggu acara tidur yang belum tuntas. Tebakannya tak pernah salah. Beberapa detik kemudian sederet pesan dari William mengusik.

"Sialan. Bilang dari awal kek minta proposal langsung. Capek jelasin gue!"

Amiko tersenyum makin lebar. Ia melempar telepon genggamnya ke ranjang. Kantuknya menguar entah ke mana. Namun, ia berminat kembali rebah setidaknya sampai pukul 10 siang sebelum menemui George di bandara setelah pukul 12 siang. Ketika sudah menarik selimut, suara berisik di dapur mengurungkan keinginannya bergelung kembali. Aroma mentega tercium melalui celah pintu kamar yang tak tertutup sempurna.

Bergegas ia menyingkap selimut kembali. Kegelisahannya lebur begitu menemukan sosok yang sedang berjinjit meraih cangkir di atas kitchen set. Beberapa kresek belanjaan tegeletak di meja bar. Paper bag bergambar Mickey Mouse tampak bertengger di meja kaca ruang tengah.

Rasa lega Mei kembali membuat lengkungan di kedua sudut bibir semakin tampak. "Mei ...."

"Mm?" Perempuan itu menoleh tanpa melupakan adukan pada dua cangkir kopi di meja.

Amiko sedang tidak ingin banyak tanya meski buncahan tanda tanya memenuhi otak. Untuk sekarang ini ia hanya ingin meraih tubuh berbalut dress babydoll berwarna biru muda itu ke dalam pelukan.

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now