Wedding Night

9.3K 1.5K 75
                                    

Suara obrolan di bawah terdengar samar dari kamar Mei. Dewi dan beberapa sanak saudara sedang membicarakan persiapan acara besok pagi. Mei duduk di sisi jendela, menatap gaun pengantin berbentuk A-line yang anggun. Gaun berwarna putih itu tampak tergantung rapi di sisi lemari.

Sesekali Mei memutar cincin di jari manisnya. Sejumput keraguan kadang hadir meremukkan kemantapan hati. Apa benar langkah yang ia tempuh ini? Apa benar Amiko bisa diandalkan? Aapa benar lelaki itu bersedia karena tulus meski tak ada cinta pada mulanya?

Namun, rasanya tak pantas bila ia membatalkan semuanya setelah rencana tersusun rapi begini. Tak ada celah untuk mundur. Amiko serius mau menikah dengannya meski Mei tak yakin adakah cinta dalam keseriusan itu. Carmelitta teramat baik dengan rela menelan mentah-mentah egonya berdampingan dengan Alfi demi melamar seorang anak gadis untuk putranya.

Mei yakin menjadi Carmelitta sungguh tak mudah. Namun, demi menunjukkan keseriusan putranya, ia rela datang.

"Mei, Mbak masuk boleh?" Suara Rin terdengar.

Wanita itu segera masuk begitu adik semata wayangnya menyahut. Bibir tanpa pulasan lipstik itu mengguratkan senyum ke arah Mei lalu ikut duduk di sisi jendela, menatap gaun pengantin.

"Tante Carmelitta pandai memilih gaun. Cantik. Pas juga kayaknya sama tubuh kamu." Rin menyandarkan kepala ke kusen jendela.

Mei menghela napas panjang. "Menurut Mbak, Amiko gimana?"

Rin tampak menimbang-nimbang sembari menyipitkan mata menatap pakaian pengantin. Ia menoleh dan berkata, "Dia baik dan ... sayang anak-anak. Buktinya Aldi bisa lengket sama Amiko dalam waktu sekejap."

Perempuan berpiama biru itu mengibaskan tangan kanan. "Haish, Aldi jadi panutan!"

Keduanya terkekeh bersama.

Rin menghela napas. Dari gelagatnya, Mei paham ia akan memberikan petuah panjang  lebar.

"Aku enggak ngerti gimana keputusan ini bisa kamu ambil bersama Amiko. Yang jelas, begitu kamu sah menjadi seorang istri, aku harap kasih sayang segera membersamai kalian berdua." Rin menjeda kalimatnya dengan satu tarikan napas lagi. "Lupakan Brian, Mei."

Mei tersenyum getir. Ia mengangguk pasrah. Rin mendekat, memeluk seraya mengusap punggung adiknya.

"Aku sama Mama selalu berdoa yang terbaik buat kamu, Mei."

Entah mengapa, cara Rin justru membuat mata Mei memanas. Ia segera menghapus tetes bening di sudut mata.

"Ciee, yang mau nikah. Pasti deg-degan ...."

"Ih, Mbak apa-apan!" Mei sontak tertunduk sembari memainkan buku-buku jarinya.

"Eh, Amiko tampan, lho. Manis lagi. Enggak nyangka kamu dapat bibit unggul." Rin terkikik menggodanya.

Wajah tanpa sapuan make up itu bersemu. Demi mengindari godaan berikutnya, Mei menutup wajah. "Ah, udah dong! Malu tahu!"

Kakak beradik itu tertawa nyaring. Ah, Mei bersyukur Rin selalu mendukungnya.

***

Lelaki yang mengenakan dasi merah dan jas hitam terkancing rapi itu tak pernah merasa secemas ini sebelumnya. Namun, begitu melihat sosok wanita bergaun putih bersanding dengannya, kegelisahan itu sirna. Keraguan itu musnah entah ke mana.

Mei teramat cantik dengan rambut yang dibiarkan tergerai beraksen kepang sederhana. Gaun pilihan Carmelitta tampak pas untuk mempelai semanis Mei.

"Kamu cantik, Mei," bisiknya usai menyematkan cincin di jari manis Mei.

Amiko, Te Amo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang