Fighting and Regret

6.3K 1.3K 82
                                    

Mei mengumpat berulang kali. Ia meracau tak jelas. Namun, pandangannya tak bisa diperjelas, semua semakin gelap. Ia tak sanggup mendorong pria yang mengusap pipi dengan telapak tangannya. Brian membisikkan sesuatu ke telinga perempuan yang terbaring di sofa.

Embusan napas Brian terasa menggelitik, membuatnya semakin ingin berlari mencari siapa saja yang mau menolong.

"Damn it! You're a fucking bad human!" Itu suara Amiko.

Mei meringkuk dan masih berusaha mendengar setiap keributan yang terjadi.

"Mei, kamu dengar aku, Mei? Bangun ...." Telapak tangan berjemari lentik menepuk-nepuk pelan pipi Mei.

Mei berusaha membuka mata. Remang. Namun, warna rambut merah menyadarkan dirinya siapa yang berbaik hati menolong. Keributan masih terjadi ketika Rose memapah Mei untuk duduk. Ia bisa melihat dua lelaki yang sedang saling bertengkar dan mengumpat. Mereka berguling di lantai.

Tidak. Jangan. Ini memalukan. Mei tak mau diperebutkan di depan publik begini. Ini bukanlah hal yang membanggakan. Ia berusaha bangkit seraya berpegangan pada lengan sahabatnya. Entah siapa yang ia raih begitu Mei berjalan tiga langkah menuju pergulatan itu. Hingga satu tepisan kuat dari sosok berjas hitam yang berniat melayangkan tinju membuat Mei limbung. Perempuan yang sedang diperkarakan oleh dua lelaki itu terempas ke lantai dan semua menggelap.

***

Rose duduk di kursi tunggu depan ICU. Ia gelisah sembari menggigiti buku-buku jari. Ratna terlihat mondar-mandir tak jelas. Sementara lelaki berkemeja kotak-kotak dengan beberapa luka di kening itu duduk bersandar menatap langit-langit rumah sakit, Brian duduk sedikti jauh dari mereka.

Ratna memperhatikan sosok lelaki yang tak jauh beda berantakannya dengan suami Mei. Namun, wajah Brian tampak lebih parah. Lebam di kedua pipi dan darah di sudut bibir membuat gadis itu mendesis ngeri.

Pesta Madam Rose kacau. Mulanya Ratna memang tak setuju dengan acara launching yang berujung pesta di kelab malam sebagai perayaannya. Namun, banyak pertimbangan yang akhirnya membuat gadis muda itu mengalah karena urusan finansial. Ada pihak sponsor yang bersedia mendanai semua acara membuat Rose berkeras hati menerima tawaran itu.

"Keluarga Meisya Thalita?"

Suara dokter di depan pintu ICU membuat dua laki-laki itu bangkit bersamaan. Wanita berjas putih serta merta bingung mendapati dua sosok manusia berdarah-darah tak keruan.

"Saya suaminya," ucap Amiko tegas.

Brian mau tak mau mundur selangkah, membiarkan pria di sebelahnya mengikuti  langkah dokter wanita paruh baya ke ruangan. Ratna dan Rose saling bertatapan dan mendesah prihatin.

***

Brian membuka kaleng minuman soda dingin di tangan kiri. Ia duduk menyendiri di taman rumah sakit. Udara malam yang menggigit membuatnya mendesis merasakan perih pada luka-luka di wajah dengan darah mengering. Usai meneguk tiga kali minumannya, ia memejam, enggan menatap langit malam. Agaknya ia malu bulan yang mengintip di celah awan sedang menertawakannya.

Ia tak ada niat mencelakai Mei. Brian hanya sedang menguji ketegasan pria itu, membalas sakit hati atas pukulannya di bar malam itu, dan menguji perasaan Mei saja. Pun tak ada niat jahat melecehkan perempuan itu. Sungguh! Brian hanya ingin memastikan saja. Ia tak akan melakukan itu kalau pada pertemuan beberapa hari lalu Mei tak memberinya celah.

Wanita itu datang ke kantornya, menyapa sejenak, berbicara pelan, lalu memintanya menyudahi semua. Satu hal yang belum bisa Brian lupakan sampai detik ini. Mei memeluknya. Pelukan yang membuat celah pada Brian untuk mencari pembuktian bahwa tak ada lagi setitik rasa untuknya.

Amiko, Te Amo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang