Te Amo

8.2K 1.5K 95
                                    

Bree_26: "Aku ingin dia kembali, tapi tak bisa."

Mei_admin05: "Penyesalan selalu datang di akhir. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa memperbaikinya."

Bree_26: "Kamu benar. Terima kasih, ya."

Mei_admin05: "Sama-sama. Selamat beraktivitas kembali."

Mei menutup akun adminnya, mendongak ke arah jam dinding ruang kerja admin. Pukul delapan malam. Ia memijit pundak. Enam jam wanita berblazer kuning kunyit itu menatap layar komputer, membalas beberapa chat masuk yang isinya sebagian besar berupa curhat perkara putus cinta. Ah, yang benar saja! Mei sendiri baru mengalaminya. Sekarang ia harus sok tahu memberikan petuah agar para kaum patah hati tetap kuat.

"Pulang dulu, Mei!" Seseorang rekan admin mendahuluinya berpamitan. Disusul yang lain.

Mei hanya mengangguk dan tersenyum. Usai merapikan rambut dan mematikan komputer, Mei bergegas keluar ruangan menuju lift, dan menekan angka lima. Ia berjalan melewati lorong lantai lima lalu berhenti di ruang kerja paling ujung.

Amiko masih sibuk menggambar di ruangannya. Manik hazel pria itu masih fokus menatap screen tablet. Pintu ruangannya tak tertutup rapat. Mei mengetuk pelan, membuat pemilik ruangan mendongak.

"Masih lama?" tanya Mei. Ia berinisiatif pulang dahulu bila memang Amiko masih harus menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.

Amiko menggeleng dan tersenyum. "Sini masuk. Aku rapiin meja dulu."

Mei menghela napas panjang. Berharap kinerja jantungnya segera membaik dan terbiasa dengan sikap manis makhluk maskulin di balik meja kerja itu. Melihat lelaki itu sibuk merapikan kertas yang tercecer, Mei tak sampai hati hanya menunggu. Dewi cukup menjadi gambaran betapa tangan istri harus terampil. Ia sama meraih kertas, menumpuknya menjadi satu sambil sesekali melihat gambar di dalamnya.

Aktivitas Mei terhenti ketika menemukan coretan gambar kasar menggunakan pensil. Manik hitamnya mengerjap, memastikan dua gambar manusia di bawah patung kepiting raksasa itu bukan dirinya. Namun, ilustrasi tersebut memang sama persis dengan kejadian lamaran konyol Mei kala itu. Ia berdecak pelan, tapi mau tak mau Mei mengakui gambar Amiko teramat manis dan sayang kalau dibuang.

"Untukku, ya?" Mei bersuara sembari menggerak-gerakkan kertas sketsa di depan wajah Amiko.

Kedua alis lelaki itu terangkat, mengamati gambar isengnya selama jam istirahat siang tadi. "Ambil kalau mau," sahutnya kemudian memasukkan ipad dan stylus ke dalam tas.

Mei tampak menimbang-nimbang. Otaknya mendadak teringat rengekan Dania untuk kembali menulis. Bibir berpoles lipstik berwarna nude mengguratkan senyum kecil. Cerita menikah tanpa cinta memang selalu banyak peminat. Berdebar-debar menanti kapan perasaan itu tumbuh. Pria yang menunggu dengan sabar, tapi itu biasa. Bagaimana kalau dibuat tak usah harus menunggu?

"Bagaimana cara mengucapkan cinta dalam bahasa Spanyol?"

Pertanyaan Mei yang tiba-tiba membuat Amiko menghentikan niat menyandang tas ke bahu. Ia meletakkan kembali ransel ke kursi, mendekat ke arah Mei yang bersandar ke meja.

"Tergantung kamu mau bilang ke siapa. Pasangan atau ke orang-orang tersayang seperti keluarga dan teman."

Mei mengangguk-angguk paham. "Kalau ke orang tua?"

"Te quiero." Amiko meraih kertas gambar di tangan kanan Mei dan meletakkannya kembali ke meja. Dua lengannya memenjarakan Mei yang sedang bersandar ke meja.

Sedikit takut memulai duluan, perempuan yang mulai merasakan getaran halus di dadanya menyentuhkan dua telapak tangan ke lengan suaminya. "Kalau ... ke pasangan?"

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now