Sweet Engagement

7.6K 1.5K 35
                                    

"Ayolah, Mei! Masa iya hampir dua bulan patah hati masih belum bisa nulis lagi kayak biasa. Tanpa karya-karyamu, penjualan buku di penerbitan ini bakalan sepi."

Mei masih membiarkan suara perempuan melalui pengeras suara ponselnya mengoceh terus sementara dirinya sibuk memilih pakaian. Satu jam lagi Amiko datang menjemput dan wanita yang mengenakan celana pendek dan tanktop itu masih belum siap juga.

"Mei?!"

Kali ini Mei berdecak sebal. "Aku belum ada mood buat nulis lagi, Dan. Ngertiin aku, dong."

Dania--editor yang biasa menangani naskah Mei--berusaha membujuk kembali. Novel fiksi romansa karya Mei memang selalu menjadi tulang punggung perekonomian Amora Publishing. Tulisan bernuansa romantis dan manis hasil imajinasi Mei cukup membius berbagai kalangan baik remaja maupun dewasa. Namun, patah hati memaksa otak wanita yang sedang memasang softlens di kedua mata itu berhenti menuang kisah.

"Cepet move on! Biar aku enggak pusing cari penulis baru. Susah ngebranding penulis dari nol, tahu?"

Mei menelan ludah. Ia merasa seperti kacang lupa dengan kulitnya. Tak bisa dimungkiri, Dania cukup berperan besar dalam menuntun Mei berkarier di dunia literasi. Sejak duduk di bangku SMA kelas 3, Dania teramat telaten menangani naskahnya dan rela pontang-panting membuatkan acara launching buku.

"Iya, maaf .... Aku janji bakalan coba nulis lagi." Mei meraih ponsel yang tergeletak di meja rias, mulai mengalihkan atensi dari kesibukan ke benda pipih di tangan kanan.

"Serius? Kapan?"

Mei duduk bersila di tepi ranjang, berpikir sejenak, apa yang sekiranya bisa mendongkrak semangat menulis lagi. "Tunggu aku selesai kawinan, ya?"

Suara batuk-batuk di seberang telepon membuat Mei menggigit buku jari. Jangan-jangan Dania tersedak ponsel saking terkejutnya.

"Brian ngajak balikan?"

Bibir tanpa lipstik itu mencebik. "Ck, enak aja!"

Obrolan via telepon itu terhenti begitu pintu kamar diketuk dan bocah berkaus merah itu masuk. Mei mengerjap sebentar memperhatikan keponakannya. Anak itu meraih tablet bercover hijau mint milik tantenya di nakas. Mei hampir menegur saat Aldi justru berlari.

"Pinjam buat main game bentar!" teriaknya sambil berlari keluar kamar.

"Hei, pasti ponsel kamu mati! Siniin enggak?! Tante enggak mau kena marah mama kamu gara-gara ngizinin kamu main game mulu! Ih, Aldi!"

Selalu saja rumah menjadi riuh ketika Aldi berulah. Mei teramat menyayanginya. Namun, tak jarang keduanya bercekcok perkara jatah main game. Aldi berlari menuruni anak tangga. Keduanya berkejaran di ruang tengah, mengitari sofa, dan meja kaca.

Aldi terbahak melihat ekspresi kesal adik dari ibunya. Takut tablet dalam pelukan direbut paksa, ia memilih mencari perlindungan dengan berlari ke arah ruang tamu.

"Nenek, Tante Mei pelit!" Sontak bocah berambut sedikit gondrong itu menubruk pangkuan Dewi yang sedang duduk.

Mei mematung. Tubuhnya kaku seketika menyadari ada sosok lain di sofa yang berseberangan dengan Dewi di ruang tamu. Manik cokelat lelaki itu menatap wanita yang berdiri tanpa alas kaki, rambut tejepit ke atas, celana super pendek berbahan katun, dan tanktop putih yang membuat pakaian dalam berwarna gelapnya sedikit tergambar meski samar.

"Mei, enggak sopan, ih!" Dewi berbisik dengan tatapan penuh peringatan.

"Ya ampun ...! Aldi, ih!" Mei berlari masuk ke kamar, mengumpat sebal, mendumal kesal, dan menutup pintu sedikit kasar.

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now