Disaster #2

6.4K 1.3K 118
                                    

Sekali lagi Amiko menekan nomor Mei. Mungkin ini hampir tujuh kali ia menelepon dan tak ada nada sambung yang terdengar. Dimatikankah? Atau ponselnya habis baterai?

Lagi. Pikiran aneh itu bermunculan. Ada rasa kesal Mei tak menyalakan ponselnya. Ada rasa takut kehilangan. Ada rasa ... cemburu?

Pria yang sedang menunggu lampu lalu lintas berubah hijau itu mengembuskan napas panjang sembari melempar ponsel ke kursi mobil. Ada urusan apa lagi Mei menemui Brian? Bukankah cincin kawin dari orang tua Brian sudah Mei buang setelah Rin berkeras hati melarangnya? Gaun pengantinnya pun sudah dibungkus plastik dan dibuang ke tong sampah saking kesalnya.

Mobil Amiko memasuki area basement apartement. Begitu ia turun dan berjalan menuju lobi, ia tertegun melihat Jhonson yang sedang kerepotan menggendong George. Bocah itu tampak terpejam di bahunya. Sementara Emma berdiri menyandang tas ransel kecil bergambar Spiderman.

"Hi, Mike! Dia menunggumu sampai tertidur." Emma terkekeh.

"Ke mana Mei?" Jhonson menilik ke luar area lobi.

"Oh, dia belum pulang kerja. Sini, berikan padaku. Kalian mau mampir?" Amiko menggantikan suami Emma menggendong putranya.

Pasangan suami istri itu saling pandang. Emma menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu tersenyum rikuh.

"Oh, okay. Take your time. Aku mengerti, pergilah!" Sedikit senewen Amiko mengambil alih pula ransel George di bahu Emma.

Emma tersenyum semringah. Sementara Jhonson berdecak pelan. "Cemburu, hah?" terka Jhonson bercanda.

"Oh, come on, Guys! Jangan memulai lagi. Pergilah," pungkasnya dengan raut sebal. Siapa yang tak kesal saat mereka akan pergi kencan berdua saja, sementara George ditinggal begini? Tak bertanggung jawab, rutuk Amiko dalam hati.

Namun, di luar kekesalannya, ia merasa lebih lega. Lega bisa melepas Emma dan tak ada lagi saling memaksakan diri untuk saling menahan diri. Ia ikut bahagia melihat Emma dan Jhonson saling menautkan tangan sembari tersenyum.

***

Jam berapa sekarang? Perempuang yang duduk di kursi paling belakang dekat jendela Busway itu menilik arloji di pergelangan tangan kiri. Hari semakin gelap, lampu jalanan mulai menyala temaram.

Sudah pukul tujuh malam dan Mei masih tak mau turun dari angkutan umum yang ia tumpangi. Entah sudah berapa banyak penumpang yang naik-turun memperhatikan wanita itu. Wajah Mei masih sembap, sisa air mata penyesalan dan kekesalan terkadang masih saja luruh. Ia tak berani pulang sekarang. Amiko pasti akan banyak tanya kenapa wajahnya seberantakan ini.

Mei merogoh tas tangan di pangkuan, meraih benda pipih yang mati hampir setengah hari ini. Ia memaksa menekan tombol daya. Menyala. Deretan pesan beruntun dari Amiko masuk. Mei hampir membukanya satu per satu, tapi lagi-lagi ponselnya mati tak berdaya.

Perempuan itu merangsekkan kembali ponselnya. Putus asa. Tak tahu harus bagaimana, ia memutuskan untuk pulang seraya menimbang-nimbang alasan yang tepat demi menutupi wajah sembapnya ini.

Tiga tikungan lagi, Mei sampai di halte depan apartemen Amiko. Ia menghela napas panjang, menyeka kembali pipi dengan telapak tangan, dan memastikan tak ada sisa  riak di pelupuk. Ya, mungkin jujur lebih baik. Toh tadi bukan Mei yang mengawalinya. Brian yang tiba-tiba berbuat seenaknya tanpa permisi dan beruntung Mei hanya mendorong, bukan menamparnya.

Oh, Tuhan! Aku berdosa! Aku terlalu terbawa perasaan sampai lupa ada cincin yang melingkar di jari manis ini!

Sekali lagi, Mei merutuki diri yang lalai.

***

Setelah bocah yang menyandang ransel mungilnya di punggung menghabiskan dua potong pizza, ia tergesa memeluk Jhonson.

Amiko, Te Amo!Kde žijí příběhy. Začni objevovat