Heart Beat

8.7K 1.5K 82
                                    

Pagi ini berbeda dari biasanya. Amiko mengeringkan rambut sembari mengedarkan pandangan. Semua kembali seperti semula. Ranjang yang kusut sudah rapi dan berganti dengan sprei yang baru diambil dari lemari. Piama yang semalam tercecer sudah masuk keranjang pakaian kotor. Tablet yang semalam sempat terjatuh ke lantai sudah kembali di atas meja kerja pojok kamar.

Semua itu bukan Amiko sendiri yang merapikan. Sepertinya Mei yang melakukan itu semua. Lelaki yang sedang mengancingkan kemeja lengan pendeknya itu tersenyum kecil.

Aroma mentega tercium dari arah pantry. Amiko tergesa menata rambut dan bergegas mencari sumber penggugah rasa laparnya. Langkah jenjang Amiko melambat begitu sampai di ruang tengah. Tubuh Mei yang menghadap jendela pantry membentuk siluet yang memukau. Bibir Amiko mengulas senyum.

Mei terampil mengurus sarapan. Ia bisa mencuci piring dan gelas sembari menunggu air mendidih dan roti menyembul dari panggangan. Meski perempuan itu harus bolak-balik menengok dari cucian piring dan panggangan roti, ia sama sekali tak terlihat keberatan. Raut wajahnya tetap berseri dan seksi.

Mei tampak mengenakan celana pendek  di atas lutut dan kaus putih kebesaran. Rambutnya tercepol dengan bandana putih. Dua titik keringat turun di pelipis, tapi buru-buru ia hapus dengan lengan kausnya. Anak rambut Mei yang berantakan membuat Amiko semakin suka memandangnya berlama-lama.

Wanita yang sedang menuang susu ke dalam gelas berukuran tinggi itu mendongak ketika menyadari kehadiran Amiko. "Ha-hai .... Hari ini kerja?"

Amiko hanya mengangguk singkat seraya meraih roti yang telah dioles selai cokelat. "Mau berangkat bareng?"

Mei menilik jam dinding di ruang tengah. "Boleh. Aku mandi dulu sebentar, ya?"

Ia hampir berlari kecil menuju kamar. Namun, secara tiba-tiba ia berbalik lagi dan menumpukan kedua tangan di sisi meja bar pantry. Lalu seolah ada keraguan berucap sesuatu, Mei menelusur tepi meja bar dengan ujung jari telunjuk kanan seraya menggigit bibir. "Miko," panggilnya usai berdeham sekali.

"Mm?"

Bibir Mei mengatup sebentar lalu membuka lagi. "Aku tahu kita sama-sama punya masa lalu dan sedang berusaha melupakannya. Tapi ...," ia menjeda sejenak, "kamu bisa, kan, menjaga komitmen pernikahan ini?"

Amiko bergeming, berusaha memahami apa yang sedang disampaikan istrinya. Amiko memang bukan tipe pria yang suka main-main dengan status pernikahan. Apa pun keadaannya nanti, jelas ia mau bertanggung jawab pada sang istri, dan sudah pasti mau menjaga komitmen yang sudah mereka ambil bersama. Mei seolah sedang mengatakan, "Jangan selingkuh! Setialah padaku!"

Detik berikutnya Amiko menahan senyum. Alih-alih merasa dituding ia ada kecenderungan tak setia dan akan goyah, Amiko justru merasa Mei mulai merasa berhak untuk melarangnya berdekatan dengan wanita lain dan memilikinya.

"Kita ... pura-pura cinta saja. Anggap Brian dan Emma enggak pernah ada. Oke?"

Lagi-lagi Amiko mengangguk meski kalimat terakhir itu jelas teramat mengusik batinnya.

"Pura-pura katanya?" Amiko menghabiskan potongan roti terakhirnya saat Mei berlalu ke kamar. "Bisa-bisanya bilang begitu setelah apa yang terjadi semalam," imbuh Amiko dalam gumaman dan senyum tertahan.

***

Entah sudah berapa kali ponsel di nakas tempat tidurnya berdenting. Lelaki yang masih bergelung di balik selimut itu enggan mengangkat telepon. Ia tahu betul siapa pelakunya.

Untuk hari ini saja, Brian tak ingin di ganggu. Setelah semalaman tak sanggup tidur lelap, pagi ini lelaki yang bertelanjang dada itu jelas semakin enggan meninggalkan ranjang. Semalam entah kenapa dadanya terasa bergemuruh panas dan berdetak memacu emosi. Ia merasa ada yang salah. Rasa kesal tergambar jelas ketika sekelebat senyum ramah dari lelaki yang bersanding dengan mantan kekasihnya terbayang.

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now