Fire on Wedding Invitation

8.6K 1.5K 37
                                    

Ketukan pintu membuat wanita yang masih mengenakan gaun pesta semalam mengerang malas. Ia baru bisa memejamkan mata setelah jam di ruang keluarga bedentang dua kali. Pukul berapa sekarang? Kelopak mata Mei masih tak berdaya untuk sekadar memicing demi menilik jam beker di nakas.

"Mei ... bangun!"

Suara Kak Rin terdengar semakin lantang. Ketukan pintu pun semakin membabi buta.

Mei menyingkap selimut ke samping, membuat ujung kain tebal itu menjuntai ke lantai berlapis karpet rasfur berwarna cokelat muda. Ia menyeret langkah dengan tubuh lesu.

"Apaan, sih, Mbak?" erang Mei setelah membuka pintu dan bersandar malas ke kusen pintu.

"Jam delapan pagi. Mau sampai kapan molor terus? Enggak kerja hari ini?" Wanita beranak satu dengan dagu bak terbelah dua itu menggerutu sebal.

Sejak kegagalan pernikahan itu, adiknya lebih suka bangun kesiangan, melamun, dan menyendiri di kamar.

"Enggak. Aku dapat jam kerja siang sampai malam. Kenapa emang?" Mei masih menutup mata seraya mengacak rambut yang sudah berantakan.

Rin menggeleng nelangsa. Mei yang sekarang seperti bukan Mei. Adiknya adalah sosok wanita mandiri yang semangat berkarier. Di sela kesibukannya menjadi penulis, ia masih mau mengejar deadline editing naskah klien, atau menerima tawaran sebagai ghostwriter. Mei yang sekarang tak ubahnya wanita putus asa yang seperti malas menjalani hidup.

Rin menghela napas, berharap kabar yang akan ia sampaikan tak semakin membuat Mei menjadi manusia penghuni gua yang malas ke mana-mana. "Ada karyawan percetakan yang antar undangan. Mereka bingun mau di kemanakan."

Manik sehitam jelaga itu mendadak mengerjap. Kantuknya menguar entah ke mana. Rasa sesak kembali menjejali dada, membuat Mei sesekali menepuk-nepuk dada pelan.

"Sebulan yang lalu udah aku suruh mereka untuk membakarnya, Mbak."

"Mereka enggak tega katanya. Serius mau dibakar aja?" Rin mempertegas.

Wanita di hadapan kakaknya itu mengusap wajah sedikit kasar lalu menyisir rambut panjangnya ke belakang dengan jemari tangan. Ia mengangguk pasrah.

Rin mengusap lembut lengan Mei sebelum ia berlalu. "Ya udah, entar biar aku sama Mama aja yang bakar. Mandi, terus sarapan!"

Mei kembali mengangguk pasrah. Pintu ditutup kembali. Detik berikutnya tubuh ramping itu merosot ke lantai, memeluk lutut, dan kembali merasakan kepiluan. Bukan perkara mudah menjalani semua ini. Mei harus menanggung malu di depan keluarga besar yang ikut menyaksikan acara lamaran. Andai Papa masih ada, mungkin ia adalah orang pertama yang mau meninju wajah Brian sampai pingsan. Ah, kenapa tiba-tiba sesulit ini jalan hidupnya? Bukankah rencana pada awalnya teramat sempurna?

***

Iris mata Mei berkilat diterpa pancaran api yang membakar habis undangan pernikahan sampai tak bersisa.

"Mama ngerti ini berat, kamu boleh merasa nelangsa, menangis semalam sampai puas, tapi ingat, semua akan berlalu dan kamu akan baik-baik saja. Kamu cukup menghadapinya saja, Mei." Wanita berambut sebahu di sisi Mei mengusap lembut punggungnya. Ia berlanjut menyiram sisa bara api dengan air.

"Mama enggak marah? Mama enggak malu?" Mei menyandarkan kepala ke dinding belakang rumah.

"Jodoh itu urusan Tuhan, Mei. Mama mana bisa maksa kehendak Tuhan." Dewi mendekat ke arah putri bungsunya, menarik kursi plastik lalu duduk bersebelahan. "Segera selesaikan semuanya. Kamu berhak bahagia," katanya sembari mengusap lembut lengan Mei.

Mei membuang napas kasar. Banyak yang belum terselesaikan memang. Mulai dari cincin kawin yang telanjur dibeli dan masih tergeletak di laci meja rias, gaun pengantin yang terlipat rapi dalam kotak, dan ... apartemen yang dibeli bersama dengan cara menyicil. Mei ingin menjual apartemen itu, tapi bagaimana cara memulai membicarakannya dengan Brian? Bertatap muka dengannya saja masih sering membuat gejolak tak keruan di dadanya.

***

Manik hazel di depan layar ponsel itu tampak merenung beberapa saat. Sebenarnya lelaki yang tengah duduk menghadap tablet gambar sejak setengah jam lalu itu sudah tak terlalu memikirkan masa lalu. Namun, sebuah foto undangan yang William kirim melalui melalui WhatsApp lima menit lalu cukup membuatnya terpaku sejenak.

Undangan pernikahan berbentuk persegi panjang dengan pita perak tampak terlihat elegan, tapi cukup membuat hatinya tercubit ketika membaca nama yang tertera di sana. Emma dan Jhonson.

Keterpanaan Amiko terhenti begitu terdengar derap langkah sedikit cepat. Mata yang semula tertuju ke atas layar ponsel mendongak, memperhatikan sosok yang melewati koridor melalui dinding kaca ruangan kerja di mana Amiko duduk. Wanita berpakaian kasual yang tengah memasuki ruangan itu cukup membawa senyum simpul di bibirnya.

Bertepatan saat Mei duduk di kursi sebelahnya, Amiko menggeser satu paper cup kopi hangat dan sandwich terbungkus paper bag. Wanita berbibir mungil di sisi Amiko terdiam menatap makanan tersebut lalu mengedarkan pandangan ke seluruh meja admin.

"Ada acara apa, nih? Rose bagi-bagi snack di hari pertama aku kerja?" Tanpa menaruh curiga apa pun, ia menyesap sedikit kopi di tangan kanan.

"Aku yang beli, kok," sahut Amiko sembari kembali meraih pensil tablet di meja.

"Kamu ngapain duduk di ruangan ini?" Kedua alis Mei sedikit terangkat memperhatikan lelaki berkaus putih dipadu kemeja denim dengan kancing terbuka.

Amiko kembali meletakkan pensil lalu menghadapkan tubuh ke arah Mei. "Aku kesepian di ruang kerjaku," ungkapnya asal.

Mei memutar bola mata. Wanita itu memilih menyalakan komputer di meja dan berdiam diri mulai mengerjakan pekerjaannya, membalas beberapa chat yang menumpuk.

Rose memang sudah menyediakan ruangan tersendiri untuk Amiko. Sebuah ruangan berukuran 9 meter persegi, lengkap dengan fasilitas super komplet dan pendingin ruangan. Tidak seperti ruangan admin yang harus berbagi ruang dan AC. Ruangan admin lebih luas dengan 10 meja kerja dan 10 unit komputer yang terhubung internet. Setiap hari ada 10 admin yang bekerja yang berganti setiap 6 jam sekali.

Sebenarnya, Amiko tak ada kewajiban harus ngantor setiap hari. Semua pekerjaan bisa ia lakukan di rumah sampai selesai. Namun, entah kenapa keberadaan Mei membuatnya tertarik untuk berencana rajin menyambangi kantor.

Amiko berhenti menggores pensil begitu Mei terlihat menegakkan tubuh. Bibirnya berbicara tanpa suara membaca sebuah chat.

"Menurutmu, apa aplikasi Madam Rose ini tidak konyol?" bisiknya sembari merendahkan tubuh.

"Maksudmu?" Amiko sama berbisik.

"Menjalin hubungan dengan orang yang sama sekali belum pernah ditemui, apa itu tidak konyol namanya?"

"Lebih konyol mana sama perempuan yang melamar pria secara random?"

"What the ...." Mei menengadah putus asa. Ia menggerutu kesal. "Jangan bicara lagi padaku."

Amiko menahan senyum. Tepat seperti dugaannya, wanita ini gampang sekali tersinggung dan ... lucu.

"Pulang jam berapa hari ini?" Amiko memulai obrolan lain begitu jemari Mei kembali sibuk di atas keyboard.

"Jam delapan malam. Kembali ke ruanganmu sana. Dasar tukang ungkit masa lalu," cibirnya kesal.

Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi keketusannya. Ia bergegas membereskan tablet dan pensil lalu membawanya kembali ke ruangan bertepatan dengan Ratna menghampiri meja Mei. Tanpa menunggu reaksi berikutnya, Amiko bergegas hengkang dari sisi Mei. Ia yakin wanita yang sedang mengobrol dengan Ratna akan meminta kejelasan padanya nanti sepulang kerja.

***

(25-01-2021)

🍁🍁🍁

Halo, apa kabar?! 🥰

Thanks buat yang masih mau baca dan vote. Maaf sedikit lambat up cerita ini. Tapi mulai bulan depan aku fokus lanjut cerita ini, ya. 😁

Terima kasih. 🤗🥰

🍁🍁🍁

Amiko, Te Amo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang