Survive without You

6.8K 1.3K 67
                                    

Gemeletuk pump shoes cokelat muda terdengar menyusuri lobi Madam Rose lalu berbelok kanan menuju pintu kaca bergambar cangkir dan biji kopi. Manik hitam perempuan itu menyusuri area kafe dan terhenti begitu menemukan sosok berjas biru tua tengah duduk di pojok kafe dekat dinding kaca. Ia tampak sedang termenung menatap halaman kafe dengan taman yang berjajar bunga bougenvile tiga warna.

Mei menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Hari ini juga semua urusan bersama lelaki berwajah oriental itu harus selesai. Mei membenarkan posisi tas selempang di bahu kiri dan melangkah mantap.

"Hai, maaf terlambat ...," katanya terjeda menilik arloji di pergelangan tangan kiri, "sepuluh menit."

Pria yang sedang termenung menoleh. Mei bisa menduga bahwa selama duduk di sini Brian menghabiskan waktu menunggu dengan melamun. Meski demikian, penampilan Brian kali ini tak sekacau sebelumnya. Lelaki berdarah Cina ini tampak lebih segar dan bersih. Rambut tersisir rapi dengan mata sipit yang bila tersenyum membentuk satu garis cukup manis. Dulu, Mei selalu suka menatap senyum pria ini.

"Hai, Mei. Apa kabar?" sapanya setelah tersenyum simpul.

Mei mengangguk-angguk seraya meraih daftar menu. "Baik dan tidak sepusing saat aku tanpa sadar minum obat bius yang untungnya enggak sampai over dosis," sindirnya sinis.

Brian mengembuskan napas panjang. "Maaf, aku sedikit mabuk waktu itu," akunya sembari menyandarkan tubuh ke kursi.

Perempuan berblouse hijau mint dengan cape di bahu itu lagi-lagi mengangguk-angguk lalu menatap tegas. Ia melambai pada pelayan yang terdekat, memesan cappuccino latte. "Kamu mau makan?"

"Mm, boleh ...."  Brian menerima uluran daftar menu dari tangan Mei. "Mana Miko?" tanyanya usai memesan dua cicken cordon bleu dan 2 lemon tea dingin.

Mei menghela napas sebelum berkata, "Berangkat ke Amerika kemarin. Urusan pekerjaan dan ... menyelesaikan beberapa hal."

Manik hitam Brian mengerjap.

"Enggak, Bri, aku hanya menundanya sampai masalah ini selesai." Telunjuk bercat kuku bening Mei menunjuk map di sisi kiri Brian. "Setelah sengketa apartemen ini selesai, dia akan menjemputku lagi. Bukan untuk berpisah hanya karena ulahmu malam itu. Amiko bukan orang yang suka menyelesaikan masalah pakai emosi."

"Oh, syukurlah ...." Brian tersenyum samar.

"Untuk soal penjualan apartemen itu, ak--" Perkataan Mei terhenti begitu lelaki di depannya menggeser map ke hadapan Mei.

"Lupakan. Kamu berhak memiliki apartemen itu seutuhnya, Mei. Aku tidak akan meminta sepeser pun dari hasil penjualannya "

Mei menegakkan tubuh. Agaknya ada yang keliru dari tujuan awal mereka bertemu di sini. "Bri, aku enggak mau berhutang budi denganmu, apalagi ini soal materi. Aku sudah membicarakannya dengan Amiko dan dia bersedia un--"

"Please, Mei ... jangan membuat harga diriku terinjak-injak di depan suamimu."

Obrolan mereka terhenti begitu pelayan perempuan bercelemek merah muda datang membawa nampan minuman mereka. Mei mengangguk ramah begitu pramusaji itu undur diri dan mepersilakan minum.

"Aku tetap pada keputusan awal. Sementara biarkan suamiku mengembalikan empat kali cicilan milikmu. Nanti kalau menemukan pembeli yang cocok, baru aku jual." Mei bersikeras. Ia menyambar segelas es teh lemon dan menyelipkan sedotan ke sela bibir.

Brian mengangguk paham. "Aku punya satu pertanyaan untukmu, Mei. Tolong jawab jujur."

Mei menggigit pipi bagian dalam lalu mengangguk ragu. "Silakan."

Amiko, Te Amo!Where stories live. Discover now