Dua Puluh

1.4K 110 3
                                    

"Yang mana yang lebih membuat lo khawatir? Campaign The Isaac yang gagal, atau kemungkinan Val nggak balik hari ini?" tanya Remi penuh ejekan.

Pagi-pagi sekali, Remi sudah datang ke apartemen Ethan. Ia membawa sarapan untuk mereka berdua, mengingat Ethan jarang sekali sarapan pagi. Tapi tampaknya Remi salah. Ketika ia masuk ke apartemennya, Ethan sudah bangun dan ia menemukan semangkuk sereal dan sekotak susu yang belum dicuci di pantry.

Ethan sedang berdiri sambil melihat ke arah jendela ketika Remi masuk. Entah apa yang ada di kepalanya, tapi panggilan Remi sama sekali tidak dijawab. Baru ketika Remi memanggil namanya dengan lebih keras, Ethan membalikkan badannya sambil memegang dadanya. Ia terkejut ketika mendapati Remi ada di apartemennya dan malah bertanya mengapa Remi ada di apartemennya pagi-pagi sekali.

"Lo bisa nggak sih jangan bikin gue tambah kepikiran?" balas Ethan.

"Ya abisnya lo dari tadi nggak nyautin gue. Lo denger nggak dari tadi gue ngomong apaan?"

"Enggak," jawabnya tidak peduli.

"Come on, Ethan," protes Remi, "gue di sini kan buat bantuin lo nyusun jadwal sisa sebelum lo vakum. kala u lo dazed out terus, gue tambahin juga nih jadwalnya biar lo nggak vakum."

Ethan menatap Remi dengan perasaan bersalah, "sorry," kemudian ia duduk di sebelah Remi.

Hari ini merupakan hari peluncuran kampanye The Isaac dengannya. Hari ini juga, harusnya Val kembali dari perjalanan bisnisnya. Karena itu, tekanan dan rasa gelisahnya menjadi dua kali lipat hari ini. Ia takut tidak bisa memberikan hasil yang baik untuk The Isaac, sekaligus takut Val tidak kembali hari ini.

Val harusnya sudah kembali ke Jakarta satu minggu lalu dan melihat hasil kerja kerasnya bersama tim The Isaac di sini, tapi Aaron yang kebetulan juga akan ke Tokyo meminta Val untuk tinggal lebih lama. Alhasil, Val baru bisa kembali di hari yang sama dengan peluncuran kampanye The Isaac.

Ah, sudah berapa lama Ethan tidak melihat wanita itu? Tiga minggu, dan dia hampir gila.

Selama satu minggu pertama, Ethan masih waras. Ia masih bisa menjalankan jadwalnya dengan teratur. Memasuki minggu ke dua, Ethan sudah hampir kehilangan kewarasannya. Pesannya sering kali tidak terbalas dan dia mulai khawatir. Di minggu ke tiga, Ethan butuh usaha keras untuk mengikuti semua jadwal yang sudah dibuat Remi. Beberapa kali dia kehilangan konsentrasi, dan setelah jadwalnya selesai, ia buru-buru melihat ponselnya, berharap Val membalas pesannya.

Ah, apa ini perasaan yang Val rasakan beberapa tahun lalu ketika ia meninggalkannya ke New York? Rasa takut, khawatir, tidak tenang, dan hampir gila. Jika iya, berarti ia sudah memberikan neraka pada Val waktu itu.

"Val pasti dateng," kata Remi, berusaha membuat pria itu tenang.

Ethan hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Ia melihat jam, baru pukul sepuluh pagi, sedangkan pesawat Val baru akan mendarat pukul enam sore nanti. Setelah itu, mereka baru akan bertemu di after party The Isaac, sebuah acara tertutup khusus tim yang sudah dengan susah payah membuat kampanye ini. 

Ethan mendesah tidak sabar, mengapa waktu berjalan lama sekali seakan-akan langit sedang menghukumnya?

"Gue denger-denger, toko yang berpartisipasi kali ini udah mulai dipenuhi pelanggan kok. Malah ada yang antri sebelum mallnya buka."

"Se-antusias itu?"

Remi mengangguk, "tapi kita baru bisa liat hasilnya nanti sih, terlalu cepat untuk mengambil keputusan."

Ethan setuju. Dia dan seluruh tim The Isaac pasti sama-sama gugup dengan hasilnya. Meski awalnya sudah kelihatan baik, mereka tidak boleh lengah dan terbawa perasaan.

Unworthy [COMPLETE]Where stories live. Discover now