Tiga

1.4K 144 1
                                    

Pascali, merupakan toko yang menjual beraneka ragam teh premium dari luar, maupun dari dalam negeri. Pascali bergaya minimalis, menggunakan lampu berwarna beige dan lemari berisi koleksi teh yang berjajar sempurna di dinding toko. Furniturnya didominasi oleh warna abu-abu terang dan coklat muda.

Terdiri dari tiga lantai, lantai paling bawah digunakan untuk menjual berbagai macam teh, lantai kedua dipakai untuk pengunjung yang ingin menikmati tehnya disajikan, dan lantai paling atas merupakan tempat khusus yang hanya boleh digunakan dengan seizin Matthew Pascal.

Matthew sengaja tidak menggunakan lantai tiga untuk umum, supaya Ethan bisa kapan saja datang ke Pascali dan Matthew bisa menggunakan ruangan yang sama untuk menaruh semua koleksi tehnya. Karena itu juga, lantai tiga dibuat spesial dengan gaya khas Jepang sebagai pilihan furnitur dan dekorasinya. Tatami dan meja kecil pendek digunakan untuk menikmati teh, dan lemar-lemari dari kayu untuk menyimpan koleksi Matthew.

Tidak seperti Ethan, Matt, kakaknya yang berusia tiga tahun lebih tua darinya, tidak menyukai musik, padahal keluarganya berasal dari keluarga musik. Matt kecil lebih suka mencium aroma teh dan kopi yang diseduh ibunya tiap pagi. Berawal dari sana, Matt memutuskan untuk mengembangkan bisnis tehnya sendiri, tanpa campur tangan dari kedua orangtuanya.

Awalnya, kedua orang tua mereka tidak setuju. Mereka berharap Matt bisa memainkan minimal satu alat musik agar bisa bermain dalam orkestra ayahnya. Tapi belakangan, ketika Matthew bersikeras, kedua orangtuanya akhirnya mengijinkan Matt meniti jalan hidupnya sendiri. Ketika Ethan belajar musik, Matt pergi keliling dunia untuk mencari dan mempelajari teh. Hasilnya, ketika dia kembali ke Indonesia, dia berhasil membuka Pascali, dan bahkan memiliki kebun sendiri di daerah Jawa Barat.

Ethan duduk di atas tatami sambil menunggu kopinya siap untuk diminum. Matt tidak menyukai kopi, tapi dia menyediakan kopi khusus untuknya. Dia baru saja menyeduhnya dengan alat V60. Selagi menunggu, Ethan memperhatikan Mattew yang sedang mengatur ulang koleksinya, sambil beberapa kali bergumam seakan dia baru sadar kalau dia memiliki benda yang ada di tangannya.

"Udah belom, Matt?" tanya Ethan tidak sabaran. Matt bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk mengatur ulang koleksinya, dan ego Ethan tidak menyenangi hal itu, dilupakan oleh kakaknya sendiri karena koleksi tehnya.

"Sebentar, mau pilih teh dulu," jawab Matt. Setelah itu dia memilih daun teh yang akan ia seduh dari salah satu koleksi teh yang ia pajang di lemarinya.

Matt melarikan jariya di atas toples-toples keramik yang berisi koleksi tehnya. Normalnya, ia bisa menghabiskan sepuluh menit untuk menentukan teh mana yang ingin ia minum. Tapi melihat Ethan sudah menggerutu, ia memilih teh ceylon yang dicampur dengan bunga melati. Dengan gesit, ia mengambil pot dan gelas teh, kemudian menyeduhnya dengan air hangat.

"Jadi," Matt membuka pembicaraan, "how was it? Was Val there?"

"Ada," jawab Ethan sembari menyesap kopinya. "In the end, Aaron menepati janjinya."

"Great," Matt mengangguk senang. Ia tau apa yang sudah Ethan lakukan untuk bisa bertemu Val kembali, termasuk apa saja yang sudah adiknya itu korbankan. Ethan bilang, semuanya akan terbayar, bahkan jika ia bisa bertemu Val sekali saja. "How was she?"

"Better without me," jawabnya sambil tersenyum pahit. "Dia merasa 'dijebak'."

"Which was true," tambah Matt sambil terkekeh.

Tidak lama kemudian, aroma vanila dari tehnya mulai tercium. Matt mendekatkan gelas tehnya, menghirup aromanya, kemudian menyesap tehnya, dan tersenyum puas. Rasanya tepat seperti yang ia inginkan.

"Mungkin lo benar," akhirnya ia mengakuinya. "Tapi jika itu memang satu-satunya cara agar gue bisa ketemu dengannya lagi, cara itu patut gue coba."

"Jadi, gimana hasilnya? Is she available?"

"Well..." ada keraguan di nada suara Ethan, tapi akhirnya ia bicara, "I found no ring on her finger."

Tepat saat itu, Matt hampir memuntahkan tehnya, dia tersedak. Adiknya, seorang penyanyi terkenal di Indonesia, merupakan seorang stalker. "Kenapa lo kedengeran kaya stalker gitu?"

"Cara apa lagi yang bisa gue pake?" Ethan balas bertanya.

"Okay, okay," Matt mengalah, Ethan benar. Diletakkannya gelas teh yang ia pegang. "Pertanyaan kedua, setelah lo 'memastikan' dia masih available, apa rencana lo?"

"Remind her that we were great together," jawab Ethan tanpa keraguan sama sekali.

"Dan lo pasti sudah mencobanya hari ini. Gue yakin lo gagal, karena lo datang dengan wajah tertekuk."

Ethan mengangguk, "there will be no fight without any defenses. Fun fact, dia sudah berusaha menghindari dari gue sejak awal."

"Jadi?" tanya Matt tidak mengerti.

"I'm gonna still fight this battle."

"Ada satu hal yang gue nggak ngerti dari cara berpikir lo. Kenapa baru sekarang lo mulai 'pertempuran' ini? Apa bedanya jika lo melakukanya enam tahun lalu?"

"Most of the times, gue berusaha melupakannya," Ethan mengakuinya dengan nada lirih. "But I failed miserably."

"Lalu setengah waktunya lagi? Apa lo nggak pernah berpikir untuk ke London?"

"Sudah pernah gue pikirkan, tapi London isn't my battleground. Val punya banyak tempat dan alasan untuk kabur dari gue sebelum kami bisa benar-benar menyelesaikan masalahnya. Karena itu gue menunggu waktu yang tepat, dan bekerja sama dengan The Isaac adalah kesempatan paling bagus yang pernah gue punya. Di sini, gue dan dia 'terikat' kontrak kerjasama, sekaligus jaminan kalau dia nggak akan lari terus-terusan."

Kini Matt mengerti rencana adiknya, "because meeting you would be inevitable, and the contract make her vulnerable."

"Exactly. That's why I move my battleground to Jakarta. Gue benar-benar powerless kalau harus menyusulnya ke London."

"And what if you lose?"

Ethan menggeleng, "I aim to win every battle I enter, and this one too. I will win."

Matt menghela napas panjang. Ia khawatir pada adiknya, tapi adiknya punya kepala sekeras batu. Apapun yang ia katakan, tidak akan mengubah tekad Ethan. "Whatever you do, stay sane, okay?"

Ethan mengerutkan dahinya, "emangnya kapan gue pernah jadi gila?"

Matt hampir tersedak tehnya sendiri, mungkin adiknya perlu diingatkan betapa kacau hidupnya enam tahun lalu. "Lo nggak keluar dari apartemen lo selama satu bulan dan kalau bukan gue atau Remi yang bawain lo makanan, you might probably had died long ago," jawabnya tanpa jeda. "Oh, gue juga masih inget sama rambut gondrong lo, persis kaya orang gila."

Ethan menatapnya kesal, tapi akhirnya mengakuinya, "iya gue patah hati, dan bertingkah kaya orang gila."

Matt tersenyum puas, "anyway, good luck."

"Thanks," jawab Ethan sambil menyesap habis kopinya.

Kemudian, ponselnya berbunyi. Remi meneleponnya. Tanpa menjawab, Ethan memutuskan sambungan teleponnya. Remi biasanya mengingatkan Ethan dengan meneleponnya jika pesannya tidak dibalas. Jadi Ethan memang tidak perlu repot-repot mengangkat teleponnya.

"Remi nyariin," kata Ethan sambil mengisyaratkan jika dia akan keluar pada Matt.

"Tunggu..." Matt menghentikan langkah Ethan, kemudian ia mengambil satu kotak teh kecil yang terbuat dari keramik bermotif oktagonal dari lemarinya dan memberikannya pada Ethan. "Buat lo."

Kotak keramik itu terasa dingin dan berat di tangan Ethan, "apa nih?" tanyanya.

"Well, in case you don't win the war... that tea might be helpful."

Ethan mengerutkan keningnya, "nggak akan," jawabnya, kemudian dia turun dari lantai tiga.

Setelah Ethan menghilang di tangga, Matt meminum teh buatannya sampai habis. Ia berharap adiknya tau apa yang ia lakukan, dan apapun itu, Ethan tidak kehilangan kewarasannya.


-----

Don't forget to vote ⭐⭐⭐

Unworthy [COMPLETE]Where stories live. Discover now