Dua Belas

792 94 3
                                    

Pukul sembilan pagi, Ethan sudah berada di ruang ganti di studio The Isaac untuk pemotretan. Sebenarnya, tidak seharusnya ia datang sepagi ini, tetapi ia bersikeras pada Remi untuk datang lebih pagi dari jadwal yang ada.

Setelah tiga minggu yang terasa begitu lambat, akhirnya Ethan kembali ke Jakarta. Hal pertama yang ingin ia lakukan adalah menghampiri Val, di malam ia mendarat di bandara. Tapi Remi melarangnya dengan alasan badannya butuh istirahat setelah jadwal tiga minggu yang luar biasa padat. Akhirnya, Ethan mengurungkan niatnya dan menunggu sampai hari ini tiba.

Karena itu, ketika ia datang, studio pemotretan masih dipersiapkan. Banyak orang lalu-lalang untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar. Beberapa orang menyiapkan pakaian, beberapa mengetes kamera dan lampu, sisanya menyiapkan properti yang akan dipakai.

"Kopi," kata Remi sambil menyerahkan segelas Americano hangat pada Ethan yang sedang duduk di sofa, kemudian ia duduk di sebelahnya.

"Thanks," jawab Ethan, kemudian menyesap kopinya.

"Jadi lo mau ngapain sekarang?" tanya Remi. Mereka datang satu jam lebih cepat dari jadwal pemotretan. Bahkan saking buru-burunya mereka pergi, mereka belum sarapan sama sekali.

"Lo liat Val?"

Remi menggeleng, "Belle bilang Val belum datang."

"She is never late," jawaban tersebut terdengar janggal di telinga Ethan. Val tidak pernah terlambat, dia orang paling tepat waktu yang pernah ia tau. Dan jika memang Val terlambat, pasti ia sedang menghadapi masalah, atau, menghindari sesuatu.

Suara ketukan di pintu membuat Ethan dan Remi menghentikan percakapannya. Ray, bersama seorang wanita dengan satu koper yang berisi peralatan rias muncul di balik pintu. "Ethan, ini Janice, MUA lo hari ini," kata Ray. Kemudian, ia mempersilahkan Janice tersebut masuk dan mengatur tempat.

"Thanks, Ray," jawab Ethan sambil mengangguk.

"Karenina udah dateng?" tanya Remi.

Ray mengangguk, "ada di ruangan sebelah. Anyway, kita mulai setelah lo selesai dirias. Kalau lo butuh apa-apa, ada tim gue yang bisa lo mintain tolong."

"Ray," panggil Ethan, "Val udah dateng?"

"Val?" ulang Ray, ia terlihat ragu. "She's upstairs. Tadi pagi setelah briefing bareng, dia langsung naik ke atas."

"Okay, thanks," jawab Ethan sekali lagi, dengan nada sekasual mungkin.

Setelah Ray menutup pintu dari luar, Ethan dan Remi saling menatap, "she's avoiding me," kata Ethan tanpa suara.

"You said you made a major breakthrough back then," katanya dengan penekanan. "What happened?" balas Remi tanpa suara.

Ethan menggeleng, ia sendiri juga tidak mengerti dan ia merasa kecewa. Terakhir kali mereka bertemu, semuanya baik-baik saja. Tapi sekarang, Val jelas-jelas berbohong dan menghindarinya.

"Should I start?" tanya Janice ragu-ragu. Di tangannya, sudah ada palet berisi campuran foundation sesuai warna kulit Ethan.

"Ya, sure," jawab Ethan, kemudian ia memposisikan dirinya dengan nyaman di kursi dan membiarkan Janice merias wajahnya.

Beberapa jam kemudian, Ethan dan Karenina sudah hampir selesai dengan pemotretan mereka. Pemotretan berjalan lebih cepat dari perkiraan. Baik Ethan dan Karenina sama-sama profesional, tidak mengeluh walau harus berganti baju berulang kali. Keduanya juga tidak terlihat canggung ketika harus berfoto sambil bersentuhan.

Lagu-lagu diputar oleh tim. Seiring dengan ritme lagu, Ethan dan Karenina berpose dengan sangat baik. Beberapa lagu yang diputar merupakan lagu Ethan, dan meski ia sering menyanyikan lagunya sendiri, berpose diiringi lagunya adalah hal yang berbeda. Ia merasa seperti pria narsis yang terlalu bangga dengan lagunya sendiri. Meski ia terlihat santai dari luar, tapi ia merasa aneh tiap kali lagunya diputar.

Unworthy [COMPLETE]Onde histórias criam vida. Descubra agora