Lima Belas

841 99 0
                                    

"You look bad," James menatap Val prihatin.

Pagi itu, sama seperti hari-hari sebelumnya, James masuk ke dalam ruangan Val untuk melaporkan perkembangan terbaru kampanye yang mereka tangani. Tapi ketika James datang, Val terlihat lemas. Lingkaran hitam di matanya melebar, disertai pandangan kosong, yang membuat James cemas.

Tapi alih-alih bertanya apa yang terjadi pada Val, James malah 'mengejeknya'.

"Lo harus ambil cuti Val."

"Gue baik-baik aja," jawab Val tanpa nada.

"Yakin? Lo bener-bener keliatan butuh istirahat."

"Is it that bad?" tanyanya. Sejak malam setelah ia mengusir Ethan pulang, kepalanya terasa lebih berat dari biasanya, dan ia merasa tidak enak badan. Setelah tidur yang cukup, ia merasa lebih baik pagi ini dan memutuskan untuk berangkat ke kantor. Tapi masalahnya, hal itu terjadi satu minggu berturut-turut. Ia hanya merasa lebih baik di pagi hari, tetapi tenaga dan pikirannya akan selalu terkuras di malam hari.

James mengangguk. "Kalau ini masalah pekerjaan, gue bisa bantu. Ini masalah Ethan ya? Gue denger dia sempet ke sini lagi, dan bukan untuk masalah kerjaan."

"Ahhh..." Val menggeram. "Apa semua orang ngomongin gue lagi? Did I make another scene?"

James mengangguk lagi, "semua orang membicarakan kenapa Ethan keluar masuk ruangan lo dengan ekspresi yang berbeda-beda. Dari penasaran, marah, sampe blank. Tiap hari ada aja cerita baru dari anak-anak. Gue dengernya kaya episode bersambung di podcast. Kenapa lo nggak cerita ke gue ada masalah apa antara lo dan Ethan? Mungkin gue bisa bantu."

Awalnya Val ragu, tetapi setelah menimbang pro dan kontranya, akhirnya ia bercerita pada James. Toh pria itu sudah mengetahui setengah masalahnya dengan Ethan.

"Tentang gue dan Ethan, apa aja yang lo denger dari anak-anak?"

"Lo nyantet Ethan," jawabnya santai.

Val menatapnya tidak percaya, "seriusan? Mereka pikir gue nyantet Ethan?"

"Yang gue denger sih gitu ya."

"Selain itu apa lagi?"

"Lo beruntung sekaligus nggak tau diri. People get jealous, you know. Tapi ada juga yang bilang kalau kalian berdua sebenarnya cocok."

"Dan menurut lo sendiri?"

"I think you are insane."

"Kenapa?"

"Buat orang yang langsung bekerja dengan lo, dan melihat ekspresi lo ketika berdekatan dengan Ethan, sebenarnya lo juga masih punya rasa buat dia, tapi entah mengapa lo mati-matian menghindar darinya."

"Gue nggak yakin sama pendapat lo barusan."

"Lo denial, Val."

"Apa menurut lo gue sama Ethan sebenarnya punya kesempatan buat jadian?"

"Kenapa nggak?" James balas bertanya.

"Karena dunia gue dan dia berbeda. Dan dari yang sudah pernah terjadi di antara kami, tujuan gue dan dia beda aja."

"Tunggu.. Tungguu... berbeda gimana? Maksudnya lo lebih mungkin masuk Tatler atau Forbes, sedangkan Ethan munculnya di VOGUE atau Bazaar gitu?"

Val melirik James, "bukan gitu sih maksud gue. Tapi antara Tatler dan Vogue, lo udah bisa liat perbedaannya kan?"

James mendesah, "sebenarnya, sejak lo ketemu dia, lo pernah ngobrol berdua nggak sih? Maksudnya ngobrol santai, pake logika, bukan pake emosi."

Val menggeleng pelan.

"Apa lo nggak penasaran sama Ethan? Kenapa dia selingkuh, apa yang kuran dari lo, dan apa kabarnya Emily sekarang?"

Val menggeleng lagi, "gue nggak yakin gue mau tau, sih. Itu udah jadi urusannya."

"Lo takut ya?"

"Takut apa ya?"

"Selama ini lo pasti menebak-nebak alasannya kan. Dan lo takut alasan itu benar. You don't want to hear it directly from him, because it was painful enough to realize it. But to hear it from Ethan.... Is another thing you might can't handle."

Val diam membeku, dia hanya bisa menelan ludahnya ketika James selesai bicara. Entah mengapa dia merasa ditelanjangi James. "Gue mulai menyesal ngobrol sama lo."

"Lo nggak penasaran sama sekali?" tanya James lagi, sepertinya ia sama sekali tidak tau apa arti kata berhenti. "Bahkan lo nggak mau tau apakah dia baik-baik aja tanpa lo selama ini? Soalnya, lo nggak keliatan baik-baik aja tanpa dia."

"He is fine."

"Tau dari mana?"

"4 album, 9 penghargaan selama enam tahun terakhir. Lo pernah denger penyanyi Indonesia yang lebih produktif dan sukses dari dia selama enam tahun terakhir?"

"Kesuksesan bukan satu-satunya parameter untuk mengukur kebahagiaan seseorang. Lagipula, jika memang Ethan bahagia, dia nggak akan ngejer lo sampe segininya, terutama setelah kalimat sinis dan penolakan-penolakan yang selalu lo berikan. Rejections are painful, buat apa dia mengurangi kebahagiaannya dengan sesuatu yang menyakitkan?"

Val terdiam lagi. James benar. 2-0 untuk James.

"Lo masih sayang sama dia, kan? Gue yakin dia sudah bersusah payah menunjukkannya ke lo, apa lo menghargai semua usaha dia?"

Val menggeleng, dia tidak tau jawabannya. "Gue akui gue cemburu, tapi untuk mencintai lagi, gue nggak yakin gue mampu."

"Maksudnya?"

"I have doubts."

"Doubts? Plural?"

"Can you love someone without trust?"

"I know you have trust issue, but you gotta start somewhere, or you'll be stuck forever."

"Gue cemburu karena Ethan selalu dekat dengan orang-orang yang mendukung karirnya. Emily, Elena, mantan Miss Indonesia itu, atau siapapun itu. Feels like I am not worthy of him, James. Apapun yang gue lakukan untuk mendukungnya, nggak akan cukup. Ethan yang lo kenal sekarang ada karena Emily, bukan gue."

James menatap Val tidak percaya, dia hampir kehilangan kata-kata, "gue... gue nggak percaya kalimat seperti itu keluar dari mulut lo. Lo sadar kan lo siapa? You have a reputation di dunia bisnis. Your father sponsored an F1 team, for god's sake! Lo pewaris The Isaac dan lo brilian. Fuck Emily or Elena, you are beyond them. Dari mana sih lo dapet pemikiran kaya gitu??"

"Karena kenyataannya begitu. Emily membuat mimpinya jadi nyata. Let's say gue memang somebody, tapi hal itu nggak membuat mimpinya jadi nyata. I stood between him and his dream. Kalau gue maksain untuk tetap di samping Ethan, dia nggak akan seterkenal, sesukses ini. " jawab Val tegas. "Setelah gue melihatnya dan Emily waktu itu, gue pikir memang ada baiknya gue pergi dari hidupnya."

"Jadi lo menyimpulkan sendiri, kalau Ethan akan lebih bahagia tanpa lo?"

"Kesimpulan yang gue ambil dari pengamatan," tanggap Val.

James menatapnya tak sabaran, "apa pernah sekali aja lo berpikir kalau lo egois? Apa lo pernah tanya Ethan apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang dia mau? Tiap hubungan punya dua hati dan dua kepala, tapi sepertinya hanya lo yang berhak mengambil keputusan di hubungan kalian yang dulu."

Perkataan James membuat Val langsung terdiam. Perkataan James serasa meninju ulu hatinya. James benar lagi. Selama ini Val selalu berpikir jika jalan keluarnya adalah yang terbaik. Dan Val melakukan itu tanpa pertimbangan apapun. Dia egois. Dan lihat apa yang sekarang terjadi?

"Dan satu lagi, Val," tambah James, "his dreams is not your responsibility, apalagi menjadi kewajiban lo untuk membuat mimpinya jadi nyata. It's his life, dan dialah satu-satunya orang yang harus cari cara untuk membuat mimpinya jadi nyata."

Hari itu, entah berapa kali James menelanjanginya. Tapi hari itu juga, ia sadar kalau ia harus benar-benar bicara pada Ethan.

-----

Don't forget to vote ⭐⭐⭐

Unworthy [COMPLETE]Where stories live. Discover now