17• Hanya Mimpi ☪︎

389 50 8
                                    

Setelah pulang dari Cafe, wajah Naura tampak tak bersemangat seperti biasanya

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Setelah pulang dari Cafe, wajah Naura tampak tak bersemangat seperti biasanya. Raut wajahnya menunduk lesu tanpa berniat melengkungkan sedikit senyuman setelah melihat Gibran dan Luna bersama. Gibran saja tidak pernah tersenyum, pernah tapi tipis bahkan hampir tak terlihat. Namun tadi? Gibran tampak tersenyum lebar sambil menggendong Luna ala bridal style, begitu pula dengan Luna.

Pikiran negative mulai menyerang otak Naura, sepanjang perjalanan Naura tak jarang menabrak bahu seseorang, wajar saja pikiran Naura sedang berkelana kemana-mana.

Lagi. Saat mengangkat kepalanya lemas, mata Naura terpaku pada satu titik. Sebuah Taman yang pernah Gibran dan Naura kunjungi setelah pulang dari pemakaman Bundanya. Gibran tampak ogah-ogahan saat itu, laki-laki itu hanya bisa diam memperhatikan sekitar dengan mata Elangnya.

Naura menggeleng berusaha positif thinking. "Luna gak sejahat itu." Naura bergumam lirih, menatap Taman itu penuh arti sebelum melangkah pergi.

───── ◦'𖥸'◦ ─────

Naura termenung menatap ke depan dengan pandangan kosong, pipinya bersemu merah, badannya pun sudah dipenuhi oleh bercak merah akibat ulah Lutfi yang memukul Naura dengan sabuk miliknya.

Hanya karena tak sengaja menjatuhkan piring dan lalai menjaga Angel, hukuman yang diberikan tak main-main.

Ia menatap lukanya sendiri dengan tatapan sendu, mengusapnya pelan dan mengulas senyum tipis. Entah takdir atau dirinya yang berbuat salah hingga semesta member ujian berat seperti ini.

Gadis itu menekuk lututnya dan menyembunyikan kepalanya di lipatan kaki. Ia tampak bosan dengan kamar ini. Tak ada jendela untuk melihat bulan dan bercerita kepada bundanya.

"Aih! Bosen," gerutu Naura menekuk mukanya kesal.

Netra Naura tak sengaja menangkap buku diarynya yang tergeletak diatas meja. Ia beranjak mengambil buku berwarna hijau serta bolpoin.

Ia mencoret-coret tak jelas, menggambar asal dua orang dewasa dan satu anak kecil yang berdiri di tengah mereka.

Pikirannya mendadak buntu saat ingin menuliskan sebuah untaian aksara. Biasanya dirinya lancar ketika menulis puisi atau sajak. Namun sepertinya pikirannya kembali pada sore tadi, dimana Gibran tersenyum ke arah Luna.

Naura menghela nafas panjang, mengeluarkan dengan kasar. Tangan lentiknya mulai bergulat dengan bolpoin dan kertas yang di genggamannya. Menuliskan satu persatu dan merangkai bait-bait aksara yang mewakili hatinya.

Kembali pada kenangan masa kecil
Memori indah kian terbuka kala rindu menggelora
Isakan kecil mulai menjadi tangisan pilu
Saat raga lelah untuk bertahan

Kesunyian serta kegelapan sudah menjadi makanan sehari-hari
Goresan aksara mulai mengabur
Lambat laun semuanya senyap
Bersamaan dengan bahagia yang perlahan terkubur

About NauraDonde viven las historias. Descúbrelo ahora