1. MISI 30 HARI

976 332 615
                                    

POV ALUNA

"Gue mau jadi pacar lo!"

Ucapan itu tidak sembarangan kuucapkan kepada Kale. Aku sudah siap segala konsekuensinya bila dia menolak. Tetapi, pada dasarnya dia harus menerimaku. Sia-sia dong semalam suntuk memikirkan tindakan gila ini, tapi akhirnya ditolak. Enak saja!

Kale menengok ke kanan dan ke kiri, berjaga-jaga kalau ada yang mendengar suara lantangku. Aku pun melakukan hal serupa dengannya, tapi tatapanku harus kembali fokus ke arahnya karena dia melepaskan cengkramanku. Bagiku ini sudah pertanda dia akan menolakku.

"Maksud lo apa, sih?" tanyanya. "Lo salah makan? Atau lo ngigau ya, Na?" 

Aku mengusap peluh di keningku. Nyatanya cewek lebih dulu mengungkapkan cinta begini, ya. Keringat dingin membasahi telapak tanganku. Semoga jantungku kuat untuk menerima gejolak perasaan ini. 

Kale mengernyit bingung. Karena tidak biasanya cewek berambut pendek ini terdiam seribu bahasa. "Una, are you okay?"

Aku masih enggan bicara. Perasaanku bingung harus melontarkan apa lagi kepadanya. Ah, aku benci!

Mungkin di mata Kale sekarang aku itu aneh. Ya aneh karena kurang lebih selama lima tahun ini aku tidak pernah berperilaku memalukan seperti ini. Ng..., lalu bagaimana dengan persahabatan kami setelah ini? Uhh.

"Lo ke mana aja dua hari ini?" tanyanya lagi.

Kuhela napas. Tidak mungkin kan kalau aku mengatakan tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada Kale. Perang perasaan ini tambh kacau kalau begitu. Belum lagi sikap dua cowok di kelas. Gema dan Javier maksudku. Mereka pun sama sekali tahu kondisiku saat ini.

Senyumku terulas selebar mungkin. "Gue enggak ke mana-mana, kok."

"Enggak usah bohong deh. Kemarin gue ke rumah lo, tapi rumah lo kosong."

Mataku membulat. "Eh, kapan?"

"Pulang sekolah."

"Ih, bolos les lo ya?" Kugoyang-goyangkan telunjuk tangan kananku di depan wajah Kale. "Gue bilangin Tante Kyra, lho!"

Kale menepis tanganku dari hadapannya. "Enggak penting gue mau les atau enggak. Toh, enggak ada yang peduli sama gue."

"Lho, kok gitu ngomongnya? Gue peduli kok sama lo."

"Itu beda, Na." Kale memasukkan kedua tangannya ke dalam saku seraya bersandar pada tumpukkan kursi di gudang sekolah. "Ah, udahlah. Enggak usah ngurusin gue. Sekarang bilang sama gue, lo kenapa?"

Kuhela napas lagi, dan ikut bersandar ditumpukan kursi. "Gue mau jadi pacar lo, Le."

"Kalo gue enggak mau?"

Aku berdiri menghadapnya. "Please, Le. Kabulin permintaan gue ini."

"Kenapa? Kan lo sendiri yang bilang kalo lo pengen bebas. Lo juga tahu kan gue sukanya sama Venya."

"Iya, gue tahu. Tapi selama belum janur kuning melengkung, gue masih punya peluang buat bikin lo jatuh cinta sama gue, kan?"

Decakan kecil lolos dari mulutnya. "Na, lo sakit ya?" Ditempelkan punggung telapak tangannya ke keningku. "Kok lo jadi aneh gini, sih?"

Aku menggeleng cepat. "Gue enggak sakit. Gue sehat seperti yang lo lihat sekarang. Iya, kan?"

Kale menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepertinya dia yakin ada yang tidak beres denganku. "Enggak," dia menggeleng, "lo aneh banget, Na."

Asal tahu saja, debaran jantungku sekarang bekerja dua kali lipat. Dan itu adalah hal yang dipantang oleh dokter kemarin. Mama juga bilang, sih. Tetapi, bukannya istirahat agar kondisi jantungku pulih, aku malah berbuat kekonyolan seperti ini.

"Le, tolongin gue kali ini aja. Kasih gue kesempatan. Gue janji bakal bikin lo suka sama gue dalam waktu 30 hari."

"Ngomong lo ngaco. Udah, ah. Gue mau ngambil tas terus cabut. Sumpek gue!"

Tetapi, baru beberapa langkah Kale menjauh dariku, aku memberanikan diri untuk mengatakan kalimat pernyataan perasaanku. "Gue suka sama lo, Le!" teriakku sambil memegang dadaku yang mulai terasa nyeri. Kedua mataku terpejam rapat. Sementara keringat di keningku terus mengucur. Aku sangat tidak berani melihat bagaimana ekspresi Kale saat aku berteriak tadi.

Terdengar derap langkah sepatu Kale mendekat. "Lihat mata gue, Na," katanya. 

Aku menggeleng. "Gue takut, Le."

"Takut kenapa?"

"Ng..., takut lo tolak."

Bukannya Kale meresponsku dengan kata-kata, omelan, atau tertawa, dia malah menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Dia mengelus hangat punggungku, membuat tangisanku pecah.

"Eh, kok jadi nangis?" Kale melepaskan dekapannya dan mengangkat daguku. Dihapusnya air mataku. "Gue enggak tahu lo kenapa, Na. Tapi kalo ini yang buat lo tenang, gue akan coba terima tawaran lo."

Aku sesegukan. "Thanks, Le."

"Tapi kalo dalam waktu sebulan lo enggak bisa bikin gue jatuh cinta ke lo, kita udahan ya."

Aku mengangguk seraya mengusap air mata. "Selama 30 hari, lo bebas boleh ngapain aja kok. Termasuk jalan sama Venya. Atau mungkin pacaran sama cewek yang dijodohin sama lo itu." Yah, itu peraturan yang keluar dari mulutku begitu saja. Yang penting Kale sudah dalam genggamanku.

Kening Kale mengerut mendengar perkataanku. Tetapi sebelum dia berpikir macam-macam, aku segera menambahi, "Tapi inget, ada gue di sini yang butuh lo."

"Gue enggak tahu apa yang harus gue rasain dan bilang ke lo, Na. Bener-bener enggak ada persiapan sama sekali. Ngebayangin lo jadi cewek gue aja enggak pernah." Kale menyisipkan anak rambutku ke belakang telinga. 

"Iya gue tahu, kok. Kita cuma sebatas temen, kan? Maaf kalo tiba-tiba gue ngelompatin batas itu." Aku menghela napas. "Apa pun yang terjadi nanti, kita bakal tetep temenan."

"Emang sejak kapan lo suka gue?"

"Ng..., kalo itu gue lupa, Le. Yang jelas gue terlanjur baper sama lo." Aku menarik ujung seragamnya dan menatap sepatu pantofelku. "Sorry."

Kale tertawa renyah. "Enggak salah lo juga sih, Na, buat suka sama gue." Dia mengelus kepalaku. "Tapi kasih gue waktu buat gue belajar buat cinta beneran ya ke lo. Lo tahu sendiri kan saingan lo banyak."

Aku memukul dadanya main-main. "Iya, lo harus kurangin jiwa kebucinan lo ke Venya."

Kale tertawa lagi. "Siap! Tapi kalo gue enggak bisa, sorry ya."

"Enggak apa-apa. Gue harus tetep jalanin hidup gue." Senyumku terulas. "Jadi enggak?" 

"Apa?"

"Cabutnya."

"Oh, iya."

Kale hendak berbalik badan, tapi dengan cepat aku meraih lengannya. "Gue ikut!"          

SMA Extraordinary School adalah sekolah bergengsi di daerah Salemba, Jakarta Pusat. Hanya para siswa yang berduit dengan kemampuan IQ di atas rata-rata yang bisa bersekolah di sini. Jadi tidak bisa sembarang orang bisa masuk ke sekolah ini.

Aku pun demikian. Rela mati-matian belajar untuk bisa masuk ke sekolah lantaran janjiku dengan kedua orang tuaku yang mengharuskan bersekolah di sini. Selain diajarkan oleh para guru lulusan terbaik, juga menjanjikan untuk aku dapat mencapai cita-citaku. Memang sih aku belum terpikirkan ingin menjadi apa sekarang, tapi aku akan melakukan semua hal yang kuinginkan sebaik mungkin.

Adapun yang belum pernah kulakukan adalah bepergian jauh. Jauh dari orang tua, seperti traveling ke daerah selain wilayah Jakarta dan sekitarnya. Mungkin hal ini akan bisa diwujudkan saat Kale menyetujui permintaanku nanti.

"Lo tunggu di pintu besi belakang toilet cewek aja, Na," kata Kale, membuatku melongo. Karena selama ini aku tidak tahu keberadaan pintu tersebut. "Biar gue yang ngambil tas lo."

"Emang ada pintu?"

"Ada, kok." Kale tersenyum miring dan mengelus rambutku. "Welcome to my world, Una." [] 

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now