19. MELUKIS SENJA

109 29 23
                                    

POV KALE

Inginku berdiri di sebelahmu

Menggenggam erat jari-jarimu

Mendengarkan lagu Sheila On 7

Seperti waktu itu saat kau di sisiku

Suara khas Fiersa Besari dengan lagunya Celengan Rindu melantun indah di tape mobil Javier. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir, mengikuti irama. Dia tampak menikmati perjalanan menuju rumah Aluna dari toko buku. Tapi lain halnya dengan gue yang duduk di sebelahnya malah merasa muram.

"Kenapa lo? Suntuk amat dari tadi."

Bukannya menjawab, gue malah memejamkan mata dan bersedekap.

"Yeee, diajak ngomong juga malah merem. Udah niat mau pulang ke rumah belum? Udah empat hari lho lo nginep di rumah gue."

Yup, sejak kepulangan gue sewaktu menjaga Aluna di rumah sakit itu, pada hari berikutnya gue memutuskan untuk enggak pulang ke rumah. Lebih baik menginap di rumah Javier saja daripada Pundak gue makin berat.

"Eh, gue jadi inget kutipan di salah satu kumcernya Fiersa Besari. Gini katanya, 'Orang bilang jodoh takkan ke mana. Aku rasa mereka keliru. Jodoh akan ke mana-mana terlebih dahulu sebelum akhirnya menetap. Ketika waktunya telah tiba, ketika segala rasa sudah tidak bisa lagi dilawan, yang bisa kita lakukan hanyalah merangkul tanpa perlu banyak kompromi'."[1]

"Pasti lo baca dari bukunya Lily," tebak gue mengingat cewek itu belakangan ini sering tertangkap basah membaca novel saat jam pelajaran.

"Enak aja. Gue beli tahu."

"Jadian gih."

"Sama?"

"Lily, lah. Siapa lagi coba? Ya siapa tahu jodoh lo, kan."

Javier terkekeh. "Mending lo aja yang jadian beneran sama Una."

"Udah."

"Bukan yang Una nembak lo, tapi lo yang nembak Una."

Gue menoleh ke arahnya. "Ih, dibilangin udah. Tanya Una aja kalo enggak percaya."

Javier menyalakan lampu sen dan menepikan mobil ke kiri, tepat di depan tambal ban. Tukang tambal ban pun otomatis menghampiri mobilnya dan mengetuk kaca mobil. Javier akhirnya terpaksa menurunkan kaca mobil padahal sama sekali enggak ada rencana untuk menambal.

"Mau tambah angin, Mas?" tanyanya.

"Ng..., coba tolong cek deh, Pak. Saya enggak tahu," sahut Javier, lebih pada rasa kasihan melihat wajah si tukang yang lelah sepertinya. Setelah itu, dia kembali menaikkan kaca mobilnya dan menatap serius gue. "Gue enggak percaya, Le. Pasti lo terpaksa. Iya, kan?"

"Terpaksa atau enggaknya, pokoknya gue harus ngelindungin Una," jawab gue. "Tapi sekarang gue udah yakin banget."

"Oh, oke. Bagus kalo gitu. Kita anggep masalah lo sama Venya selesai."

Gue mengangguk mantap. "Jangan kasih tahu Una perihal Gema, ya. Gue takut Una pikiran."

"Oh, iya. Kemaren gue denger dari panitia ambasador bakalan ada ...," Javier memberikan uang dua lembar 5000 pada tukang tambal, "ambil aja kembaliannya, Pak," katanya. Dia menyalakan kembali mesin mobil dan menderukannya. Sesaat kemudian, mobilnya menyatu dengan keriuhan jalan raya.

"Ada apaan?" tanya gue penasaran.

"Oh, itu. Kemungkinan pengumuman seleksi bakal diundur satu atau dua hari karena mau buka pendaftaran lagi soalnya dari hasil seleksi pesertanya kurang menjanjikan gitu."

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now