22. PENGUMUMAN

89 16 0
                                    

POV KALE

Pukul sembilan pagi, pengumuman peserta yang lolos untuk acara ambasador 2019 telah dipasang di mading SMA Extraordinary. Beberapa siswa termasuk gue pas selesai mengumpulkan tugas ke ruang guru merasa heran melihat nama Venya 11 IPS D ada di deretan nama peserta. What the hell? Padahal kan sudah jelas-jelas dia sebagai panitia ambasador, enggak mungkin kan kalau dia masuk sebagai peserta juga?

Asal tahu saja, bibir gue enggak berhenti mengumpat sejak usai melihat pengumuman yang menjadi malapetaka buat gue dan Aluna. Bagaimana gue bisa fokus untuk menuruti permintaan Aluna kalau cewek kesayangan Mama itu jadi saingan kami? Tapi... bukan nama Venya saja yang kini mengusik gue. Ada Gema juga yang terdaftar sebagai peserta! Makin gila kan gue?

Argh, maunya apa sih kalian berdua?

Setelah kedatangan Venya dua hari yang lalu ke rumah gue, gue menjadi semakin frustrasi. Enggak ada yang mau mendengarkan gue. Mama, Papa sama saja! Sama-sama keras! Kalaupun ada, hanya Kara yang bisa diandalkan menjadi pendengar. Tapi sia-sia juga karena kakak gue itu sudah, enggak dianggap anak oleh mereka.

Gue mempercepat langkah menuju kelas. Aluna harus mengetahui hal ini. Sejak masuk kelas tadi pagi, cewek gue itu terlihat murung dan enggak bersemangat. Sedihnya lagi, dia enggak menyapa gue sama sekali.

"Aluna," gue berlutut tepat di depan meja Aluna, sedangkan kedua tangan gue langsung menangkup jemari Aluna. "Na, tolong bantu gue."

Aluna melirik gue sekilas tanpa minat. Dia masih tampak enggan berbicara dengan gue.

"Gue enggak tahu mau minta tolong sama siapa lagi selain lo. Di rumah kacau banget, Na. Tolong dengerin gue sekali ini aja, ya." Melihat Aluna yang enggak ngerespons sama sekali, membuat gue geram. Gue gebrak meja, lalu berkata, "Na, jangan diem aja dong!" Tentunya hal itu membuat semua terfokus pada kami, tapi biarlah. "Gue butuh support lo, Na. Tapi lo malah kayak gini, diem enggak jelas."

Aluna segera menutup bukunya dan berdiri, lalu menarik tangan gue dan menggiring gue keluar kelas sampai ujung lorong, samping loker. Dia melepas genggamannya, lalu berkata, "Gue enggak ada maksud untuk diemin lo, Le. Tapi gue beneran enggak tahu harus gimananya ke lo." Dia menatap lantai. "Gue sedih sekaligus marah, Le."

"Maaf, Na. Serius, gue enggak tahu kalo dia yang dijodohin sama gue. Kan gue sama lo terus."

Aluna menatap gue dengan mata yang berkaca-kaca. "Terus kita harus gimana? Kan enggak mungkin lo jadi anak durhaka karena lo ngelawan orang tua."

"Biar itu urusan gue." Gue mengelus puncak kepala Aluna. "Lo enggak usah mikirin itu, ya. Karena hati gue udah sepenuhnya buat lo, Na."

Aluna berdecak. "Gombalnya nanti aja. Soal Gema gimana? Tadi sih gue udah nanya, katanya sibuk. Tapi kan eng-"

"Gema jadi saingan gue, Na."

"Hah? Saingan gimana maksud lo?"

"Dia daftar ambasador dan lolos."

Kening Aluna mengerut dalam. "Terus kita?"

"Kita lolos, Na. Tapi ada Gema juga. Dia pasti mau ngerebut lo dari gue."

Aluna terdiam, tampak memikirkan sesuatu. "Gue enggak mau mimpi gue jadi kenyataan, Le."

"Mimpi?"

"Iya, waktu di rumah sakit gue mimpi. Di mimpi itu, gue dan Gema yang menang ambasador."

"Ah, enggak bisa. Pokoknya kita harus menang! Bukan Gema atau Venya."

Bel istirahat berbunyi bertepatan dengan selesainya Aluna berbicara. Para siswa pun berhamburan keluar kelas dengan gembira. Banyak pula yang ke lokernya masing-masing untuk mengambil sesuatu.

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now