16. JADI, GUE HARUS GIMANA?

119 36 9
                                    

POV KALE

Di tangan gue sudah ada dua form yang harus gue dan Aluna isi nanti. Tapi, gue benar-benar enggak bisa menyingkirkan Venya rupanya. Rasanya gue membelah diri saja kalau terus-terus begini. Hati gue kayaknya enggak tega membentak Venya seperti tadi. Bagaimanapun dia cewek, dan... argh!

Gue terpaksa menghampir Venya sebelum beranjak dari aula. Dia tengah sibuk melayani pengisian formulir di mejanya. "Nya, bisa ngomong sebentar enggak?" tanya gue.

Venya mendelik tajam ke arah gue. "Ngapain?"

"Ada yang perlu gue jelasin. Gue tunggu di depan, ya."

Enggak lama gue menunggunya di samping aula, dia muncul dengan muka jutek. "Apaan?"

"Maafin gue, ya."

Kedua tangan Venya bersedekap. "Enggak jelas. Kemaren deketin gue, sekarang Aluna yang jelas-jelas punya cowok. Maksud lo apaan sih, Le?"

Gue mengembuskan napas, lalu menggengam kedua pergelangan tangan Venya, berharap ini cepat usai dan gue bisa kembali fokus pada Aluna. Gue cuma... ah, berengsek lo, Le!

Tuhan, sebenarnya hati gue terbuat dari apa sih?

Gue enggak mungkin membocorkan hubungan gue dengan Aluna. Bisa tambah runyam nanti. Ya... gue cuma enggak mau Venya marah karena gue bentak tadi. Simpelnya gitu. Jadi yang gue katakan adalah, "Jadi lo enggak percaya kalo gue sama Aluna ditunjuk kelas buat ikut kompetisi ini?"

Venya terdiam cukup lalu, tapi akhirnya dia menggeleng.

"Kalo gue bilang gue sukanya sama lo, bukan Aluna, lo percaya?" Astaga, gue ngomong apaan tadi? Aduh, Aluna, gue minta maaf. Enggak sengaja sampai sejauh itu ngomongnya.

Venya mengernyit. "Jadi, ceritanya lo nembak gue?"

"Ng..., enggak ... eh, belum, Nya." Serius, hati dan pikiran gue saat ini beneran enggak jelas. Enggak bisa gue ajak untuk memihak kepada Aluna saja. Argh...

"Maksud gue, nanti gue pasti nembak lo, tapi enggak sekarang ya," lanjut gue. Maksud hati mau menghilangkan Venya dari hati, tapi malah pakunya semakin kuat ke Venya. Taubat, Le, taubat! "Please, ngertiin gue."

"Ah, mana ada cewek yang bakal suka sama lo kalo lo sendiri enggak punya pendirian, Le!"

"Kasih gue waktu, ya?"

"Tapi lo beneran enggak ada apa-apa sama Aluna?"

Bukannya menjawab, yang gue lakukan malah mencium kening Venya, lalu berkata, "Gue duluan, ya."

Berengsek kan gue?

***

Sesuai janji gue tadi dengan Aubrey, gue akan menemui cewek indo-rusia tersebut di kantin. Tatapan gue menunduk sambil terus merutuki diri atas kebodohan gue. Bisa-bisanya gue tiba-tiba jadi playboy gini.

Gue menendang kaleng bekas minuman begitu saja hingga menimbulkan bunyi gaduh dan mengenai punggung seseorang.

"KALE!"

Gue mengangkat pandangan dan mendapati Bu Susi yang melototi gue. Mati gue!

"Maaf, Bu. Saya kira bakal masuk ke tempat sampah. Tahunya meleset, Bu. Maaf, ya." Gue memasang wajah memelas, berharap Bu Susi enggak akan menyuruh gue berlari mengelilingi lapangan.

Bu Susi menghela napas, lalu menghampiri gue. Beliau menepuk-nepuk pelan Pundak gue. "Mumpung Ibu kekenyangan, kamu Ibu bebaskan dari hukuman."

Antara mau dan enggak senyum paksaan harus gue layangkannya pada Bu Susi. Atau mungkin malas adalah ungkapan paling tepat untuk gue kali ini. Tapi demi mencari aman, gue wajib bersabar.

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now