23. KARANTINA

73 15 0
                                    

POV ALUNA

Daftar peserta yang lolos ke tahap karantina:

1. Fatma Zahra (11 MIA A)

2. Leo Sahle (11 MIA B)

3. Berryl Fahreza (11 MIA C)

4. Deasy (11 MIA D)

5. Aluna Sahara (11 IIS A)

6. Gema M. Pamungkas (11 IIS A)

7. Kale Kasyavani Hakim (11 IIS A)

8. Heru Pangestu (11 IIS B)

9. Safina Salsabila (11 IIS C)

10. Venya Earlyta (11 IIS D)

Setelah melakukan registrasi dan memakai name tag khusus, kini aku bersama sebelas siswa lainnya memadati ruang aula sepulang sekolah untuk diberi pengarahan oleh panitia. Kulihat beberapa fotografer profesional sudah tampak memenuhi deretan sisi tepian aula karena jadwal hari ini adalah pemotretan untuk fotogenik yang nantinya akan dipanjang di media sosial.

Tentunya proses seleksi ini sangat ketat. Saat penyerahan CV kemarin, dilakukan juga wawancara mengenai visi, misi atas prestasi yang dimiliki. Meski begitu, masih ada beberapa dari kami yang mempertanyakan keberadaan Venya sebagai peserta. Terutama aku.

Aku mengangkat tangan, berniat untuk bertanya sewaktu istirahat tadi. Aku gerah melihat kelakuan Venya yang semakin menyombongkan diri. "Bukannya banyak ya pesertanya, kok lo malah jadi peserta?"

"Gue masuk karena gue diperluin, ya," jelas Venya. Dia mengibaskan rambutnya ke belakang sambil tetap memeluk lengan Kale, membuatku ingin menarik rambutnya. Oh, aku jelas tetap menggenggam Kale erat. Kale tentunya sudah berkomat-kamit berdoa meminta tolong.

"Cadangan maksudnya? Bayar panitia berapa lo, Nya?" sahutku lagi.

Lily tertawa kecil, sedangkan Javier mengacungkan dua ibu jarinya di depanku. Mereka sepertinya bangga denganku.

Venya menghentakkan kakinya, lalu berdiri. Wajahnya memerah, "Lo tuh ya, dikasih tahu yang bener, malah nantang."

"Lho, gue kan nanya. Bukan nantang." Sambil menahan tawa, aku melepaskan genggaman pada Kale, hendak beranjak dari tempat. Pergerakanku diikuti oleh Gema. Cowok itu sepertinya juga hendak kembali ke kelas. "Cantik-cantik kok kelakuannya minus. Ly, balik kelas yuk!" Aku menggeser kursi, tapi sesaat berhenti, membisikkan sesuatu pada Kale. "Oh ya, Sayang. Bayarin menu gue ya, dompet gue ketinggalan."

Ingatanku tergulung rapi saat terdengar, "Tes! Cek... oke!" dari atas panggung. Mengingat kejadian tadi siang, membuatku yakin bahwa diri ini bisa menunjukkan hal yang terbaik, yang tidak dimiliki Venya; nilai sopan santun.

Setelah memberi tanda oke pada anggota panitia yang bertugas mengecek sound, panitia bernama Sita berkomat-kamit menghitung peserta. Cewek berambut bob dengan bando merah hati berjalan bolak-balik itu di atas panggung, mencocokkan jumlah peserta dengan yang ada di lembar kertas. Langkahnya terhenti dan kembali menatap para peserta. "Tadi gue hitung ada sepuluh peserta ya yang lolos ke tahap karantina. Di sini ada lima cewek dan lima cowok. Oke, walau sebenernya gue sedih ya karena tahun ini, cuma sedikit yang daftar, beda sama tahun lalu, tapi enggak apa-apa. Kalian tuh udah hebat bisa masuk ke ajang ini."

Aku merasakan Kale meremas telapak tanganku. "Na, kok gue jadi deg-degan gini sih?" bisiknya.

"Lo demam panggung? Apa grogi karena ada Venya sama Gema?"

"Yah, Na, mana gue tahu. Tiba-tiba aja keringet dingin enggak jelas gini."

"Untuk karantina sendiri diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut," kata Sita. "Jadi, kalian wajib ke sini untuk latihan."

Selanjutnya, Sita menjabarkan apa saja yang akan dilakukan selama karantina. Adapun penjelasannya sama persis dengan yang dijelaskan oleh Aubrey, antara lain fotogenik, tata rias, dan public speaking. "Sebagai tambahan dari gue, untuk nambah nilai di mata juri nanti, kalian harus lancar public speaking-nya. Karena kalo cuma menang bakat atau menang penampilan doang, tingkat kemenangannya bakal tipis banget."

"Eh, tambahan dong," kali ini Dewa sebagai salah satu panitia inti merebut mikrofon dari Sita, "jangan ada yang baper, ya! Tolong! Ini ajang buat belajar jadi seorang pemimpin, bukan ajang main-main atau cari muka."

"Iya, Kak," jawab para peserta serempak.

"Sekarang di belakang kalian udah ada fotografer. Setelah kalian perkenalan satu-satu di depan sini, kalian bakal fotogenik di situ. Jadi, kalo bisa senatural mungkin ya. Nah, besok habis latihan tata rias, kalian boleh deh pake baju kecenya dan photoshoot. Hitung-hitung latihan pas malam puncak."

Kale lagi-lagi meremas jemariku. "Tuh, Na, suruh perkenalan dulu lagi. Gue bisa pingsan entar, Na."

Aku menutup wajahku karena tak habis pikir bahwa cowok yang selama ini kukenal baik sebagai seseorang yang tegar, rupanya mempunyai sisi kurang juga. "Tenang, Le, kan ada gue."

***

Dengan diiringi suara jangkrik dan lampu taman, Kale memandangiku yang tampak lelah karena kegiatan di sekolah tadi. Tapi, aku masih harus terus bersemangat untuk mencapai targetku itu.

Usai makan malam beberapa waktu lalu, Kale datang dengan membawa sekotak martabak cokelat keju. Tapi aku tahu, itu sebenarnya untuk mengusir penatnya hawa di rumahnya sendiri.

"Kuasai materi, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, berlatih di depan cermin, gunakan seni berbicara, dan terakhir gunakanlah bahasa tubuh." Aku mengulang materi yang diberikan oleh keynote speaker sore tadi.

Di hari ketiga ini semuanya berjalan lancar. Pun hubunganku dengan Kale. Demi menciptakan chemistry yang kuat, kami sepakat untuk mengabaikan keberadaan Gema dan Venya. Paling tidak sampai malam puncak.

"Na, emangnya lo mau ngajak gue ke mana, sih?"

Aluna mengangkat pandangan dari catatan, beralih pada Kale. "Kalo gue kasih tahu, bukan kejutan dong namanya."

"Yah, Na, kasih tahu gue dong. Kan seenggaknya gue harus nyiapin budget-nya. Lo tahu sendiri kan ortu gimana ke gue."

Aku terkekeh, dan membuka halaman berikutnya. "Eh, enggak kecatet kayaknya. Le, nyatet yang di slide tadi enggak? Yang opsi tema buat public speaking di malam grand final nanti."

Kale meraih ponselnya, membuka galeri, lalu menyodorkannya padaku. "Nih...."

"Ih, males banget nyatet lo ya. Dikit doang juga pake difoto."

"Ya elah, Na, udah akhir 2019 ini, masih aja debatin gituan." Kale menyesap minumannya. "Yang penting kan ada catetannya." Suara tawanya pecah ketika memberikan tatapan tajam padanya. "Jadi, gimana? Nanti kalo perlu, gue cari orderan ngedit lagi deh. Kasih clue dong, Na...."

"Makanya kita harus dapetin juara dua," jawab Aluna. Cengiranku melebar.

"Lha, kok dua, sih? Di mana-mana tuh pengennya juara satu."

"Ya kan gue enggak niat ngajak lo ke Korea, Le. Lagian juga itu liburan biasa juga bisa kali."

Kale menggeleng pelan. Mungkin dia tak mengerti maksudku.

Aku menghela napas. "Ya udah gue kasih tahu, nih."

"Oke. Apa?"

"Kita bakal ke bagian selatan pulau Jawa."

"...." []

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now