15. SELEKSI HATI

129 47 19
                                    

POV KALE

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

POV KALE

ALUNA: Lele sayang, jgn lupa hari ini pendaftaran.

KALE: Siyapp. Pokoknya lo gak usah khawatir. Tugas lo cuma istirahat, oke?

ALUNA: Wkwkk pegel ih tidur mulu :(

KALE: Hahaha ya mau gmn lagi? Kan cuma itu yang bisa gue saranin. Kalo gak,coba lo stretching kecil2an di kasur. Cari contohnya di yt. Positif thinkingya, Sayang. Gue yakin lo bisa ngelewatin ini semua.

Sesampainya gue di rumah semalam sekitar pukul sembilan kurang, gue duduk di sofa. Suasana rumah ya seperti biasa, sepi. Sambil membuka sepatu menggunakan kaki, gue rebahan. Sumpah, banyak banget kejadian di luar dugaan gue. Bisa-bisanya gue enggak sepeka itu. Ah, pokoknya hati gue hanya untuk Aluna! Enggak yang lain. Titik.

Kalau ditanya perasaan gue bagaimana, ya gue bingung, gue sedih juga pas tahu Aluna nyatanya begitu. Malah gue harusnya enggak usah pulang. Gue harusnya jagain Aluna di sana. Pasti dia kesepian.

"Kale," terdengar suara Papa. Gue enggan bangun dan duduk dengan benar. Menutup mata, berpura-pura tidur mungkin akan jauh lebih baik untuk saat ini. Derap langkahnya berhenti tepat di samping gue. "Papa mau akhir tahun ini kamu bertunangan dengan gadis yang Papa jodohkan itu. Dan kan enggak bisa menolak dengan alasan apa pun."

"Papa aneh," sahut gue masih dengan mata tertutup. Helaan napas lelah gue embuskan. Lalu, gue beranjak bangun, menatap lelaki yang dulu pernah gue banggakan.

"Jangan kurang ajar kamu, ya!"

"Oh, iya. Kabarku baik. Baik banget malah. Tapi sayangnya aku disambut dengan sambutan yang selalu menyuruhku untuk pergi di sini."

"Maksud kamu apa? Jangan ngomong enggak jelas gitu deh."

Ini adalah saat yang tepat untuk mengatakan semuanya. Pun karena gue sudah menetapkan hati gue untuk Aluna. Enggak ada yang boleh mengusiknya lagi.

"To the point aja, Pa." Gue memberi sedikit jeda. "Aku udah punya pacar dan aku enggak akan mengiyakan permintaan Papa."

"Ja—"

"Ini hidupku, Pa. Papa enggak berhak mengatur sedetail itu; pasangan siapa, nanti kerja di mana, dan seterusnya."

"Ka—"

"Aku bukan Kale kecil yang dulu dimanjain Papa. Aku udah besar. Aku punya pilihan sendiri."

Gue melihat Papa terdiam. Keadaan gue mungkin di matanya kini adalah Kale yang frustrasi. Tapi biarkan. Biar Papa mencerna perkataan gue baik-baik.

"Papa enggak pernah tanya kan maunya aku?" Gue mengambil tas, dan segera masuk ke kamar. Entah kapan drama kehidupan gue akan usai. Argh! Kalau saja gue punya uang banyak, kemungkinan gue sudah pindah dari rumah atau kabur bersama Kara. Ya... menjadi anak kos mungkin akan lebih baik ketimbang gila di rumah sendiri.

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now