Bagian 3

197 46 10
                                    

"Diriku ingin banyak hal, hanya satu yang ku inginkan. Kebahagiaan."

Saira Aldera



Jangan dekati aku! Aku bukan pembunuh! Sungguh! Hahaha!" Saira kembali bersuara ketika Bu Tiwy akan mendekatinya.

"Tenang nak, Ibu tidak akan melukai kamu," lirihnya berharap Saira akan luluh.

Nyatanya Saira tak dapat luluh secepat itu. Bu Tiwy sangatlah iba melihatnya. Ternyata, muridnya sangat pandai untuk menyembunyikan kesedihannya.

Saira menatap tajam Bu Tiwy lalu pergi ke sudut ruangan itu, "Pergi! Anda siapa? Saya tidak mrngenal anda! Saya bukan pembunuh!"

Baiklah nampaknya Bu Tiwy sudah putus asa. Ia mengalah, ia keluar dari ruangan itu. Air matanya menetes begitu saja mengingat kondisi Saira yang kabarnya semakin memburuk. Apa tak ada satu keluarganya yang peduli? Sampai-sampai tak ada yang menjenguknya sama sekali.

"Bagaimana keadaan Saira Bu Tiwy? Apakah sudah membaik?" Lelaki itu menyalimi Bu Tiwy terlebih dahulu, dengan cepat Bu Tiwy menghapus air matanya.

"Kata dokter kondisinya memburuk, Pak Bagus," Bu Tiwy duduk kembali, " Tadi saya sempat mendekati Saira, tak sesuai ekspektasi saya, Saira justru teriak-teriak menyuruh saya pergi Pak," sambung Bu Tiwy.

Tentu saja Pak Bagus --kepala sekolah SMA Pelita-- sangat terkejut mendengarnya. Niat untuk melihat kondisi siswi cantiknya itu ia urungkan terlebih dahulu.



🍁🍁🍁



"Pagi Semua! Gionna cantik nan bohay datang nih mana red karpetnya?"

Nuella berdecak, basa-basi sahabatnya ini sangatlah basi, eh, "Kampret Lo! Ada berita apa lagi nih?"

Gionna menyeringai, sangat tajam, ia menutup matanya membayangkan bagaimana hancurnya Saira kemudian, "Oiya! Katanya nih ya, orang tua Saira mau cerai nih! Aw kasian banget nggak punya orang tua!" ucapnya sedikit berteriak lalu tertawa.

Siswa-siswi yang lain pun ikut mendekat ke arah Gionna yang berada di tengah koridor, katanya supaya tidak tertinggal hot news SMA Pelita. Hot news pala kau!

Kalimat demi kalimat tajam Gionna mampu mengobsesi murid-murid di SMA Pelita ini. Baginya kali ini sangat mudah untuk menghancurkan secuil hama, Saira. Kerumunan ini berkisar sekitar dua puluh menit saja.

"Ada apa ini?! Sudah bubar!" beruntung Pak jaenal yang baru saja datang langsung membubarkan kerumunan ini. Penyebab kerumunan ini Ia juga sudah hafal siapa pelakunya. Setelah semua bubar Ia memilih masuk ke ruangannya.

"Put, Ziv, keadaan Saira gimana?" Denan yang baru saja dari kantin langsung bergabung ke meja Putra, dan Ziva.

Ziva tak mengindahkan pertanyaan Denan, ia kembali membuka novelnya. Putra mengambil ponselnya, sembari mengedikkan bahunya. Denan yang tak mau ambil pusing pun langsung melaksanakan aksi mencontek PR Ziva.

Bel masuk sudah berbunyi sedari tadi, tapi mengapa koridor ini nampak masih ramai saja? Padahal pelajaran pertama sudah dimulai, pelajaran pertama kali ini adalah sejarah, pelajaran paling membosankan bagi Putra, Ziva dan Denan.

Salah satu dari mereka menyeringai. Rencana yang baru saja di pikirannya nampak sangat menyenangkan. Ayo, beberapa saat lagi kita akan memulai rencana itu.

Ziva memutar badannya untuk bergabung ke meja Putra, dan juga Denan, "Ngomong-ngomong Saira gimana yaa, kok gue takut,"

Putra dan Denan nampak acuh dengan ucapan Ziva, mereka melanjutkan bermain ponselnya. Welcome to mobile legend.



🍁🍁🍁



"Pa!" anak laki-laki itu mendekati Papanya, "De engga boleh jenguk Saira. Masa?"

"Gak! Pokoknya kamu enggak boleh jenguk dia sebelum pengobatannya mulai," jelas Pak Bagus lirih.

"Emang kenapa?"

"Biar kamu enggak nge-ganggu dia, ntar kamu nafsu lagi!" anak lelaki itu berdecak.

"Apa sih Pa, De 'kan cuma mau liat kondisi Saira,"

Pak Bagus menatap tajam anaknya itu, "Enggak boleh, titik!" tekannya.



🍁🍁🍁



"Bu Tiwy apa Saira ada alergi obat-obatan?"

Bu Tiwy nampak bingung akan menjawab apa, pasalnya ia hanya guru Saira yang tidak tau apa-apa, "Kalau itu saya kurang tau Dok, saya hanya gurunya,"

"Apa tidak ada keluarga yang menjenguk Bu?" Tanya Dokter itu lagi.

"Sudah saya kabari berkali-kali Dok dan sejauh ini tidak ada yang datang," Dokter itu melongo, tak percaya, "Dokter beri obat yang terbaik saja,"

"Baiklah, Ibu atur administrasi terlebih dahulu baru saya racik obat yang akan diberikan pada Saira," Bu Tiwy mengangguk paham.

Bu Tiwy berdiri diikuti Dokter ini, "Baik, permisi Dok."

Lima hari sudah berlalu. Pengobatan Saira akan dimulai. Kondisinya sedikit membaik, namun ia tetap akan berteriak jika ada yang mendekatinya, seolah ia sedang didekati oleh monster. Rawr!

"Dok obat ini tidak akan berpengaruh banyak terhadap fisik Saira 'kan?" sebenarnya Pak Bagus sedikit tak yakin untuk menghilangkan sebagian ingatan Saira.

"Tidak, mungkin pertama kali minum ia akan merasakan sedikit pusing," jelas Dokter itu.

"Lakukan semaksimal mungkin Dok," Dokter itu mengangguk pasti, "Saya permisi terlebih dahulu," pamit Pak Bagus menundukkan sedikit kepalanya kemudian berjabat tangan. Sebelum pulang ia akan menjenguk Saira terlebih dahulu.

Deg!

Ruangan Saira kosong, tempat tidurnya juga sangat berantakan, bercak darah ada dimana-mana, ada apa dengan Saira?

Tring ... Tring ....

"Iya halo? Ada apa Bu Tiwy, Saira dimana?"

"..."

"Baik saya akan segera kesana,"

Dirinya sangat panik mendengar kabar dari Bu Tiwy. Dengan sangat segera Pak Bagus berlari menuju rooftop.

"Saira!" Saira menoleh, menatap sayu Pak Bagus.

Pak Bagus masih mencoba tenang, benar-benar gila, "Turun nak, jangan gini," lirihnya.

Saira tetap menatap kosong. Dokter-Dokter yang sudah berada di sini juga sudah melirih Saira, namun gadis itu tetap kokoh dengan posisinya.

Dor!

Saira mengeluarkan pistol air yang ia beli beberapa bulan lalu yang terbawa di tasnya. Bu Tiwy terkekeh pelan, bagaimana bisa pistol air itu terbawa olehnya waktu itu. Tak hanya Bu Tiwy, Pak Bagus dan Dokter-Dokter yang di sini juga terkekeh pelan.

Dokter Galih --salah satu dokter yang berada di sini-- berdehem, menenangkan semuanya, "Saira, ayo turun, disini lebih indah daripada kamu lompat nak,"

Saira nampak berpikir kembali. Jika ia tak sengaja terpeleset ia akan benar-benar jatuh, ia ingin itu.

SCHOOL DEATH (END)Where stories live. Discover now