Bagian 11

81 29 3
                                    

"Ibarat langit sama bumi yang gak bakal nyatu, dan itu berlaku untuk aku dan kamu."

🍁🍁🍁🍁


Saira menatap nanar tubuh gadis yang sudah berlumur darah. Menatap dari kejauhan dengan tatapan kosong kedepan, tak percaya.

Ziva yang sadar dengan situasi menatap Saira khawatir. Takut-takut trauma gadis itu kambuh.

"Ra?" panggil Ziva khawatir.

"G-gue b-bukan, PEMBUNUH!" titahnya.

Ziva yang mulai panik, takut-takut gadis itu menggila. Menelpon Putra dan Denan. Namun nihil.

Kenapa kedua lelaki itu tidak ada disaat dibutuhkan. Ziva tidak bisa melalukannya sendirian. Siapa'pun bantu Ziva menenangkan Saira.

Di luar dugaan Ziva. Saira tidak menggila seperti biasa. Namun, gadis memilih pergi dari tempat itu.

Ziva tersenyum, sahabatnya memiliki perkembangan. Ziva memilih menyusul Saira, takut saja jika Saira menggila sendirian.

"Ra!" panggilan kesekian dari Ziva tak diindahkan oleh Saira.

Gadis itu terus saja berjalan kesembarang arah. Kemana saja yang penting tidak melihat ke arah lapangan.

Lapangan yang dikerubuni para guru dan pihak polisi. Semua akibat Vania yang terjun dari atap sekolah.

Saira terkejut kenapa Vania bisa melakukan hal itu. Padahal, pagi hari tadi mereka berkelahi hebat. Tak ada yang mencurigakan sama sekali.

Ini sangan tidak masuk akal. Kematian Axey yang seperti misteri, lalu kematian Vania yang terlalu banyak pertanyaan. Semua bagai memiliki ikatan dan latar belakang kematian yang sama. Walauvpun caranya saja yang berbeda.

Saira yakin itu. Kenapa setelah berinteraksi dengannya? Kenapa? Apa ada hubungannya dengan dirinya? Orang itu pasti sangat ingin menghancurkannya.

"SAIRA ALDERA!" Ziva mulai lelah.

Lelah dengan Saira yang tak mengubris panggilannya. Dikira tidak capek mengikutinya mengelilingi SMA Pelita yang segede stadion bung karno.

Saira berhenti, membuat gadis yang mengikutinya berhela napas panjang. Akhirnya.

"Gila!" ucap Ziva sepontan, "Kita udah keliling ini sekolah lima kali! Dari lantai 1 sampe 4, bahkan tanpa berhenti!" keluhnya.

Saira yang tersadar'pun cengengesan. Dia saja tak sadar dengan kelakuannya itu. Yang ada dipikirannya hanya, menjauh dari kerumunan itu. Itu saja.

"Ketawa lo!" mata Ziva menajam. Sahabatnya ini memang gila. Harus cepat-cepat dibawa ke psikiater lagi. Mungkin.

🍁🍁🍁

"Abis dari mana aja lo pada?" ucap Ziva yang kesal dengan kedua lelaki di hadapannya.

Kedua lelaki itu saling tatap. Lalu kembali menatap Ziva bingung.

"Gue abis bantuin Pak Zaky, kebetulan waktu gue mau baris. Eh, malah disuruh bantuin dia mana banyak banget!" ucap Denan jujur. Mungkin.

"Lo, Put?" tanya Ziva kepada lelaki di hadapan Saira.

"Biasalah," ucap Putra santai.

Ziva menganggukan kepala mengerti. "Kenapa hp lo pada gak aktif?" pasalnya tak biasa kedua lelaki itu mematikan ponsel.

"BIASALAH!" sahut kedua lelaki itu bersamaan.

Terdengar dengusan kasar dari Ziva. Kenapa temannya ini tak ada yang waras. Selalu saja membuat tensi darah meningkat secara instan.

Saira menatap para sahabatnya dengan kekehan kecil. Melihat wajah Ziva yang kesal karena kedua cecuguk di hadapanya itu.

🍁🍁🍁

"Eh kematiannya Vania ada hubungannya dengan Saira gak sih?" tanya Salah satu siswi ke siswi lainnya.

"mungkin ada,"sahut siswi lainnya.

"Aneh aja gitu masa iya paginya fine-fine aja, tiba-tiba bunuh diri gitu!"

Siswi itu membenarkan ucapan salah satu siswi lainnya.

"Ber-arti Saira sama aja kayak ngebunuh Vania secara halus!"

Telinga Saira memanas mendengar gosip ria yang menyeret namanya. Padahal dia tidak ada sangkut pautnya dengan gadis malang itu.

Ziva yang tahu kondisi langsung menyalurkan kekuatan kepada Saira. Menggenggam erat tangan rapuh itu.

"Jangan mudah kepancing Ra, mereka cuman mau manas-manasin lo!" bisiknya sambil mengingatkan.

Saira menatap kosong kedepan. Seperti d'javu. Dia seperti berada ditengah keramaian yang tak peduli dengannya.

Menatap remeh kepadanya. Tatapan jijik, ketidak-sukaan, iba, dan tidak peduli terlihat sangat jelas di penglihatannya.

Rasanya Saira ingin mati saja. Menyusul Papanya mungkin lebih baik. Di dunia ini tak ada yang menyayanginya. Dia lelah dengan semuanya.

"Gue pengen sendiri!"

🍁🍁🍁

Seorang lelaki paruh baya manatap tajam lelaki yang lebih muda darinya.

"Papa gak habis pikir sama kamu!" ucapnya pada sang anak.

Remaja itu tak mengindahkan ucapan yang menjabat sebagai Papanya.

"Akhiri ini semua! Saya tidak ingin ada korban lagi!" tegas Pria paruh baya itu.

"De bakal berhenti kalo gak ada lagi yang nyakitin gadis De! Walau pun itu hanya ucapan kasar," bibir lelaki itu terangkat sedikit tinggi.

Menimbulkan kesan menyeramkan. Namun itu tak membuat tubuh pria paru baya itu meluluh.

"Jangan banyak alasan, akhiri semuanya! Saya tidak ingin ada korban lagi! Jika kamu tidak mau, maka saya yang akan turun tangan!" final lelaki paruh baya tersebut.

🍁🍁🍁

Hayo udah menetapkan hati pada tersangka? De bisa jadi apa'pun dan Siapa'pun! Semangat.

SCHOOL DEATH (END)Where stories live. Discover now