Bagian 7

187 32 3
                                    

"Kembali untuk memulai hal baru."

🍁🍁🍁🍁


Putra membukakan pintu untuk Saira, "Jadi pergi?"

"Jadi, ayo!"

Hening. Mengapa tiba-tiba mereka sangat canggung? Tadi semasa berangkat seperti tak secanggung ini. Entah-lah, Putra fokus dengan jalanan kembali.

"Lo masuk dulu aja, gue mau beli minuman dulu," Saira menganggukkan kepalanya, "Lantai 2 ya," ucapnya sebelum pergi.

"Nih,"

"Eh, astaga, kaget gue, tiba-tiba udah disini aja," Saira menerima sebotol minuman teh hijau itu, "Thanks." Putra mengangguk.

Putra duduk di samping Saira, "Udah dapet?"

"Enggak ada, kata penjaganya stok buku yang gue cari kosong,"

"Mau cari di tempat lain?" tawar Putra. Saira mengangguk mengiyakan.

"Kalo udah selesai nanti ajarin gue main piano lagi ya?" Putra membuka suara setelah beberapa saat hening. Saira mengangguk ragu, apa ia paham dan mengingat memainkan tuts-tuts piano?

"Gue tunggu di sini aja ya?" Saira mengangguk, ia keluar dari mobil Putra. Putra nampak berpikir kembali, "Eh gue ikut aja dehh!" Lelaki itu berlari mengejar Saira yang sudah menuju lantai 2.

Lari dari mobil sampe sini gue boleh capek, tapi kalau lari ngejar Saira gue nggak boleh capek dan harus dapat! Batinnya menatap Saira sambil tersenyum tipis.

🍁🍁🍁

"Seneng banget gue, Saira bisa jadi bagian persahabatan kita lagi!" ucap Ziva sangat gembira.

"Nah iya. Betul, betul, betul!" balas Denan menirukan si botak.

"Gue sahabatan sama Upin Ipin aja deh, nggak jadi sama kalian," ucap Saira masih fokus menonton duo kembar botak. Putra, Ziva, Denan melongo tak percaya, apa amnesia Saira membuat Saira sedikit- gi-la?

"Wohoo!" Saira berteriak, teman-temannya semakin melongo, "Sahabat gue cosplay jadi monyet semua!" teriaknya kembali.

Cekrekk ....

Saira berhasil memotret ekspresi ketiga sahabatnya itu. Sangat lucu! Pikirnya.

"Eh woyy! Hapus nggak fotonya?!" Teriak Ziva yang sadar duluan, kedua teman cowoknya itu sangat lelet otaknya!

"Engga bakalan, wle!" balas Saira menjulurkan lidahnya bangga, rasain!

"Tadi ada gue di foto?"

Ziva menghela nafas, "Ya, iya lah dodol!"

Putra nampak bodo amat dengan fotonya tadi. Toh dia ganteng jadi engga usah takut aib, kata papanya.

Ziva terus-terusan mencoba meraih handphone Saira. Karena kalah tinggi, sedari tadi Ziva tak dapat handphone Saira. Denan? Dirinya sudah nampak santai dengan foto tadi. Gue ganteng, apa lo.

"Ra! Hapus ihh malu gue," rengek Ziva sambil loncat-loncatan.

"Gak bakalan, TITIK!" balas Saira.

Mama Delia datang dengan empat gelas es jeruk di nampan, sangat segar! "Eh-eh kok loncat-loncatan sih, duduk-duduk, awas jatuh," peringatnya.

"TANTE MINTA MINUMNYA, ANAK TANTE INI NGESELIN BANGET! MASA FOTO AIB ZIVA ENGGAK MAU DIHAPUS SIHH!" teriak Ziva menyambar es jeruknya hingga tandas.

"Terima kasih, tante," ucap Putra dan Denan bersamaan.

Brakk ....

"HWADOOHHH! Sakit Ziv, turun ihhh, berat tau!"

Delia, Putra dan Denan tertawa melihat Saira yang jatuh tertimpa Ziva. Lucu sekali jatuhnya. Denan menarik tangan Ziva untuk berdiri. Begitu pula dengan Putra menarik tangan Saira.

Ziva yang berhasil merampas handphone Saira segera men-delete foto tadi, "De-le-te! Yess! Berhasil."

Delia tertawa, "Tuhkan benar kata Mama," Delia kembali pergi ke dapur.

"Lo curang ihh," sergah Saira tak terima.

"Mana ada, satu sama!" balas Ziva.

🍁🍁🍁

"De, pulang!" sapanya ketika memasuki rumah yamg sangat besar itu.

"Dari mana saja kamu? Kamu tidak melukai gadis itu, 'kan?"

"Enggak Pa, De enggak ngelakuin apa-apa!" Tegasnya.

"Good," balas Papanya kemudian pergi.

🍁🍁🍁

Pianonya sangat berdebu, padahal kemarin baru saja ia pakai. Ia mulai duduk di depan. Menekan tuts-tuts piano satu persatu. Sangat merdu.

Satu lagu telah selesai dimainkannya. Dengan tidak sopannya kenangan bersama gadis itu kembali terlintas di kepalanya. Satu persatu gadis itu mengenalkan komponen piano pada dirinya, sangat manis.

Perlahan, ia kembali menekan tuts piano. Lagu favoritnya dan gadis itu menggema keseluruh ruangan. Indah sekali. Bagai pemain piano profesional yang sedang menarik masa lalu untuk bersahabat dengannya.

"Udah pinter nih ya main pianonya?" Ucapnya menggoda. Lelaki itu terkekeh.

"Iya dong, yang ngajarin cantik soalnya, jadi semangat belajar nih!"

Percakapan itu, tak pernah hilang dari ingatannya kala bermain piano. Bayangan wajah cantiknya selalu mendampingi dirinya dimana-mana. Sepertinya akan sangat seru jika dirinya sedikit bermain-main kembali dengan gadis cantik itu.

🍁🍁🍁

"Saira, Ayo bangun!" teriak Delia dari dapur, "Sekolah-sekolah!"

"Iya Ma! Ini udah mau turun."

Benar, lima menit setelahnya Saira sudah rapi dengan seragamnya. Ia menuruni anak tangga sambil tergopoh membawa buku yang belum dimasukkan ke dalam tas merah hati miliknya.

"Hati-hati."

"Papa mana Ma?"

"Ciyee nyari-in Papa, nih Papa yang ganteng datang!" Algi memeluk Saira dari belakang, Saira terkekeh.

Algi mengambilkan nasi untuk Saira dan dirinya, nampaknya keluarga ini akan menjadi keluarga paling harmonis, sebentar lagi, "Berangkat sama Putra atau sama Papa, hm?"

"Sama Putra Pa. Saira sudah janji bakal berangkat sama dia, hehe," Algi mengacungkan jempolnya.

Tok ... tok ... tok ....

"Pa, Ma itu Putra udah datang, Saira berangkat dulu yaa, DADAHHHH!"

"Tolong jangan macam-macam dalu sebelum Saira sembuh, mas," Pinta Delia. Algi mengangguk, seraya mengecup kening istrinya itu.

🍁🍁🍁

"Saira tuh?"

"Eh beneran Saira?"

"Udah sembuh dia?"

"Kenapa nggak mati sekalian sih!"

Rasanya mulut pedas murid-murid ini ingin Putra ledakan sekarang juga. Tunggu tanggal mainnya. Eh engga, bercanda maksudnya, mana berani.

Putra menutup telinga Saira sepanjang koridor. Saira sedikit terenyuh, tetapi mengapa hatinya merasa janggal? Terasa berkata jangan. Apa yang dilakukannya dulu?

"Terjungkal, tertendang, mereka udah jadian?"

"WHAT?! DEMI APA?!"

"Putra kok jadi manis sih, meleleh adek bang!"

Siswi ini pula, mulutnya sama sekali tak ada filternya, alay pula. Boleh tidak jika Putra kabur saja? Ohh tidak bisa. Bagaimana dengan Saira? Apa kuat? Apa tahan? Ntah lah.

🍁🍁🍁

Masih menabur yang manis-manis dulu ya:) banyak teori yang aku selipkan.

SCHOOL DEATH (END)Where stories live. Discover now