Bagian 8

172 40 6
                                    

"Memang benar kebahagian tidak selalu ada."

🍁🍁🍁🍁


Dua hari sudah Saira masuk sekolah. Banyak teman yang menyinyir, banyak juga yang senang dengan kedatangannya. Apa gadis itu tetap akan dianggap hama?

Ziva menghampiri Saira, "Lo mau check up lagi kapan?"

"Emm, kata mama sih besok," Ziva mengangguk mengerti.

🍁🍁🍁

"PR kalian halaman 134-137 jangan lupa dikerjakan," ucap Bu Tiwy seraya berdiri, "Saya permisi," pamitnya kembali.

"Put, lo jadi ikut gue check up?" tanya Saira memastikan.

Putra mengangguk, "Besok gue jemput, oke?" Saira mengangguk setuju.

Gadis itu mencari nomor yang penting diponselnya, menempelkan ketelinganya. Menunggu sambungan telepon itu tersambung.

"Halo Pa?"

"..."

"Jemput Saira ya?"

"..."

"Oke, Saira tunggu di halte."

🍁🍁🍁

Dentuman itu kembali. Dimana temannya dahulu? Mengapa ia tak ingat? Yang ia ingat hanya lagu favorit mereka berdua.

Ia mencoba memainkan pianonya. Rasanya seperti ada yang janggal. Seperti? Banyak kenangan dalam piano ini, tapi apa?

Ia mulai menekan tuts pianonya, nada apa ini? Jarinya seperti otomatis bergerak ke kanan dan ke kiri memainkan alunan lagu favoritnya itu. Indah juga.

Apa ia tak boleh sedih? Mendengar nada yang ia mainkan saja rasanya ingin menangis. Kenangan bersama temannya itu muncul secuil, kenangan apa itu? Ia tak ingat sama sekali. Akhh! Sakit rasanya jika memikirkan itu. Kelalanya terus berdenyut, nyeri.

Ia menyudahi satu lagu kenangan. Keluar dari ruangan yang sunyi itu menuju kamarnya. Menumpahkan segala tangisnya.

🍁🍁🍁

Berjalan memasuki rumahnya dengan sangat malas. Tuduhan Papanya yang akan menyelakai gadis cantik itu selalu terdengar setiap harinya.

Ia tak ingin menyelakai gadis itu! Sama sekali tidak, ia hanya ingin memberi hukuman karena telah menolaknya mentah-mentah.

"Darimana saja kamu?" Lelaki itu tak menjawab, bukannya tak sopan, ia sedang malas mendengarkan ocehan Papanya.

Ia langsung pergi ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur king size favoritnya. Lelah sekali rasanya.

Ia kembali teringat dengan susunan permainannya, dibacanya kembali. Perfect! Rencana kali ini pasti berhasil untuk menghukum gadis cantik itu!

"Tunggu tanggal mainnya baby," gumamnya tersenyum lebar.

🍁🍁🍁

"Mama masak apa?" Basa-basi Saira ketika memasuki dapur, "Mau Saira bantuin?"

"Ehh, ini, kamu ngelupasin wortel ini aja ya," ucap Delia menyerahkan beberapa wortel.

Sebenarnya Saira hanya basa-basi saja, tapi mamanya ini benar-benar menyuruhnya. Dengan malas Saira meraih wortel pemberian sang mama. Melakukan yang disuruh wanita disebelahnya ini.

"Sekalian potong kecil-kecil Ra," ucapan Delia membuat mata indah Saira merotasi.

Ia ingin segera selesai, tidur siang mungkin enak untuk saat ini. Cuaca yang mendukung membuat jiwa malas Saira bangkit.

Delia yang melihat sang anak memegang pisau dengan tak santai, bergidik ngeri. Setelah kehilangan ingatan apa'kah putrinya ini memiliki kemampuan kebal dengan pisau?

"Hati-hati Ra, nanti kena Pis---,"

"Aw!" rintih Saira, kala pisau tak sengaja menggores jari lentiknya.

Delia dengan sigap menarik tangan sang anak ke aliran air. Membersihkan lukanya, agar tak infeksi.

"Baru aja mama mau bilang. Kamu juga Ra, kenapa gak hati-hati! Udah tau pisau tajam," omel Delia. Membuat Saira ingin membungkam mulut sang mama. Berdosa banget....

"Perih, ma!" ringis Saira.

"Tahan! Salah siapa gak hati-hati," Delia membalutkan plaster luka pada jari Saira.
Saira meringis saat tangan Delia menekan lukanya. Mamanya ini apa tak memiliki perasaan, sudah tau sakit masih saja ditekan kuat.

"Mama besok bisakan nemenin Saira check?" tanya gadia itu memastikan.

Delia tampak berpikir. Mengingat apakah dia besok memiliki jadwal pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

"Ah, bisa kok Ra. Mama lagi gak ada jadwal kerjaan," ucap Delia, menatap sang anak.

Saira menganggukan kepala, "Putra yang bakal anter ma, katanya dia mau nemenin."

Delia tersenyum tipis. Putrinya sangat berubah drastis. Ada rasa takut didirinya.

Jika Saira mengingat semuanya, akan'kah tetap sama? Atau akan kembali seperti dulu?

Delia melanjutkan pekerjaannya. Memasak makan malam untuk keluarga kecilnya.

Sambil menunggu sang suami tiba, Delia menghidangkan masakannya diatas meja makan. Dengan telaten dia menata lauk dan piring dengan rapi.

Jam menunjukan jam 20.00, bertepatan dengan pintu utama terbuka. Senyum Delia mengembang mendapati sang suami yang sudah pulang.

Delia menyambut Algi. Tersenyum tipis pada sang suami.

"Aku panggil Saira dulu ya," pamit Delia.

Kaki jenjang Delia menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tujuannya saat ini kekamar sang anak.

Tangannya mulai mengetuk pintu dihadapannya. Memanggil sang punya kamar.

"Ra, ayok makan! Papa udah pulang tuh," teriak Delia.

Delia yang mendengar isakan dari dalam kamar, dengan sigap membuka pintu. Mengadarkan pandangannya kepenjuru ruangan.

Hingga matanya menangkap anaknya sedang meringkuk, menangis. Televisi yang menyala, menunjukan berita.

Mata Delia membulat saat membaca berita tersebut. Tubuhnya melemas.

"I-ini mimpi'kan?!" lirih Delia.

🍁🍁🍁

Berita ditelevisi nunjukin apa? Kenapa Delia sampek shock banget?

Cerita ini baru saja dimulai:)

SCHOOL DEATH (END)Where stories live. Discover now