Bagian 6

195 45 6
                                    

"Bersyukur tak semengerikan itu."

🍁🍁🍁🍁


Fakta Saira hanya mengingat kejadian buruk saja, dibenarkan oleh Dokter. Ziva, Putra, dan Denan terkejut mendengarnya.

Saira juga meninggat Axey, bagaimana di menjadi saksi kematian gadis itu.

"Jadi?"

"Okey, gue anggep lo pada sahabat gue. Soalnya gue gak ada curiga sama kalian, kecuali ...." ucapan Saira mengantung membuat mereka menunggu kelanjutannya.

Mata indah Saira menatap mereka bertiga bergantian. Saat saling pandang dengan Putra, gadis itu sedikit aneh. Seperti ada yang terlupakan.

"Kecuali apa Ser?" tanya Putra penasaran.

Saira mengkedipkan matanya berkali-kali. "Kecuali, kalian musuh gue." mereka mengangakan mulut tak percaya.

"Okey gue bercanda, mana ada musuh maksa nginget mereka kayak kalian." lanjut Saira dengan tawa khasnya.

Mereka tersenyum melihat Saira tertawa lepas. Tawa yang tak pernah terlihat setelah kejadian itu.

Ada baiknya Saira seperti ini. Menjadi kepribadian yang lebih baik dari sebelumnya. Menganggap semua masalah mudah diselesaikan, tak seperti dulu. Mengeluh terus.

🍁🍁🍁

Seorang gadis sedang duduk didepan televisi yang menayangkan kartun si kembar botak.

"Saira!" panggil Delia dari arah dapur.

Ya, gadis itu Saira. Sudah dua hari dia pulang kerumah. Kata Dokter dia hanya perlu rutin cek up sekarang, jangan lupakan obat penenangnya. Dia belum sembuh sepenuhnya.

Ketika dikegelapan dia akan merasakan sesak. Padahal dulu dia sangat suka kegelapan, baginya itu dunianya. Sangat berbanding kebalik dengan sekarang.

Membuatnya melupakan banyak hal, membuatnya menjadi orang baru. Walaupun lingkungan yang sama. Mungkin sekarang dia lebih banyak bersyukur.

"Iya, ma!" sahut Saira.

Kaki jenjangnya berjalan menuju dapur. Menyusul sang mama.

"Ini," Delia menyodorkan rantang mini pada Saira. "Tolong antarkan kekantor papamu, dia mau ketemu sama anaknya yang tersayang ini." lanjut Delia sambil menoel dagu Saira.

Dengan senang hati Saira menerimanya.

Ya, kejadian ini juga menjadi awal untuk papa dan mamanya. Mereka menata kembali rumah tangganya. Memberi kesempatan kedua tidaklah buruk.

Mamanya memutuskan untuk stay dirumah, masalah butik miliknya dia menyuruh asistenya untuk melanjutkannya. Dia hanya memantau dari rumah,  atas perkembangan butiknya.

Saira meminta bantuan Putra untuk mengantarkannya kekantor papanya. Katanya lebih hemat dibanding naik taxi atau angkot.

Lagi pula Saira masih tak ingin bepergian sendiri. Katanya sih belum nyaman. Mobil Saira? Dia belum diperbolehkan papanya mengendarai lagi.

Putra tersenyum pada Saira, tak kala Saira membuka pintu mobilnya.

"Siap, Ra?" tanya Putra memastikan.

Saira mengangguk kecil, diselangi senyum tipis. Senyum yang bisa membuat orang luluh seketika.

Mobil Putra meninggalkan perkarangan rumah kediaman Aldera. Menuju Aldera's Group.

Tak ada yang buka suara, hanya alunan musik yang mengisi. Putra yang sibuk menyetir, sedangkan gadis disebelahnya sibuk melihat ponselnya.

"Ra,"

Saira berdehem menyahuti Putra yang memanggilnya.

"Lo masih inget cara main piano?" tanya Putra.

Saira tampak berpikir. Apakah dia dulu menyukai alat musik itu. Sepertinya iya, soalnya dia kemarin melihat piala olimpiade dan teater alat musik. Mungkin benar.

"Emang gue dulu suka main piano?" tanya Saira memastikan.

Putra manganggukan kepalanya yang masih fokus menghadap jalanan.

"Hm, keknya masih bisa. Kan, kenangan yang gak gue inget bukan cara main, tapi kayaknya sulit deh." ungkap Saira.

"Padahal lo itu orang yang ngajarin gue main piano Ra," ucap Putra meyakinkan.

Saira ber-oh ria. Menyukai dunia musik tak buruk, apa lagi piano. Alat musik yang indah.

🍁🍁🍁

Saira memasuki ruangan kerja seseorang. Tanpa aba-aba gadis itu langsung berhambur pada sosok pria paruh baya dihadapannya. Tak memperdulikan Putra yang berada di belakangnya.

"Papa!" ucap Saira antusias.

Algi, merentangkan kedua tangannya. Memeluk hangat sang anak penuh cinta.

"Anak papa," ucap Algi seraya mengecup kening sang anak.

"Nih, kata mama buat papa." Saira menyodorkan rantang mini dihadapan Algi.

Dengan senang hati Algi menyambutnya. Menaruhnya diatas meja. Matanya kini tertuju pada asaira lagi.

"Rara sama siapa kesini?" tanya Algi.

Saira menatap seseorang yang sedang duduk sofa. Bibirnya melengkungkan senyum.

"Sama Putra," ucap Saira sambil menujuk kearah Putra.

Algi menolehkan kepalanya. Menatap remaja laku-laki yang datang bersama putrinya. Dia tahu jika Putra ini teman putrinya.

Algi menganggukan kepalanya. Mengusap pucuk kepala putrinya lembut.

"Papa mau lanjut kerja, kamu mau disini atau pulang sayang?" tanya Algi.

Saira tampak menimbang-nimbang tawaran sang papa. "Rara mau ketoko buku, boleh pa?" tanya Saira.

Algi menganggukan kepalanya. Mulai fokus pada berkas dihadapannya. Kerjaannya sangat banyak. Membaca proposal sangat melelahkan.

"Pa, Rara sama Putra pamit! Dadah," Algi mematap putrinya yang sudah menghilang dibalik pintu.

Melihat anaknya membuatnya menjadi merasa bersalah.

"Maafin, papa Ra."

🍁🍁🍁

Kasih part seneng dulu sebelum masuk ke konflik. Hihihi.

SCHOOL DEATH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang