Bagian 4

182 44 5
                                    

"Keaadaan yang memaksa untuk hati ini membeku."

Saira Aldera

🍁🍁🍁🍁


Mata sayu Saira melirik kebawah. Sangat tinggi gedung rumah sakit ini. Ada rasa takut ditubuh Saira. Tetapi dia ingin melakukannya.

Mata sayu itu mulai menutup, mengatur napas. Tangannya direntangkan, mencoba menstabilkan diri di pembatas gedung.

Semua orang sudah menatap was-was tubuh mungil itu. Takut-takut gadis itu akan terjun.

"Gue bebas sekarang, Axey gue bakal ketemu sama lo!" gumam Saira.

Kaki kirinya sudah diujung pembatas. Tubuhnya mulai mencondong kedepan. Tanpa aba-aba dia menjatuhkan tubuhnya.

"SAIRA!"

🍁🍁🍁

"Pa?" panggil anak laki-laki kepada Pak Bagus.

"Hm?" sahut Pak Bagus yang masih stay pada laptopnya.

"Saira gak pa-pa'kan?" tanya laki-laki itu cemas.

"Percobaan bunuh diri, yang kamu lakuin salah De! Papa kasihan dengan gadis itu," ungkap Pak Bagus.

Anak laki-laki itu bungkam, tangannya mengepal menahan amarah. Yang dia inginkan hanya menghukum gadisnya bukan membunuh. Tetapi kenapa gadis itu ingin mengakhiri hidupnya.

"Papa harap kamu tidak akan melakukan kesalahan lagi!" tegas Pak Bagus.

Anak lelaki itu menatap sang papa tajam, kenapa tidak boleh sih? Ini'kan hanya untuk memberi hukuman pada sang gadis. Masalah lain, itu bukan lah urusannya. Itu menunjukan bahwa gadisnya lemah.

"De, hanya ingin menghukum gadis itu Pa," ucapan lelaki itu membuat Pak Bagus naik darah.

"Cukup! Gadis itu lemah, kau pikir dia kuat dengan semua hal? Tidak. Jangan buat gadis itu menderita lagi, De!" ucap Pak Bagus naik pitam.

Anak laki-laki itu bungkam, dan lebih memilih meninggalkan ruangan kerja Pak Bagus. Mencari angin sejuk mungkin bisa menenangkan dirinya.

Sedikit pikiran lelaki itu ingin menghentikan ini semua. Namun ditepisnya pikiran itu. Misinya belum selesai.

Tangannya mengalun indah di tuts piano miliknya. Menikmati setiap dentuman nada. Menutup matanya, mengingatkannya pada gadis yang bernama Saira.

"Dulu, lo sering ngajarin gue main piano." ucapnya lirih, "Dari sana gue mulai suka dengan lo dan juga permainan piano lo yang indah itu, tapi saat lo kenal laki-laki itu gue mulai gak suka! Lo itu milik gue dan akan tetap begitu!" anak lelaki itu tersenyum pahit.

Ingatan saat gadis itu menolaknya mentah-mentah dirinya. Menjauhinya dengan sengaja, bahkan senyuman manis itu tak tertuju lagi untuknya. Kata-kata manis untuknya, tak lagi keluar dari bibir mungil gadis itu.

Sangat berbeda untuknya, rasa kesal selalu saja menghampirinya. Ketidaksukaan itu membuat amarahnya terlihat. Sampai dia harus merencanakan kejahatan.

"Gue gak suka sama alunan musik yang gak lo tujuin ke gue, Saira!"

🍁🍁🍁

Keadaan SMA Pelita sedang tidak baik, akibat beredarnya info bahwa Saira akan melakukan tritmen yang dapat membuatnya amnesia.

Banyak keluhan dan desahan kasar dari penghuni SMA Pelita. Bagaimana tidak, sang saksi kematian Axey akan melupakan kejadian tersebut.

"Gue sih, gak ada masalah ya soal Saira bakal amnesia atau apa'pun soalnya gak ngaruh sama hidup gue."

"Lebih baik seperti itu, kasian saira."

Dan masih banyak lagi kata-kata yang membicarakan Saira.
Dilain tempat Saira sedang menatap kosong kearah jendela rumah sakit. Ruangannya dijaga ketat, setelah kejadian kemarin.

Percobaan bunuh diri yang hampir saja terjadi. Untung saja ada Putra yang langsung sigap menggenggam tanggannya, dan menarik keatas.

Memang kemarin putra ingin menjenguknya, dan mendapatkan kabar jika Saira ingin mengakhiri hidupnya. Putra langsung menuju tempat tersebut, untung saja dia datang tepat waktu. Jika tidak temannya itu akan tinggal nyawa.

Jangan sampai itu terjadi.

Saira tak memberontak saat tubuhnya didekap Putra kemarin. Ia merasa nyaman. Seperti sudah terbiasa ada didekapan tersebut.

Membuat sang Dokter menatap Putra dengan berbinar. Titik cerah untuk kepulihan gadis itu. Mereka akan meminta Putra membantunya.

Putra dengan senang hati menerima tawaran itu. Lagi pula untuk kesembuhan sahabatnya. Tak apa'lah.

"Saya harap, anda bisa membantu kami." ucap Dokter Galih.

Putra menganggukan kepala. Membayangkan Saira sembuh saja sudah membuat hatinya senang. Apa lagi jika Denan dan Ziva diberitahu. Mungkin akan melakukan syukuran tujuh hari tujuh malam.

Mereka tahu perkembangan Saira dari ayahnya Ziva--Dokter Galih. Ya, Dokter Galih Mahaswara adalah ayah Ziva Mahaswari sahabat Saira.
Saat Ziva memberitahu keadaan Saira dari ayahnya. Mereka sangat kasihan. Bagaimana jika Saira akan melupakan mereka? Apakah mereka akan bisa menerimanya.

Karena itulah Putra ingin menjenguk Saira. Mungkin Saira akan mengingatnya. Mungkin saja.

Hari ini Putra akan menjenguk Saira kembali, untuk membantunya tritmen bersama Dokter Galih.

"Ra," panggil Putra.

Saira menoleh, tak ada raut takut diwajahnya. Hanya datar. Sangat datar.

Putra tak menyukai raut wajah Saira saat ini. Menurutnya itu menyebalkan.

"Pergi!" ucap Saira dingin.

Putra mengerutkan dahinya, kenapa Saira kemarin dan hari ini sangat berbeda? Apa'kah ada yang membuatnya menjadi seperti ini? Tolong beritahu Putra jika ada.

"Pergi!" ucap Saira lagi dengan keras.

"Jangan buat gue ngelakuin yang gak lo mau Ra!" tegas Putra.

Mata Saira berkaca-kaca. Dia lelah dengan semua ini. Kenapa dia harus terjebak dikaadaan ini. Dia hanya ingin tenang.

"Lo hama! Gak seharusnya lo disini!" ucap Saira kasar.

Lagi. Kejadian itu terulang. Saira membenci itu.

🍁🍁🍁🍁

Kejadian apa nih? Ada yang udah nemu titik terang?

SCHOOL DEATH (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang