Bagian 9

131 39 6
                                    

"Apa aku tak pantas untuk bahagia?"

🍁🍁🍁🍁


"I-itu gak benerkan?" tanya Delia lirih pada sang anak.

Saira semakin terisak. Dadanya tak kuat menahan rasa sakit yang menghampirinya.

"Terus, yang dibawah siapa? Gak mungkin arwahkan?" lagi, Delia semakin pusing.

Berita yang menunjukan penemuan mobil yang mengalami kecelakaan di dekat jembatan kota.

Korban tak ada yang selamat. Saat diindentifikasi, mobil milik keluarga Aldera. Yang dipastikan pula korban didalam adalah pengusaha kaya. Algi Aldera.

Delia yang masih tak percaya, lantas berdiri dan berjalan menuju dapur. Ia pasti tak salah lihat suaminya itu. Jelas-jelas tadi baru saja sampai di rumah.

Kosong.

Ruang makan tersebut kosong. Tak ada Algi, suaminya. Kakinya melemas.

Dengan sekuat tenanga dia beranjak untuk memastikan korban kecelakaan itu. Siapa tahu sang Dokter hanya salah orang.

🍁🍁🍁

"Kurung dia sampai saya suruh lepaskan. Jangan sampai dia kabur!"

Orang yang disuruh itu mengangguk beberapa kali. Menjukan bahwa dia paham dengan tugasnya.

"Beri dia makan tepat waktu, jangan sampai dia terluka. Saya tidak ingin nanti Ayah mertua saya cacat!" tegasnya lagi.

"Baik, bos!" sahut orang suruhannya.

"Maaf sayang, ini salah satu cara agar kamu bisa terima aku!" batin lelaku itu.

🍁🍁🍁

Delia menangis histeris saat mayat yang ada di hadapannya benar suaminya. Terlihat dari bukti cincin pernikahan yang melingkar di jari yang sudah hancur akibat ledakan mobil.

"Ma, sabar. Saira tau mama kuat!" ucap Saira menyemangati.

Walaupun Saira sendiri terpukul atas kejadian ini. Papanya baru saja ada untuknya. Kenapa saat sudah membaik, langsung saja direbut kembali? Apa'kah Saira enggak pantas menjadi salah satu ribuan umat bumi yang bahagia.

Apa'kah tidak bisa Saira hidup dengan kasih sayang? Kenapa papa-nya cepat sekali direnggut?

Kepala Saira berdenyut nyeri, rasanya ingin meledak. Memori ingatannya berputar seperti kaset rusak. Masa lalu kelam, menghampirinya.

Kini Saira mengerti. Semua yang terjadi memiliki dalang di baliknya. Tapi siapa? Kenapa hanya dirinya yang menerimanya? Apa'kah sang dalang memiliki dendam terhadapnya.

"Ra, ini gak mungkinkan? Papa kamu masih hidup-kan?  Dimana papa kamu? Dimana?!" Delia menjerit histeris.

Semua seperti mimpi buruk. Padahal beberapa jam sebelum ini dia bertemu sang suami. Suaminya tersenyum hangat padanya.

Kini senyuman itu sudah tidak ada lagi. Muka yang hancur membuat wajah sang suami tak terlihat dengan jelas.

"Ma, tenang ya. Saira yakin papa masih hidup," ucap Saira ragu.

Bagaimana tidak, di hadapannya sudah ada tubuh sang papa. Hancur tak berbentuk. Seperti tertampar kenyataan, Saira meringis.

Dadanya nyeri melihat tubuh papanya. Tapi di hati kecilnya membantah pikirannya.

"I-ini bukan papa'kan?" batin Saira pilu.

🍁🍁🍁

Semua sahabat Saira berkumpul. Bahkan keluarga besar Aldera sedang berduka. Tubuh Algi akan di antarkan ketempat per-istirahatan terakhir, hari ini.

Delia dengan mata sembab. Tak henti-hentinya menangisi jasad suaminya. Semalam Delia sempat pingsan lama, menurut Saira itu lebih baik. Tetapi kenyataannya saat Delia sadar dia langsung berteriak histeris. Semakin parah.

Saira tidak menangis, baginya saat ini mamanya. Tinggal mamanya yang ada. Hanya mamanya yang tersisa.

"Ma, tenang. Saira tau mama gak bisa nerima ini dengan cepat, tapi mama harus ihklas!" suara Saira meninggi. Sudah cukup semua ini. Mamanya harus ihklas.

Delia terdiam. Ucapan anaknya memang benar, semakin dia memberontak semakin sakit rasanya. Biarkan hatinya merasakannya sendiri. Merasakannya dalam diam.

Delia tersenyum tipis pada Saira. Sangat tipis. Sampai-sampai dimata Saira itu tidak terlihat sebagai senyuman, lebih terlihat sebagai rasa sakit.

Saira berhambur pada tubuh Delia. Saat ini, itulah yang dibutuhkan keluarga ini. Pelukan hangat, yang bisa melupakan masalah walau sesaat.

"Ihklasin papa, ma. Pasti papa sedih liat mama kayak tadi," Delia mengangguk patuh.

Kelakuaannya memang tidak dibenarkan. Itu kesalahan. Membuat suasana semakin tidak terkontrol.

"Kita antarkan papa ketempat per-istirahatannya ya, ma. Saira mohon mama jangan nangis lagi," mohon Saira.

Hati Delia mengahangat. Putri-nya sudah dewasa. Putri yang menjadi hadiahnya dengan suami dari tuhan. Mungkin Saira adalah hadiah terindah yang pernah didapatkannya.

Delia menatap nanar batu nisan yang berada dihadapannya. Menahan tangisnya. Bertuliskan Algi Aldera Bin Husein Alden Pramuji.

Jari-jarinya digenggam erat sang mama. Membuat Saira sedikit menahan sakit. Biarlah mamanya melampiaskan rasa sakitnya. Rasa sakit genggaman mamanya tak seberapa dengan rasa sakit dihati mamanya.

"Kita pulang ya, ma?" ajak Saira.

Delia menatap gundukan tanah itu sebentar, lalu mengangguk. Berjalan menjauh dari gundukan tersebut.

"Pa, Saira bakal rindu banget sama papa. Jangan lupain Saira ya!" pamit Saira pada gundukan tanah tersebut. Lalu menyusul sang mama yang sudah berjalan deluan.

🍁🍁🍁

"De, sudah papa ingatkan. Jangan buat rencana gila! Kamu itu obsesi bukan cinta!" tegas pria paruh baya tersebut.

De tersenyum simpul. "Terserah papa mau bilang apa, De hanya ingin menghukum gadis itu!"

"Hukuman kamu ini sudah lewat batasan De! Jangan buat gadis itu menggila lagi."

"Sebentar saja, pa. De akan menyelesaikan tugasnya," mohon Lelaki itu.

🍁🍁🍁

Kita sudah masuk keinti masalahnya. Jangan terkecoh!

Jangan lupa ajakin temen-temen kalian buat mampir kesini juga:)

SCHOOL DEATH (END)Where stories live. Discover now