Mystery of the Human Mind

2K 520 1K
                                    

Song Dain
Home, 8th November 2018

Aku bangun pukul enam pagi. Langit masih belum terang, suara burung bernyanyi terdengar jelas ketika aku membuka jendela rumahku. Udara pagi yang dingin mulai memasuki ruangan, aku kemudian fokus mempersiapkan makanan untuk Haein.

Semalam ia mengirimkan foto tiket KTX express yang menunjukkan ketibaan pukul sembilan pagi.

Setelah memasak, aku mandi dan mengenakan baju yang nyaman. Sudah tiga bulan sejak terakhir aku dan Haein bertemu. Biasanya, ia datang setiap bulan dan akan tinggal di sini dua hari semalam. Meski waktu itu terbilang cukup singkat, aku menganggap setiap menit dari pertemuan kami sangat berharga.

Pukul sembilan lewat tiga puluh. Seharusnya ia sudah tiba karena hanya butuh dua puluh menit perjalanan bus dari stasiun.

Aku mengirim pesan pada Haein untuk memastikan apakah ia sudah tiba, namun tidak ada balasan. Mungkin ponselnya mati.

Aku melangkah ke pintu rumah, mendorong pintu tersebut ke samping, kemudian memindahkan kakiku yang tadinya berada di lantai kayu rumahku ke beton yang dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku melangkah ke pintu rumah, mendorong pintu tersebut ke samping, kemudian memindahkan kakiku yang tadinya berada di lantai kayu rumahku ke beton yang dingin.

Setelah mengenakan sendal, aku mengambil galah pemetik buah yang bersandar di dinding.
Ada beberapa buah kesemak yang belum sempat kuambil, jadi aku akan melakukannya sementara menunggu Haein tiba.

Namun, hingga pukul tiga sore aku tak menerima kabarnya. Nyaris sepuluh kali aku menelepon, namun semuanya memberikan informasi bahwa bahwa nomor sedang berada di luar jangkauan.

Aku sempat khawatir ada yang terjadi di perjalanan, tapi tidak ada berita yang mengumumkan bahwa ada kecelakaan kereta maupun bus yang bertujuan Ulsan.

Aku duduk di pintu masuk dengan cemas, telapak kakiku tak berhenti bergerak cepat. Kuhela napasku sembari memandangi layar ponsel yang menunjukkan chatroomku dengan Haein, seolah jika aku tatap tanpa berkedip dalam waktu yang lama, tanda pesan terbaca akan muncul.

Aku tidak bisa begini. Aku harus melalukan sesuatu.

Tanganku dengan cepat membuka aplikasi lain, tak lebih dari lima menit kemudian, aku menerima email konfirmasi. Tiket kereta yang akan berangkat setengah jam lagi telah terpesan.

Dengan terburu-buru aku mematikan listrik, memasukkan kembali makanan yang kumasak pagi tadi ke kulkas, dan menyambar tasku.

Jantungku berdegup cepat seolah sedang diburu monster atau semacamnya, kubiarkan tubuhku bekerja dalam mode otomatis.

Aku baru dapat berpikir saat aku sudah duduk di dalam kereta.

***

Seoul.

Aku memutarkan pandangan begitu kakiku bertapak di ujung tangga teratas pintu keluar stasiun bawah tanah.

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang