The Unexpected Life

1.2K 300 517
                                    

Play the song at multimedia!!

_

Malam tiba. Empat jam yang kami habiskan bercengkrama dan bersenda-gurau tergantikan menjadi malam sunyi ditemani bintang dan cerita-cerita menarik Namjoon tentang negara yang pernah dikunjunginya.

Namun pikiranku sedikit mengawang akibat kejadian sejam yang lalu, tepat sebelum aku pulang.

"Dain-ssi, ini," ucap Pak Donghwa sembari menyodorkan sebuah amplop cokelat saat aku menyisir rambutku di hadapan cermin yang terletak di dekat kasir.

Aku menerima benda tersebut, menatap pria itu kebingungan.

"Itu surat yang dikirim ke alamat Dain-ssi sekitar minggu lalu, mungkin pengirimnya tidak tahu kalau sudah tidak tinggal di sana lagi. Tadi aku lupa membawanya jadi baru aku berikan sekarang." ucap Pak Donghwa dengan aksen kentalnya.

"Ah, begitu, terima kasih banyak."

Begitu ia pergi, aku membuka amplop cokelat itu dengan pelan, lalu menarik isinya keluar. Isi amplop itu belum keluar sepenuhnya, namun aku membeku seketika.

Terdapat tulisan yang tertera di atas sana.

Undangan Pernikahan Jung Haein & Park Nayoung.

Oh.

Aku berusaha menghilangkan pikiran itu dari benakku dan kembali ke kenyataan. Kami duduk di tempat yang persis seperti sebelumnya, di pintu masuk. Aku tersenyum padanya, dengan badan meringkuk memeluk kaki dan kepala yang kusenderkan di atas lipatan tangan.

"Kau harus coba kapan-kapan jika berkunjung ke Eropa," ucapnya menutup cerita.

Aku mengangguk-angguk, seolah aku mendengarkan semua pembicaraannya sedari tadi.

Bibir Namjoon terangkat sebelah. "Jujur saja, kau tidak menyimak, kan?"

"Oops, ternyata aku ketahuan," ucapku lalu terkekeh.

Lelaki itu meregangkan badannya dan berkata, "ya, matamu masih menatap ke arahku tapi tatapanmu tidak fokus."

Aku mengernyitkan dahi, "kau ini psikolog atau apa?"

Candaan itu membuat Namjoon tertawa.

"Aku pernah membaca tentang mikro eskpresi, Bang PD merekomendasikan banyak buku yang membantu kemampuan sosialku setelah aku ditetapkan menjadi leader."

Aku menganggukkan kepala berkali-kali. "Ah.. berarti aku tidak bisa bohong padamu."

"Bisa saja," jawabnya. "Beberapa orang punya keahlian akting seperti profesional," tambahnya.

"Sepertinya aku tidak termasuk." Aku mengubah posisi duduk dan bersandar ke dinding, "kereta kita pukul tujuh pagi, kan?"

"Benar. Kenapa? Kau sudah mengantuk?" tanya lelaki itu.

Aku mengangguk, "sedikit."

"Kalau begitu tidurlah, aku ingin melakukan sesuatu dulu."

"Melakukan apa?"

"Menulis, aku mendapatkan beberapa ide yang bagus hari ini," jawabnya lalu mengetuk buku tulis miliknya yang tergeletak di lantai.

"Kalau begitu aku masuk. Jangan terlalu lama tidur, nanti kita ketinggalan kereta," ucapku sebelum berjalan masuk ke ruang tengah, tempatku menggelar matras lantai untuk tidur.

Sebenarnya, aku belum mengantuk sama sekali. Tapi kurasa saat ini hanya tidurlah satu-satunya hal yang bisa membantu meredakan kesedihanku.

Aku duduk di atas matras biru, lalu mengeluarkan amplop yang sedari tadi aku letakkan di kantong bagian dalam jaketku.  Sekali lagi, aku membuka isi amplop tersebut dan memandangi tulisan yang ada di depannya.

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang