Embrace Me

12.2K 2K 2.2K
                                    

Hampa. Semuanya terlihat gelap dan tak berujung.

Perlahan, sebuah lampu sorot menyala di tengah. Menunjukkan sosok gadis bergaun biru laut yang sedang duduk di depan piano berwarna hitam pekat.

Rambutnya disanggul ke atas. Wajahnya terlihat serius, sementara jari jemarinya bergerak cepat.

Itu aku. Tapi bukan benar-benar diriku. Menonton diri sendiri dari sudut pandang ketiga memang wajar jika kau sedang bermimpi.

Entah apa yang sosok aku yang tengah bermain piano itu rasakan, namun yang kurasakan sekarang adalah gelisah bukan main.

Jantungku berdegup kencang, aku ingin berteriak pada sosokku itu, memberi peringatan padanya untuk lari segera. Karena aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

Lagu Beethoven 5th Symphony telah memasuki menit keempat, temponya menjadi semakin cepat dan cepat.

Aku panik, dapat kurasakan air peluh mengalir di dahiku, meski sebenarnya tak masuk akal karena aku tak punya wujud sekarang.

Hingga akhirnya, hal yang paling kubenci dari mimpi ini terjadi.

Aku ingin menutup mataku dan menolak untuk melihat, atau mungkin lari sejauh mungkin untuk menghindari pemandangant tersebut. Atau jika mungkin, aku ingin mengganti channel seakan sedang menonton televisi.

Namun itu tak bisa terjadi.

Dua jari di tangan kiriku terpotong begitu saja, tanpa ada benda yang menyentuhnya. Sisa ruas jariku terjatuh di atas tuts.

Dapat kulihat dengan jelas darah segar yang terus menetes, serta daging dan tulang dari jariku yang terpotong.

Rasa sakit dan ngilu memenuhiku. Sementara sosokku masih bermain piano seakan tak terjadi apa-apa. Ia terus melanjutkan lagu hingga selesai, membuat tetesan darahku menghiasi sebagian besar tuts.

Aku menangis. Tapi sosokku malah berdiri dan menatapku-atau pada layar, mungkin penonton, entahlah.

Dan ia tersenyum.

Rasa takut lantas menghampiriku begitu ia membuka mulut dan berbisik, 'kembalikan jariku'.

Napasku tercekat, dan aku terbangun.

Cahaya matahari telah berhasil masuk ke kamarku melalui sela jendela. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu memegang kepalaku.

Jika ada teknologi untuk membuat seseorang berhenti bermimpi, aku akan menggunakannya dengan senang hati.

Setelah sedikit tenang, aku berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat menyentuh wajahku, baru kusadari bahwa aku benar-benar meneteskan air mata.

Suara pintu tergeser menarik perhatianku.

"Eonni!!" Seorang gadis berseragam memegang ujung pintu dan membuka sepatunya asal-asalan, lantas tersenyum lebar padaku.

Mataku membulat. Itu adikku, Song Jena.

Ia adalah siswa SMA kelas sebelas. Rambutnya dipotong sebahu, padahal rambutnya sangat panjang saat terakhir kali aku bertemu dengannya.

Jena berlari dan memelukku dengan bahagia. Begitu melepasakanku, Jena mengernyit. "Apa kau baru bangun?"

Aku belum menjawab, tapi ia segera menambahkan. "Heol. Padahal ini sudah jam dua belas. Dasar malas," Jena melemparkan tatapan menghina.

"Jika dilihat dari pakaianmu, kau pasti bolos dan malah datang ke sini. Sekarang, siapa yang malas?"

Jena memutar bola matanya. "Bukan begitu. Seoul sangat sumpek belakangan ini. Polusi udaranya bukan main, aku ingin menjaga kesehatanku jadi aku rela mengambil kereta pagi untuk kesini!"

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang