Small Warm Town

1.5K 341 327
                                    

Song Dain
Seoul, 19th February 2019

Musim dingin masih berlangsung, namun udara kian menghangat di pertengahan Februari. Dekorasi bernuansa hati masih belum dilepaskan dari dinding-dingin lobi rumah sakit-padahal, hari Valentine sudah lima hari yang lalu.

Aku mendorong kursi roda ibuku menuju taman, sejak beberapa hari yang lalu ia meminta untuk ke luar meski aku sudah mengatakan padanya bahwa imunnya masih belum siap menerima cuaca dingin. Namun hari ini aku dapat melihat matahari bersinar dengan malu-malu.

Kami berhenti di samping pohon gingko yang gersang. Bagian tengah batang pohon itu dibaluti oleh serbuk jerami agar serangga tidak memasuki batangnya dan bertelur di sana dan membuatnya sulit untuk bertahan hidup di musim dingin.

Hampir semua pohon besar di kota Seoul dibungkus oleh jerami kuning seperti ini, bahkan ada yang dibaluti keseluruhannya, dari ujung bawah batang hingga ujung atas ranting.

Tapi dengan begitu pohon-pohon tersebut bisa mekar kembali saat musim semi tiba. Pohon gingko ini juga akan menumbuhkan daun-daun kuning cerah nantinya.

Semua ini membuatku berpikir, bahkan pohon dengan semangat mempertahankan hidup demi menunggu masa keemasannya.

"Kurasa ini semacam teguran untuk ibu. Karena jeda dalam hidup yang begitu tiba-tiba ini, setelah sekian lama ibu baru bisa merenungkan segala hal yang terjadi di hidup ibu," ucap wanita itu sembari menatap ke kejauhan.

Aku menatap ibuku. Pasti sulit baginya-manusia yang sudah terbiasa sibuk di sepanjang hidupnya untuk terdiam tanpa melakukan apa pun selama dua bulan penuh.

"Dokter bilang kondisi ibu sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, mungkin sebulan lagi ibu bisa rawat jalan. Tapi untuk bekerja lagi, kurasa akan berbahaya."

Ia menatapku, mengadahkan kepalanya ke atas. Ibu tersenyum dan menggeleng, "ibu berencana untuk resign. Jika sudah benar-benar pulih, ibu akan mencari pekerjaan lain yang lebih luang. Memang terlambat, tapi ibu ingin meluangkan waktu lebih denganmu dan Jena."

Kubalas senyumnya dengan tulus. Sungguh. Meski banyak hal buruk yang terjadi, setidaknya musim dingin ini membawa keajaiban bagiku. Akhir tahun lalu aku tak pernah membayangkan diriku dan ibu berbincang dengan tatapan hangat.

Ibuku meraih pergelangan tanganku, kemudian menggenggam telapak tanganku dengan kedua tangannya. "Geuraeseo, Dain-ah, ibu berpikir apakah mungkin jika dirimu pindah ke Seoul saja." (Oleh karena itu)

Kedua alisku terangkat. Sebenarnya, aku telah memikirkan kemungkinan tersebut. Jena sudah memasuki kelas tiga SMA bulan depan, ia akan menjadi sibuk dan tidak bisa menemani ibu.

Aku tersenyum dan menjongkok di hadapan ibuku.

Sembari menyentuh punggung tangannya, aku berkata, "tentu. Aku akan pindah."

Merelakan kehidupan tentramku di Ulsan memang berat, tapi itu setimpal dengan hidup bersama ibuku dengan bahagia. Keadaanku juga sudah jauh lebih baik dibanding dua tahun lalu.

Hidup di Seoul tidak akan sesulit dahulu, aku punya orang-orang yang menyayangiku di sini. Aku akan baik-baik saja.

"Terima kasih, Dain-ah."

Kuanggukkan kepalaku. Wajah ibuku benar-benar menunjukkan ketulusan.

Ah. Rasanya aku hampir menangis haru. "Saat Jena libur semester, aku akan ke Ulsan untuk mengambil barang-barangku," ucapku.

*

Song Dain

Ulsan, 27th February 2019

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang