Departure Time

1.8K 487 1.1K
                                    

Jung Haein
Seoul, 8th November 2018

Pintu lift yang membawaku ke area parkiran kini terbuka. Aku melirik pada jam di pergelangan tangan kiriku, beberapa menit lagi pukul tujuh. Jika tak ingin ketinggalan kereta, aku harus bergegas.

Begitu tiba di dalam mobil, aku meletakkan tas ranselku yang berisi pakaian untuk dua hari pada kursi belakang. Sebelum berangkat aku juga mengisi baterai ponselku yang mati total. Aku harus mengirim pesan pada temanku untuk membawa mobil ini pulang begitu aku tiba di stasiun.

Aku berbelok untuk keluar dari area parkir. Mobil tersebut belum keluar dari area apartemen, tapi aku segera menginjak rem mendadak.

Kedua mataku membelalak.

Park Nayoung baru saja menghalangi jalanku dengan kedua lengan yang terbentang lebar. Aku menghela napas lega, hampir saja aku menabraknya.

Gadis itu tersenyum, seolah ia tidak hampir terkena tabrak beberapa detik yang lalu. Ia membuka pintu penumpang dan menyapaku. "Selamat pagi," ucapnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" aku bertanya dengan alis berkerut.

Nayoung mengangkat kantong plastik di tangan kanannya, "aku ingin memasakkan sarapan kecil sebelum kita berangkat."

Kini ia membalas tatapan bingungku, "tapi kau ingin ke mana pagi-pagi buta? Kan janjinya pukul sepuluh."

Aku tertegun. Janji? Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan.

"Jangan bilang kau lupa?" Nayoung menghela napas.

"Waktu itu di telepon aku pernah bilang bahwa orang tuaku ingin bertemu denganmu dan menawarkan bertemu hari sabtu pukul jam sepuluh pagi. Dan kau setuju."

Sial. Aku sama sekali tidak ingat pernah menjanjikan hal tersebut.

Sepertinya Nayoung menanyakan saat aku benar-benar sibuk dan aku mengiyakan tanpa tahu konteksnya. Aku memegang leher bagian belakang, "bagaimana ya.. aku harus pergi ke suatu tempat hari ini."

Gadis itu memiringkan bibirnya. "Oh ya?" usai mengucapkan hal tersebut, Nayoung segera duduk di kursi penumpang dan menutup pintu mobil. "Kalau begitu aku ikut."

Aku baru saja ingin membuka mulut, namun ia memotongku dengan berkata, "ayo, jalan." Nayoung memasang sabuk pengaman lalu menatap lurus ke depan.

Aku terdiam, bingung harus melakukan apa dalam situasi seperti ini. Kujalankan mobil tersebut sembari memikirkan bagaimana caranya aku menjelaskan semuanya pada Nayoung.

Setengah perjalanan berlalu, kami hanya terdiam.

Sesekali, aku meliriknya dengan ragu. Setiap aku melakukan hal tersebut, Nayoung hanya membalas tatapanku dengan senyuman.

Kurang lebih lima menit lagi kami tiba di stasiun, akhirnya aku memutuskan untuk membuka mulut. "Nayoung-ah, aku sangat minta maaf tapi aku sungguh tidak bisa hari ini. Aku akan berangkat ke Ulsan."

"Untuk bertemu pacarmu?" tanya gadis itu.

Aku menatapnya terkejut. "Kau tahu dari mana?"

Nayoung menunduk dan menghela napas. "Mustahil bagiku untuk tidak mengetahui hal itu."

Tepat dua menit sebelum kami tiba, ponsel Nayoung berbunyi. Gadis itu mengangkat telepon dengan senyuman tipis. "Eoh, eomma," ucapnya. (Ya, ibu).

Nayoung terdiam untuk beberapa saat. "Pakai baju apa pun akan cantik untukmu, jangan khawatir." Ia tersenyum lebar, "ya.. memang seperti itu."

Kemudian, gadis itu menaikkan satu alisnya dan menolehkan wajahnya ke arahku. "Haein?" ucapnya pada orang di seberang telepon.

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang