Zero O'Clock

2K 490 757
                                    

Kim Namjoon
Dorm, 25th December 2018

Hari ini kami menampilkan enam lagu. Acara malam ini selesai pukul sembilan malam, tak seperti acara akhir tahun pada umumnya karena bertepatan di hari natal.

Jadi, aku dan para member masih sempat makan bersama dan minum segelas anggur sebelum jam menunjukkan pukul sebelas.

Jendela apartemenku menunjukkan pemandangan kota Seoul yang penuh kerlap-kerlip dari kejauhan. Jika aku mengaburkan penglihatan, rasanya seperti aku sedang melihat langit malam yang penuh bintang.

Namun saat aku memandang ke atas, tak ada satu pun cahaya bintang yang terlihat dari sana. Dunia seolah sedang terbalik.

Aku berjalan ke dapur dan mengambil air putih saat Taehyung sedang mencuci piring. Kuteguk segelas air dan duduk di meja makan. Ia menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang sedang berada di ruangan itu bersamanya.

"Hyung, jangan lupa kalau besok jadwalmu untuk mencuci," ucapnya.

Kuanggukkan kepalaku sembari menggumam.

Aku menaikkan kaki di kursi. "Bagaimana perasaanmu belakangan ini?"

Lelaki itu memiringkan sedikit kepalanya. "Entahlah, hyung. Masih banyak hal yang belum jelas bagiku. Tiap hari aku hanya mencoba bertahan."

"Jangan memaksakan dirimu. Terkadang tidak mengerti atau memahami suatu hal berarti bahwa memang belum waktunya kita mengetahui hal tersebut."

Aku terdiam sebentar. Mengingat kondisi Taehyung beberapa bulan lalu, aku dapat merasakan bahwa ada perubahan meski aku tidak tahu detailnya. "Menurutku kau sudah melakukan yang terbaik saat ini," tambahku.

Taehyung menunduk dan berhenti membilas untuk sementara. Ia kemudian mengangguk, "aku harap begitu. Aku juga ingin menjadi lebih baik lagi, tapi semakin aku menua, semakin banyak hal yang kupertanyakan. Setelah bertemu dengan psikiater aku dapat menjawab beberapa pertanyaan dalam diriku, tapi semakin aku tahu dan menyelami diri sendiri, semakin banyak juga pertanyaan baru yang muncul."

Aku terdiam. Aku sadar bahwa Taehyung adalah orang yang sensitif sejak dulu, tapi beberapa tahun terakhir ia lebih sering berkomunikasi dengan dirinya atau melihat 'ke dalam'.

Lelaki itu menoleh padaku, "terlalu banyak hal yang tidak kumengerti. Diriku, orang lain, dunia ini secara umum."

"Kurasa setiap orang punya cara sendiri dalam memaknai hal-hal itu. Meski bertanya kepada orang terbijak atau membaca buku filosofi, tetap saja manusia akan membuat maknanya masing-masing dan menyesuaikannya dengan kehidupan sendiri." Aku tersenyum padanya, "aku sepenuhnya mendukungmu dalam journey ini. Tapi tolong, jangan sakiti dirimu dalam prosesnya."

Taehyung tersenyum miring, "kalau kata dokter Haein, harus pandai regulasi emosi."

Mendengar nama tersebut, mau tak mau aku mengingat topik yang berbeda.

Aku menyembunyikan banyak hal pada Dain. Selain fakta bahwa Haein—sejauh pemahamanku merupakan pacar Dain, akan menikah dengan wanita lain, aku juga belum mengatakan pada Dain bahwa aku mengenal Haein sebagai psikiaterku.

Sejak pertama aku bertemu dengan Dain lagi, aku selalu berpikir untuk berusaha sejujur mungkin pada diriku dan semua orang.

Namun, kenyataannya, hal itu lebih sulit daripada yang kubayangkan. Aku takut jika aku jujur, aku akan menyakiti Dain dan membuat semuanya hancur untuk kedua kalinya.

Taehyung meletakkan piring terakhir dan membersihkan tangannya. Ia hendak berjalan keluar dari dapur, namun aku menghentikannya. "Taehyung-ah. Jika kau punya sebuah kotak pandora yang akan menyakiti orang yang kau sayangi, apa kau berani membukanya?"

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang