Those Who Left and Stay

2K 487 976
                                    

Song Dain
Home, 6th December 2018

Suara api meletup-letup mengisi perapian bagian belakang rumahku. Sore tadi Pak Donghwa membawa kayu bakar untuk aku gunakan malam ini.

Hampir semua rumah di Ulsan tidak memiliki air conditioner, hanya kantor dan bangunan penting saja. Beberapa bahkan tidak menggunakan kompor saat memasak, misalnya saja tetangga Pak Donghwa, Nenek Yia yang menganggap tungku lebih mampu memunculkan rasa masakan dengan maksimal.

Aku berjongkok di depan api unggun, menatap kosong pada warna merah yang mengawang di udara. Hidungku sedikit penuh sejak kemarin, mungkin aku akan flu.

Baru pukul sembilan, aku bingung harus melakukan apa malam ini. Musim dingin adalah musim yang membosankan bagiku selama tinggal di desa. Saat malam, aku tidak bisa keluar rumah sama sekali kecuali aku ingin membeku. Biasanya, aku hanya menghabiskan malam dengan menonton film barat.

Tapi malam ini aku sedang tidak mood untuk melakukan hal itu, karena pikiranku dipenuhi oleh Jung Haein.

Haein. Jung Haein. Haein. Namanya terus-terusan bergaung dalam benakku.

Aku merasakan sesuatu yang aneh belakangan ini, tapi aku tidak tahu perasaan apa itu. Mungkin aku hanya berlebihan, karena Haein berubah drastis sebulan terakhir. Bahkan ketika kami batal berjumpa di Seoul, ia masih belum mengajakku bertemu lagi.

Apa ada yang terjadi dengannya? Biasanya, jika ada masalah besar ia akan menelepon setiap malam untuk menceritakan keresahannya. Tapi sekarang satu pesan selamat malam pun sukar untuk aku terima.

Mungkin keluarganya pulang dari Kanada dan ia harus menjamu mereka? Tapi jika itu alasannya, mengapa ia tidak memberitahu?

Kutatap layar ponselku dengan gundah. Sebuah pesan masuk dari Namjoon.

Kim Namjoon: Kau sudah tidur?
Song Dain: Belum, bagaimana denganmu?

Ia mengirim foto studio musiknya, lalu mengirimkan pesan lagi.

Kim Namjoon: Sedang lembur.
Song Dain: Semangat, leader-nim!

Belakangan ini, aku lebih sering menerima pesan dari Namjoon dibanding kekasihku sendiri.

Aku menghela napas. Setelah beberapa saat, aku memutuskan untuk menelepon Haein.

Nada dering terdengar untuk waktu yang lama. Kupikir kali ini tidak akan diangkat, tapi kemudian telepon itu tersambung.

"Song Dain," sapanya.

Suaranya terdengar datar, seperti sedang kelelahan. Aku memperbaiki posisi dudukku, lalu berkata, "ah, sudah lama aku tidak mendengar suaramu."

Haein tidak mengucapkan apa pun. Aku mengernyit, "apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tidak ada." Lelaki itu berdeham, kemudian kembali berbicara dengan nada antusias yang sedikit dipaksakan, atau mungkin hanya asumsiku saja. "Bagaimana harimu?"

Aku tidak senang dengan nada bicara itu. Tapi aku tetap menjawab. "Tidak ada yang spesial, bagaimana denganmu, oppa?"

"Cukup melelahkan. Tapi tidak apa."

"Kau jarang mengabariku belakangan ini. Apa yang membuatmu sibuk?"

Lelaki itu memberi jeda sebelum berbicara lagi. "Sudah beberapa hari aku sering pulang balik dari klinik ke rumah sakit universitas," jawabnya.

"Oh ya? Untuk apa?"

"Aku mempertimbangkan untuk pindah ke departemen di sana."

Kedua alisku terangkat. Bibirku tersenyum lebar, "jaldwaessda! Bekerja di rumah sakit lebih menjanjikan meski jadwalnya akan lebih padat." (Itu sangat bagus)

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang