Late Night Confession

2K 533 1.1K
                                    

Song Dain
Ulsan, 13th November 2018

Semua pekerjaanku hari ini sudah selesai. Selama tiga jam, Namjoon hanya duduk di dalam greenhouse dan menemaniku bercengkrama.

Tak bisa dipungkiri, aku merasa bahwa aku menjadi sangat dekat dengan lelaki itu. Padahal jika diingat-ingat, aku baru mengenalnya dua bulan yang lalu. Sebagai artis, aku tidak mendapatkan aura mengintimidasi sama sekali darinya. Sesuatu dalam diri Namjoon terasa sangat akrab bagiku.

Mungkin salah satu alasannya juga adalah karena diriku yang cepat terbuka dan tidak menutup diri pada orang asing.

Sangat mengejutkan bagaimana hidup di desa mengubahku sepenuhnya. Padahal hingga aku kuliah, aku tak pernah punya teman dekat. Bukan karena aku berpikir bahwa semua orang membenciku, tapi aku yang tidak mudah diajak bergaul.

Sejak dulu, aku selalu bingung saat bercengkrama dengan orang lain. Isi pikiranku hanya dipenuhi oleh 'apakah boleh aku mengatakan ini?' dan pertanyaan sejenis. Sekarang, mungkin karena hatiku jauh lebih tenang, aku sudah dapat dengan mudah mengekspresikan perasaan dan pikiranku.

Aku dan Namjoon bersiap-siap untuk menuju sungai, entah mengapa lelaki itu ingin mengunjungi tempat tersebut sebelum pulang malam ini. Kunci greenhouse sudah aku kembalikan pada ibu Sooah, aku juga sudah merapihkan peralatanku.

Sungai tidak jauh dari sini, jadi kami berdua memutuskan untuk berjalan kaki.

Begitu tiba di jalanan yang dikelilingi persawahan, aku mendongak ke atas. Kerlap-kerlip bintang menghiasi langit malam bagaikan glitter di buku harianku saat SMA.

"Wah, jika saja polusi cahaya di Seoul tidak parah, aku pasti akan bisa menikmati langit seperti ini tiap malam," ujar Namjoon yang kini ikut mengadahkan kepalanya.

Aku kembali menatap aspal dan tersenyum.

"Aku harap hari di mana langit Seoul menunjukkan bintang sebanyak ini akan tiba," lanjutnya.

Tawa kecil lepas dari mulutku, "bagaimana, ya? Maaf sebesar-besarnya. Tapi kurasa harapanmu terlalu tinggi."

Namjoon mengangkat kedua bahunya, "tak ada salahnya berharap."

Ia menatapku sejenak.

Dalam waktu yang amat singkat itu, aku terkesima. Bola mata lelaki itu nyaris terlihat seperti memerangkap satu bintang di dalamnya. Tapi itu hanya pantulan cahaya lampu jalan.

Aku membentuk garis lurus di bibirku. Ingat, Song Dain. Kau punya pacar. Kuanggukkan kepalaku.

Kemudian, aku mengernyit. Memangnya apa salahnya mengagumi seseorang? Toh, dia memang artis, orang yang memang sepantasnya untuk dikagumi. Aku tidak bersalah. Keindahan itu ada di mana saja, merupakan kerugian bagi manusia bila mengabaikan keindahan yang ada di dunia ini.

Tidak ada salahnya mengapresiasi.

Tenggelam dalam pikiranku, aku tak menyadari bahwa aku terdiam beberapa menit hingga kami telah tiba di jembatan.

Melihat palang yang terangkat, aku lantas tersadar bahwa ini adalah tempat pertama kalinya aku bertemu dengan Namjoon.

Kuletakkan sepedaku di samping pembatas jembatan, mengambil lampu minyak yang kupinjam dari ibu Sooah, lalu aku keluar dari jalur utama dan berjalan cepat dengan kedua tangan merentang di turunan yang mengarah ke tepi sungai. Sepatuku menginjak semak liar dan tanah basah, tapi aku tak peduli.

Lelaki itu mengikuti dari belakang.

Suara gemericik air mengalir sangat menenangkan bagiku. Begitu tiba di tepi, aku mengambil tempat di batu terbesar dan duduk di sana setelah meletakkan lampu minyak sekitar dua meter dariku.

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang