Another Hidden Truth

1.6K 455 603
                                    

Song Dain
Seoul, 25th December 2018

"Aku tidak percaya."

Atau lebih tepatnya, aku tak ingin percaya.

Mataku mulai panas, dan aku tidak mau menangis di hadapan Namjoon. Segera, aku berjalan pergi menjauh darinya secepat mungkin.

Seluruh badanku bergetar, langkahku terburu-buru, dalam kepalaku aku dapat mendengar suaraku sendiri mengatakan 'tidak' berulang kali.

Haein akan menikah dengan orang lain? Tidak mungkin.

Ia masih memelukku pagi tadi.

Mungkin Namjoon membuat cerita palsu agar aku putus dengan Haein. Alasannya? Entahlah. Oh. Karena ia masih menaruh rasa padaku dan tidak ingin aku bersama orang lain. Ya. Itu masuk akal.

Benar. Pasti begitu.

Tapi lucunya, seberapa keras aku mengelak, air mataku lolos terjatuh ke pipi. Mungkin karena dalam lubuk hatiku, aku tahu bahwa Namjoon bukanlah tipe pembohong.

Dengan cepat aku menuruni tangga dan keluar dari area katedral. Bahuku terguncang akibat isakan tangis yang kuusahakan agar tidak meledak-ledak.

Setiap kali air mataku jatuh, segera aku menghapusnya agar tidak tersisa apa pun selain mataku yang sembap.

Sebelum aku tiba di halte bus, salju turun.

Aku berhenti sejenak, sama seperti belasan orang yang berada di sekelilingku. Namun tak sepertiku, mereka memandang ke atas dan melihat kepingan salju yang jatuh pelan dengan senyum bahagia.

***

Rayakan Keajaiban dan Kegembiraan di Hari Natal!

Tulisan spanduk yang aku lihat di gerbang rumah sakit itu adalah hal pertama yang muncul di kepalaku saat menyadari ibuku telah siuman dan dipindahkan ke ruangan rawat inap begitu aku tiba.

Dengan pelan, aku membuka pintu ruangan tersebut.

Jena sedang duduk di samping kasur ibuku tersenyum, lantas berlari ke pintu saat menyadari kehadiranku.

Gadis itu segera meraih kedua tanganku, "eonni kemana saja? Aku tak bisa menghubungimu."

"Maaf, tadi aku mencari udara sebentar," jawabku.

"Ibu sempat berbicara sedikit denganku, sekarang dia tertidur." Jena kini mengernyit, "kenapa matamu merah?"

Aku menggelengkan kepala sembari tersenyum padanya. "Tidak apa-apa." Segala rasa yang bercampur aduk dalam diriku rasanya ingin meluap, kuhela napasku dengan panjang dan kemudian memeluk Jena erat.

Bibirku bergetar saat masih mempertahankan senyum. Aku menarik napas sekali lagi, dan berbisik, "Ije dwaesseo.. dahaengida." (Sekarang sudah tidak apa.. syukurlah)

Sekali lagi, air mataku terjatuh. Tak lama, aku kembali terisak saat adikku memeluk dan mengelus punggungku tanpa mengatakan apa-apa.

Seluruh badanku bergetar, kini aku sepenuhnya mengeluarkan tangisan yang aku batasi saat perjalanan pulang.

Kedua doaku malam ini terjawab sangat amat cepat. Sungguh, aku menyangka bahwa jawaban tersebut menghasilkan dua perasaan—yaitu haru dan pilu yang mampu memecahkan tangis sebesar ini.

***

Song Dain
Hospital, 31st December 2018

Setelah sekian lama, aku menghabiskan tahun baru bersama keluargaku. Meski begitu, kami hanya merayakannya di dalam kamar rumah sakit dengan dua kotak ayam goreng yang Jena pesan sekitar pukul sembilan tadi.

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang