Child at Heart

2K 533 1.1K
                                    

Song Dain
Seoul, 19th December 2016

Aku sedang berdiri di balkon berpagarkan tembok putih tulang, memandangi halaman dan pagar besar yang membatasi rumah tersebut dan jalanan.

Sejak hari pertama aku datang ke rumah ini, yaitu enam bulan lalu, aku punya banyak pertanyaan. Yang pertama adalah mengapa tamannya sangat terawat dengan baik. Kenapa aku mempertanyakan hal ini? Karena semua pohon cemara udang di sana berbentuk bulat sempurna, tanpa satu pun daun yang melewati batas.

Seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa perawat tamannya bukan datang tiap hari, tapi bahkan tinggal di rumah ini.

Hal selanjutnya yang kusadari adalah halaman belakang itu luasnya hampir sama besarnya dengan rumahku, yang kemudian memicu pertanyaan kedua. Apakah semua rumah di lingkungan elit ini punya halaman sebesar ini juga? Aku tak tahu. Aku belum pernah mengunjungi rumah lain yang sebesar ini.

Kuputuskan untuk kembali melangkah ke dalam dan duduk di sofa ruang tengah. Aku sedang menunggu Hwang Hyunsoo, murid lesku yang berusia tiga belas tahun.

Dulu aku juga mempertanyakan mengapa keluarga ini memilihku untuk mengajar Hyunsoo, seorang mahasiswa dan bukannya orang yang lebih ahli. Sebulan kemudian aku sadar bahwa orang tua Hyunsoo tidak berniat untuk menjadikan anaknya sebagai pianis, namun hanya salah satu dari sekian banyak hobinya saja­— panahan, melukis, basket, hingga menunggang kuda.

Aku mendengar suara kaca pecah disertai teriakan Hyunsoo dari dapur.

Tidak sedikitpun aku menunjukkan respon bahwa aku terkejut. Aku hanya menatap kosong pada grand piano hitam yang berada di pojok ruangan.

Aku diam, menghapuskan pikiran untuk ikut campur. Aku butuh pekerjaan ini, jika aku dipecat aku tak akan bisa menemukan pekerjaan lain yang cukup untuk menjamin biaya kuliah, tempat tinggal dekat kampus, dan latihan-latihan tambahan agar aku bisa mengikuti kompetisi.

Ibu Hyunsoo kembali berteriak, namun aku memblokir kalimat yang ia keluarkan hingga tak bisa diterjemahkan oleh kepalaku.

Sungguh. Aku tak ingin tahu sedikitpun kata yang ibu Hyunsoo keluarkan.

Namun semakin kuat aku berusaha untuk mengalihkan perhatianku, semakin sulit untuk berhenti memikirkannya. Mengapa anak pertama harus menerima tekanan seperti ini?

Tentu tidak semuanya seperti ini, tapi beberapa orang tua menetapkan standar yang sangat tinggi pada anak pertamanya. Dan jika tak sesuai harapan, mereka akan menyiksa anak tersebut dengan alasan untuk mendisiplinkan. Patut dicatat, bahwa yang aku maksud dengan menyiksa tidak terbatas pada penyiksaan fisik, tapi juga penyiksaan mental.

Aku belum lama mengenal Hyunsoo, tapi aku tahu bahwa semua hobi yang ia lakukan tiap minggu bukanlah hobinya. Ia hanya melakukannya karena ibunya yang meminta.

Bisa dibilang aku mengalami hal yang serupa, tapi aku jauh lebih beruntung dari Hyunsoo. Setidaknya, aku memang suka bermain piano.

Suara langkah kaki yang cepat dan suara tangisan terdengar semakin jelas. Hyunsoo keluar dari dapur. Matanya merah dan sembab, ada luka goresan di pipinya.

Mataku membulat. "Hyunsoo-ya," aku segera menghampirinya namun ia mengabaikanku dan segera masuk ke kamar.

Tak lama, anak lelaki itu keluar dari kamar sembari membawa tas. Ia berlari ke arah pintu, masih dengan air mata di pipinya. Aku tahu suatu saat hal ini akan terjadi, namun aku tak tahu itu adalah hari ini.

Tanpa berpikir panjang, aku segera menyusul Hyunsoo sementara Ibu Hyunsoo berteriak memangginya untuk kembali.

Hyunsoo tidak menoleh ke belakang sama sekali bahkan ketika aku memanggil namanya. Dari belakang aku dapat melihat bahwa napasnya terburu, begitu pula dengan cara berjalannya yang sangat cepat dan tidak terkontrol. Kami menyusuri jalan beraspal yang sepi.

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang