7. (c) Melacak Jejak Darah

58.3K 1.8K 79
                                    

Aku tak pernah tahu alasan kenapa Tuhan bisa menganugerahkan hari sebaik ini untukku, membiarkan menikmati surganya didaratan seindah tempat ini. Mungkin dikehidupan yang sebelumnya aku telah berbuat baik, yeah! Kurasa aku akan percaya mentah-mentah jika ada seorang ahli regresi hipnotis mengatakan kalau dulunya aku adalah Florence Nightingale.


Aku memikirkan itu sambil tersenyum pada diri sendiri sambil menatap langit cerah Biei dengan mata berlumur kepuasan, disebelahku Reizen Ashida memacu Marcedez Benz SLR Mc Laren perak milik dengan kecepatan sedang.

Langit cerah musim gugur memayungi kami disepanjang Pachtwork Road, dan aku sangat merasa beruntung dengan itu. Sinar matahari musim gugur di Biei masih cukup hangat menerpa wajahku, mempertahankan rona merah dipipi yang kudapat dari pengalaman menjelajah rasa terlarang bersamanya saat dipesawat beberapa menit yang lalu. 

Oh! Jangan ingatkan aku pada yang satu itu. Aku tidak sanggup untuk mendongeng ulang atau menuliskannya disebuah kertas putih tanpa membuat diri sendiri basah kuyup. Ah! Ya ampun.
…………………...............

“Kau menyetujuiku?” dia bertanya, tatapannya memeriksa jauh kekedalaman mataku, mencoba menemukan penolakan atau keragu-raguan dan ketika dia tidak menemukan apapun selain persetujuan disana aku bisa melihatnya menghembuskan nafas lega.

“Pejamkan matamu Runee-chan” dia kembali memberi perintah dalam ketenangan.

Aku baru saja hendak memejamkan mataku kembali  saat  suara ponsel terdengar samar-samar entah darimana. Kubelalakkan mata menatap Reizen Ashida yang terlihat berusaha mengeluarkan sesuatu dari saku jas yang dia taruh diatas punggung sofa yang kami duduki.

Aku memandang kesibukannya itu dengan wajah horor.
Ponselnya menyala! Dipesawat!.

“Maaf” katanya sambil menatapku menyesal, ekspresi diwajahnya mengguratkan ketidak senangan atas gangguan itu “ini panggilan penting” tambahnya seraya mengeluarkan sebuah benda pipih seperti kaca bening berwarna hijau botol dari saku setelan hitam yang tadi ia kenakan kemudian langsung mendekatkan ketelinganya.

Ckk..aku tau kalau panggilan itu pasti penting dan sama sekali bukan masalah bagiku, yang jadi masalah adalah kalau terjadi sesuatu ada pesawat ini dan… kami berakhir didalam peti mati.

Aku berusaha untuk menekan amarah saat mendengar dengan seksama  obrolannya dengan seseorang dalam bahasa Jepang. Aku tidak tahu kenapa, meski suaranya tetap terdengar tenang, tapi dimatanya aku melihat nyala emosi yang begitu  kuat. Reizen Ashida terlihat sangat marah sekali saat ini.

Aku mengalihkan perhatian dengan penuh keingintahuan keponsel ditangannya, mengernyit saat berusaha mencari tahu merek ponsel yang dia punya itu. Aku tertarik karena bentuknya yang luar biasa futuristik, mewah dan canggih serta tidak pernah kulihat dipromosikan oleh tabloid maupun situs tentang gadget manapun yang pernah kubaca.


“Lakukan dengan benar” perintahnya dalam bahasa Inggris yang terdengar sangat dingin tepat sebelum dia mengakhiri pembicaraan dan kembali sepenuhnya berkosentrasi padaku, memasang tampang terkejut saat melihat aku tengah memandanginya.


“Ada apa Runee-chan?” dia bertanya lembut, tanpa nada marah sedikitpun seakan-akan memang dia tidak pernah larut dalam emosi negatif beberapa menit yang lalu dan itu cukup mencengangkan bagiku.

“Apakah tidak pernah ada yang bilang padamu untuk jangan menghidupkan ponsel didalam pesawat?” aku mengalihkan tatapan tajam penuh protes kebenda mewah  nan futuristik ditangan.

“Oh!” serunya “aku berani menjamin ini aman”
“Aman!” aku menatapnya marah.

Dia mengangguk dengan penuh keyakinan “Sejak dua tahun yang lalu setiap pesawat yang menjadi bagian dari aset milik Ashida Holding Company dilengkapi dengan pemancar sinyal ke satelit yang dipantulkan kedarat, dan sejauh ini aman-aman saja untukku”

Badless LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang