8. Luka Yang Terkuak

59.6K 1.6K 92
                                    

Bagaimana mungkin kesialan bisa mengikuti seseorang yang sama selama berhari-hari, tidakkah ada orang lain yang lebih berprospek untuk dihinggapi olehnya selain aku?
Aku memikirkan  itu dengan tubuh tertutupi oleh selimut sampai keatas kepala, berbaring miring sambil menggelung tubuhku kuat-kuat agar suara isak tangis itu tidak lolos dari tenggorokan.

Aku tidak ingin ada yang tahu apa yang sedang kulakukan sekarang, setelah segalanya jadi terlalu jelas untukku. Yang kumau cuma satu, pulang. Kembali ke Indonesia, kekamarku dan mengurung diri sambil menangis sepuasnya.

Tapi bahkan aku tidak tahu dimana Hegel berada saat ini.

Ponselku berbunyi berulang kali. Aku memutuskan untuk mengabaikannya karena sangat tahu siapa yang melakukan panggilan gila-gilaan itu. Orang itu terus terusan menghubungi aku bagai korban kesurupan yang sangat ingin segera diobati oleh dukunnya.

Lelaki itu –aku tidak lagi sanggup menyebutkan namanya saat ini-  ingin penjelasan dariku, sedang aku sangat tidak ingin melakukan apapun bahkan jika itu sekedar simpati untuk perusahaannya yang dibikin hancur oleh sepupuku.

Jika Julian berpikir aku akan membantunya setelah apa yang ia lakukan padaku maka dia salah besar, memangnya aku bunda Maria apa! Ketika untuk yang kesekian kalinya panggilan itu terdengar aku –dengan geram- segera mematikan ponselku, dan kembali bergelung, meratapi kesialan yang tergaris dalam takdirku, dalam darahku.
......................................

 
Darah pemerkosa!!.
Aku  ingat dengan jelas saat aku memanggil pria dihadapanku dengan panggilan kurang ajar itu, dan dia hanya mampu balik menatapku dengan mata membesar, nyalang.

Aku tidak dapat percaya kalau akhirnya kami bertemu juga dengan cara yang sungguh sangat dramatis begini. Kengerian atas apa yang baru saja aku lontarkan membias disana, ditelaga bening yang pada awalnya membuatku mabuk kepayang.

Aku kemudian menyeka dengan kasar air mata yang jatuh begitu saja saat tabir ingatan akan kisah rahasia itu terkuak, rahasia paling menyakitkan yang aku dapatkan hanya karena kemiripan wajahku dengan wajah nenek kandungku.

Aku tidak pernah tahu nama aslinya.
Oma Meiske tidak pernah menyebutkannya padaku. Yang aku tahu kalau nenek kandungku memiliki nama Jepang, Kiku.
Kiku adalah bunga Seruni dalam bahasa Jepang. Bunga putih dengan putik kuning yang menjadi simbol tahta bagi keluarga Kaisar negeri Yamato.

“Maaf” sesalku kemudian “aku...” sekali lagi kuseka airmataku “aku mau pulang”

“Pulang!” serunya tidak percaya, dalam sekejap dia merengkuh tubuhku “kita bahkan baru sampai, ada apa denganmu Runee-chan? Kau jadi aneh setelah...” dia mengalihkan pandangannya kearah lukisan raksasa yang tergantung didinding ruangan emas itu selama beberapa saat, kemudian kembali mengalihkan wajah menatap kepadaku, aku tahu itu  meskipun aku sedang menundukkan kepala untuk menyembunyikan airmata sekaligus rasa syok yang aku alami.

“Apa kau mengenalnya? Tolong katakan padaku Runee-chan...apa kau mengenal Hanamari Kiku?” ada nada mendesak dalam suaranya dan aku tidak punya pilihan selain menganggukkan kepala.

“Dia...”kupejamkan mataku rapat-rapat “nenek kandungku” dan begitu saja meluncurlah seluruh rahasia yang rapat aku simpan sejak delapan belas tahun yang lalu.
........................................


“Dia masih berusia tiga belas  tahun saat Jepang masuk ke Hindia-Belanda” aku selalu terngiang kalimat pembuka saat Oma  mengawali ceritanya padaku delapan belas tahun yang lalu.

“Ayah kami Ambtenar Belanda yang bertugas di Ambarawa, saat Jepang datang dia segera kehilangan pekerjaannya karena alasan politis” mata Oma Meis waktu itu terlihat berkaca-kaca.

“Begitu Jepang masuk, kehidupan bagi warga peranakan seperti kami segera jadi sangat sulit, banyak Ambtenar Belanda yang memilih untuk pulang ke Belanda walau itu juga sebenarnya bukan pilihan yang bagus karena orang-orang berdarah campuran seperti keluarga kami dianggap sebagai orang Eropa imitasi dan bermoral rendah oleh keturunan Belanda totok.”

Sebelumnya, aku tidak pernah tahu kalau dalam darahku mengalir darah bangsa Belanda. Yang aku tahu kami memiliki separuh darah Cina seperti layaknya kebanyakan keturunan orang Melayu Kalimantan lainnya.

Wajah Oma, Papa dan Om-ku memperjelas dugaan tentang itu, mata mereka yang kecil dan sipit serta kulit kuning jelas-jelas terwaris dengan baik pada fisik Hegel tapi tidak padaku. Nyata-nyata tidak ada sedikitpun raut wajah Asia Timur itu, karena faktanya wajah Eropa ini menurun dari kakek buyutku melalui wajah nenek kandung yang bahkan tidak aku kenali.

“Suatu malam pintu rumah kami dibuka paksa oleh empat orang tentara, dan mereka bilang pada ayah akan ‘meminjamku’, waktu itu ayahku tentu saja menghalangi niat tentara Jepang, tapi todongan senapan menghentikannya....”

“Dua orang mencekal tanganku menggeretku secara paksa, aku menjerit-jerit minta tolong pada ayah dan kakak laki-lakiku, sampai akhirnya salah satu dari tentara itu menamparku dengan keras....”

Aku ingat saat itu aku menutup mulutku dengan telapak tangan, menahan agar tidak berteriak ngeri. Seumur hidup aku selalu diperlakukan dengan penuh kasih sayang oleh keluargaku, mendengar bahwa oma mendapat perlakuan yang sangat berbeda membuat aku seketika merasa dicekam rasa takut.

“Tak ada yang berani...” suara oma berubah jadi rintihan “Cuma dia yang datang berlari kearahku, menerobos pria-pria berseragam itu untuk kemudian datang memeluk aku yang ketakutan...”

“Pada awalnya mereka mencoba memisahkan kami...tapi Kiku terus menempel ketubuhku dengan erat, dan saat itulah salah seorang dari mereka menghentikannya...mereka menyuruh membawanya bersamaku...pergi jauh dari tanah kelahiran kami...”

Dan aku tahu dimana kisah dua kakak beradik itu berakhir.
Telawang, Kalimantan tempat dimana aku lahir.
..................................


“Kiku” dingin suaraku saat menyebutkan nama itu dihadapannya, pria Jepang yang hanya dalam waktu beberapa menit saja mampu merubah perasaan tergila-gila jadi kebencian yang meluap-luap.

Pandanganku tertuju lurus  pada lukisan didinding berlapis kertas berwarna kuning keemasan, aku memejamkan mata saat merasakan betapa miripnya detail wajahnya denganku. Kalaupun ada bedanya,  hanya pada satu hal saja, dan itu adalah tatapan mata yang mampu memberi sensasi rasa perih bagai tergores pada hati siapapun yang melihatnya.Kesamaan wajahku dengan almarhum nenekku adalah alasan mengapa Oma Meiske sangat menyayangi aku meski dia tidak pernah memperlakukan ayahku dengan baik.

“Sepasang lelaki kembar yang memiliki nama keluarga sama dengan namamu telah memperkosanya bahkan sejak dia masih belum mendapatkan haid pertama” desis suaraku terdengar bercampur isak.

“Runee-chan...”Ashida memanggil namaku pelan seraya melontarkan pandangan penuh ketidak percayaan.

Aku mengalihkan wajah kepada Reizen Ashida, menyunggingkan senyum hampa untuknya “tiga tahun dia terus menerus diperkosa secara bergantian oleh ‘entah siapa dalam keluargamu’ yang biadab, berkali-kali hamil dan selalu digugurkan secara paksa...”

Aku memejamkan mata saat ditelingaku terngiang kata-kata Oma, ‘janinnya yang kedua sudah berumur lima bulan saat digugurkan, dan saat keluar mahluk kecil merah itu masih menggelepar-gelepar dalam baskom cuci tangan’.

“Dan kau tahu, bahkan salah satu dari pemerkosa itu sendiri yang mengeluarkan janin yang bisa saja merupakan anaknya.”

Ashida-sama memejamkan matanya sesaat, ekspresinya tidak kalah terluka dariku, sangat tidak masukdiakal mengingat dia memiliki darah yang sama dengan para bajingan Jepang keparat tukang perkosa itu, darah yang juga aku warisi diluar kehendakku.

“Cukup Runee-chan...” suara permohonannya terdengar begitu tak berdaya dan menghiba.

“Dia sedang hamil tiga bulan saat Amerika membom Nagasaki dan Hiroshima, ketika para Ryakugan* ditarik dari Banjarmasin, sepasukan orang Dayak Maanyan datang untuk menyelamatkannya, mereka merawat dan memulihkan semua luka-luka yang terlihat dari luar tapi tidak luka yang tertoreh jauh didalam...”

‘Jiwanya sakit’ kata-kata Oma terdengar lagi memenuhi inti-inti sel dikealaku ‘tapi tekadnya bulat, dia ingin melahirkan bayinya dengan selamat’

Dia memijat dahinya dengan penat mendengar ocehan panjangku “Runee-chan! Kumohon dengar penjelasanku....”

“Dia berjuang untuk melahirkan ayahku dengan susah payah sampai akhirnya mati sia-sia....KAU TAHU MATIIIIIII............” aku mengakhiri ceritaku dengan jeritan marah dan pukulan bertubi-tubi kedadanya.

Kemudian aku tertawa sumbang sambil menutup mulutku dengan tangan, pastilah aku terlihat bagai orang tidak waras saat ini dimatanya, tapi apa peduliku.
Bahuku bergetar kencang menahan seluruh atmosfer penuh ketegangan diruangan emas yang mewah.

Nuansa amarah dan kegelapan begitu menyesakkan, muncul begitu saja atas apa yang aku keluarkan dari dasar hati, ledakan kebencian yang aku gurat pada keturunan pendosa itu.

‘Itulah mengapa aku tidak pernah bisa menyayangi Ditya, ayahmu’ suara hantu itu terdengar lagi, alasan terpenting yang pernah aku dengar dari bibir Oma Meis ‘wajahnya terlalu mirip dengan dua Jepang Keparat itu.’

Kekejian hatiku yang penuh dendam terasa begitu menyesakkan dan meski
aku tahu kalau  melampiaskan emosi pada orang yang tidak bersalah adalah suatu kesalahan besar, tapi aku sungguh tidak kuasa menahan amarahku saat ini. Bahkan rasa tertarikku padanya tidak dapat dijadikan penawar racun dendam yang telah lama tertanam didasar hati.
 
“Sungguh ironis bukan?” tanyaku diantara isak tangis “mati untuk melahirkan anak pemerkosa....” isakanku berubah jadi semakin buruk aku tersungkur kelantai sambil membungkuk memeluk diri sendiri, dan tak menyadari saat tiba-tiba saja dia sudah mendekapku dengan erat, tak bergeming ketika aku mencoba untuk memberontak, berusaha melepaskan diri darinya.

“Aku bersyukur dia melindungi bayinya...” bisikannya penuh kelembutan, tanpa riak emosi yang berarti.

Membuatku merasa kecewa karena hanya aku yang menangis untuk nenekku. Pikiranku kemudian  mencemoohku dari atas singgasana logika, bahkan setelah aku bercerita dengan hati berdarah-darah dan berharap dia akan menunjukkan sedikit rasa bersalah untuk itu, Reizen Ashida masih saja tetap dingin, tenang dan terkendali.

“Bayi itu berharga...bahkan lebih dari nyawanya...”
“Jangan jadi bajingan egois dengan mengatakan itu!!” aku membentak marah tapi kemudian yang kudapat darinya adalah kecupan lembut yang mendarat dipuncak kepala.

“Kau pasti mengira aku dingin dan berhati kejam bukan?” dia melanjutkan kalimatnya dengan tenang “tapi yang lahir saat itu adalah ayahmu Runee-chan, tanpanya aku tak akan pernah melihatmu.”

Aku takjub dengan cara berpikir orang ini yang luar biasa egois, apa pentingnya melihatku, aku membatin kesal, namun ajaibnya suasana hatiku terasa jadi jauh lebih baik sekarang.

“Tidak ada yang menganggapnya begitu” bisikku pelan “ayah adalah aib keluarga...”
“Sssshhhh....” dia menghentikan kalimatku dengan menempelkan jemarinya tepat didepan bibirku “hanya manusia yang sangat indah yang bisa jadi ayahmu...” matanya hangat oleh cahaya kasih sayang penuh dengan permakluman atas kegelapan sisi hatiku yang baru saja terlihat olehnya.

“Lagi pula kupikir bangsaku sudah membayar semua kekejaman itu.”

Aku mengangkat wajahku untuk menatap dari balik mataku yang basah “M-maksudmu?”

“Suatu saat kau akan melihatnya sendiri Runee-chan....” dia berbisik dengan suara penuh kepahitan “beberapa diantara kami sama menderitanya dengan para Jugun Ianfu itu”didalam  tatapan matanya tidak menyiratkan apapun, datar bagai permukaan kaca dan itu membuatku semakin merana, merasa tidak mendapat apa yang paling aku ingin darinya...sebuah pengakuan dan rasa dosa maupun bersalah.

Dia membantuku berdiri, merangkul pinggangku dengan ketat seraya mengecup puncak kepalaku berkali-kali, melumpuhkan ketidak bahagiaan dan sisa-sisa memori pahit yang masih tertanam diotak ini sekaligus membuat gamang pada pertimbangan akal sehat, tentang betapa seharusnya aku bisa membencinya bukan menyerah begitu saja.

Sementara sisi diri yang lain bicara tentang betapa kebodohan telah membekapku karena mempertahankan dendam atas derita yang bahkan tidak pernah aku rasakan, dendam yang diajarkan dari kebencian Oma Meiske pada pihak-pihak yang merenggut masa-masa indah remajanya di Ambarawa, yang kemudian harus dia jalani dengan penuh derita batin di barak-barak Ianjo* diTelawang.

‘Seumur hidup para Jugun Ianfu tidak pernah lagi merasa nyaman dengan tubuhnya’ kata-kata Oma kembali terngiang, dan aku kemudian memejamkan mata mencoba mencari-cari perbandingan atas apa yang mereka rasa dengan apa yang kurasa.

Jepang dulu bukan hanya menjajah Indonesia, melainkan juga turut menjajah tubuh para gadis-gadisnya. Tapi aku hidup pada jaman yang merdeka, tubuh, hati dan jiwakupun merdeka dan satu-satunya lelaki Jepang yang menjamahku memberikan ingatan akan kenikmatan dan pembebasan atas luka yang ditoreh oleh lelaki bangsaku sendiri dan kesimpulan itu semakin mengombang-ambingkan hati dan logika pada dua keinginan yang berbeda, keinginan untuk tetap nyaman bersama Reizen Ashida sekaligus keinginan yang baru muncul dihatiku, keinginan untuk menyakitinya.

Rasa pening yang menyengat menyerang syaraf-syaraf dikepalaku. Hal yang kerap kurasakan bila aku masuk dalam fase tidak bahagia, tertekan dan penat. Aku tahu aku tak bisa berpikir dan bertindak benar sekarang, butuh proses untuk menenangkan diri dari rasa terpukul yang begitu hebat ini, dan yang aku butuhkan cuma tempat nyaman untuk sendirian.

Kutatap Ashida-sama datar, berusaha menguasai rasa jijik yang masih tersisa dihati, sekaligus keinginan untuk memeluknya lebih lama “aku mau pulang” ulangku dengan suara serak akibat tangisan.

Tatapan kecemasannya mewarnai pemandangan dimataku “akan kuantarkan.”
Aku menggelengkan kepalaku “aku butuh sendirian.”
Aku tahu dari caranya menatapku dia tidak menyukai ide tentang aku yang pulang sendiri tanpanya, tapi dia terlalu pengertian hanya untuk membuatku marah lebih lama .

“Akan kusuruh John mengirim helikopter kesini” sahutnya pelan “tapi kau harus makan, walau cuma sedikit.”
........................................


Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa memaksa aku untuk patuh dan  menikmati santap siang kami diberanda belakang yang terbuka dan menghadap kearah pemandangan ladang bunga lavender.

Smoked lamb with asparagus dan nyaris semua hidangan lainnya yang disajikan oleh para pelayan benar-benar tidak mampu menggugah seleraku, aku segera berhenti mengunyah setelah tiga suapan, mengabaikan tatapan mata Reizen Ashida yang penuh dengan teguran.

Ini suatu keanehan yang langka, seumur hidup belum pernah nafsu makanku kacau. Aku tipe orang yang menghilangkan stres dengan makanan. Aku juga membenci aktivis yang melakukan aksi bodoh dengan cara-cara ekstrim seperti menjahit mulut atau mogok makan saat memprotes sesuatu. Kenapa enggak ada orang yang melakukan aksi demo dengan enggak berhenti ngemil, bukankah itu lebih efektif dan lebih sehat, kalaupun ada dampaknya palingan juga berat badan yang bertambah.

“Kakekku punya dua adik kembar” tiba-tiba saja suara milik Ashida-sama mengejutkan aku “Hidetoshi dan Hiroshi Ashida”

Akhirnya aku mendengar nama itu juga, dan seketika urat-urat dileherku terasa kencang begitu saja.

“Hiroshi adalah dokter tentara, sementara Hidetoshi ditugaskan sebagai perwakilan dari perusahaan kami di Borneo” Reizen Ashida menghela nafas panjang kemudian merapatkan telapak tangannya untuk menyangga dagu dengan ujung-ujung jari, menatapku dengan tatapannya yang selalu penuh ketenangan dan penguasaan diri.

“Dimasa itu, para pemuda dipaksa pergi perang dengan dibekali kepercayaan tempur dan siap untuk mati, dan pantang bagi seorang lelaki mati sebelum merasakan nikmatnya berhubungan seks dengan lawan jenis...” kalimatnya terhenti oleh lamunan panjangnya saat menatapku “untuk itu mereka membutuhkan Jugun Ianfu*.”

“Pada awalnya pihak kekaisaran mendatangkan Ianfu dari tanah asal, kemudian dari daerah Indo cina yang mereka kuasai dan ketika personil militer yang diturunkan jadi lebih banyak lagi semua itu jadi tidak mencukupi lagi.”

“Dan kalian memaksa penduduk lokal?” aku bersuara datar, dingin nyaris tanpa ekspresi.

Reizen Ashida mengangguk membenarkan “Bahkan maklumat tentang itu dibuat sendiri oleh Tenno Heika.”

Aku memejamkan mataku mencoba menahan rasa sesak tak terkira didada akibat pengakuannya.

“Suatu hari dikompi tentara pasokan gadis-gadis calon Ianfu dari Jawa datang, dan Dokter Hiroshi menemukan seorang gadis Indo diantaranya, anak remaja paling cantik yang mampu membuat para pejabat militer dan pembesar Jepang berlomba-lomba untuk menjadikannya gundik.”

“Kiku?” bisikku “dia nenekku kan?”

Reizen Ashida mengangguk setuju “nama aslinya Maria Pietersen, putri Ambtenar Jansen Pietersen dari Ambarawa.”

Aku terkejut saat menatapnya, bagaimana mungkin dia tahu apa yang tidak aku ketahui.

“Dokter Hiroshi mengganti namanya menjadi Kiku ketika dia menjadikan gadis itu istrinya.”

“Apaaa?!”
Reizen Ashida menatapku yang sedang syok berat akan pengakuan itu.

“Runee-chan, mungkin berat bagimu untuk menerimanya tapi pada kenyataanya Dokter Hiroshi menikahi nenekmu untuk melindunginya dari kemungkinan dijadikan Ianfu seperti sang kakak, Maria Pietersen tidak pernah dijadikan Jugun Ianfu oleh siapapun.”

“Tapi...tapi...”
“Namanya ditulis dalam buku garis keturunan keluarga kami, dan papan nama penghormatan untuknya dibuat bersandingan dengan sisa abu jenazah Hiroshi, kami menyimpannya di Kuil keluarga di Kyoto sebagai bentuk penghormatan.”

Itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin aku bisa mempercayai kalimatnya, bukankah Oma Meis sendiri yang bilang kalau dialah yang melihat sendiri bagaimana Hiroshi Ashida menggugurkan janin nenekku.

“Dia masih sangat muda saat mengandung anak pertama mereka, Hiroshi tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan Kiku saat melahirkan jadi dia terpaksa....” Ashida-sama memilih untuk tidak melanjutkan kalimatnya dan membuang muka kearah lain.

Semua penjelasannya bagai pukulan telak untukku.
Aku ingin berteriak padanya bahwa leluconnya sungguh tidak lucu. Menjijikkan, tapi...

“Cinta Kiku pada Hiroshi memudar seiring dengan terjadinya pengguguran berulang, dan ketika tentara Jepang ditarik dari negaramu Kiku memilih untuk tidak ikut”

Aku mendengus sinis “Bahkan mungkin sebenarnya cinta yang kau katakan padaku itu cuma dongeng belaka Ashida-san...” aku sengaja mengatakan itu untuk membuatnya marah dan terpancing, tapi aku salah, ketenangan adalah ciri khas Reizen Ashida dan emosi yang labil adalah milikku.

Tatapannya kembali padaku, aku menemukan pandangan letih pada matanya. Dia letih menghadapi penyangkalan, keegoisan dan bahkan sikap kekanak-kanakan dariku dan untuk alasan yang sangat tidak masuk diakal aku merasa malu padanya juga pada diri sendiri.

“Aku tidak akan menjelaskan apapun lagi selama kau masih dalam sikap keras kepalamu Runee-chan” gumamnya datar “Perbudakan seks adalah kesalahan kami terhadap beberapa wanita bangsamu dimasa lalu tapi bukankah kita generasi yang hidup dimasa kini...apakah kita masih perlu memperpanjang masalah benci dendam ini terus-terusan?”

Aku membisu menatap pada sisa-sisa hidangan penutup yang sama sekali tidak aku sentuh, hanya aku acak-acak dengan garpu. Entah berapa lama kami terdiam, aku membiarkan ketika para pelayan datang untuk mengambil piring makananku dan menggantinya dengan segelas anggur lokal yang aromanya enak saat itu aku baru sadar kalau Reizen Ashida sama sekali tidak menyentuh  apa-apa sejak kami duduk bersama. Aku ingin bertanya tapi bibirku terkatup dan ada semacam keengganan untuk melakukan apapun saat bersamanya.

Kutelan ludah kelu saat kebetulan mata kami bertemu dan dalam hitungan detik dia sudah menenggelamkanku kembali dikedalaman matanya yang mengandung kemurnian dan kesucian hati.

Bagaimana bisa ada orang seindah ini dijagad raya? Aku bertanya dengan hati pedih, dan kebencian terpendamku menertawakan pikiran itu saat dia kembali mengingatkanku dengan silsilah keluarganya yang bersinggungan erat dengan garis keturunanku.

Mata kami masih saling mengunci dan menenggelamkan jiwa kami masing-masing. Saat suara batuk pelan mendadak terdengar dari arah belakang. Reizen Ashida dan aku berpaling hanya untuk menemukan John berdiri dibelakang kami dengan sebuah kotak hitam eklusif dengan merek sebuah pabrikan ponsel terkenal yang umum dipakai di Jepang.

“Master, Ponsel yang anda minta telah tiba.”
Aku melihat Reizen Ashida tersenyum dalam semangat yang mendadak terlihat

“Bawa kemari John” pintanya sopan John Duhn langsung memberikan kotak ditangannya pada tuannya yang segera membukanya dengan cepat sementara aku hanya bisa memandanginya tanpa minat.

Reizen Ashida mengeluarkan sebuah benda tipis berwarna hijau dari dalamnya, benda yang mirip dengan ponsel yang kulihat di pesawat tadi, benda itu bening bagai kaca, terlihat rapuh tapi aku yakin dia tidak akan mudah pecah seperti kaca. 

Ketikadia menyentuh dengan pelan pada permukaannya yang datar dan tiba-tiba saja seluruh permukaan benda itu menyala, mataku membesar takjub atas apa yang aku lihat. Benda itu adalah ponsel layar sentuh yang sangat hebat.

“Salah satu cabang perusahaanku bekerja sama dengan pabrikan Apple yang membuat Iphone 4 untuk membuat benda ini untukku” jelasnya seraya tersenyum “Hanya ada kurang dari duapuluh didunia, dan semuanya hanya dimiliki oleh aku, keluargaku dan orang-orang yang kupercaya untuk mengawasi bisnisku.”

Aku melihatnya ketika dia menekuk ujung-ujung ponsel tipis itu, dan terkejut saat menyadari benda itu secara ajaib berubah wujud menjadi sebuah gelang yang cantik, Oh Tuhan bagaimana mungkin benda yang kelihatannya sekuat kaca bisa berubah jadi elastis begitu?

Ashida-san tersenyum puas saat menatapku, tangannya bergerak meraih tangan kiriku dan dengan satu gerakan saja dia suda meloloskan gelang ponsel itu ketanganku.

“Ajaib bukan” gumamnya puas.
“Untuk apa ini?” tanyaku bingung sambil menatap benda itu, dari dekat aku bisa melihat tampilan menu utama dilayar lednya.

“Agar aku bisa selalu menghubungimu Runee-chan.”
Aku terdiam, setelah segalanya dia masih ingin berhubungan denganku. Oh ya! itu memang bukan masalahnya tapi masalahku, pertanyaannya kini ada padaku...apa aku masih mau berhubungan dengannya?.

Batinku langsung memaki otakku yang mempertanyakan itu. dia berteriak marah karena hatiku selalu bilang kalau dia ‘sangat ingin’ selalu ada disekitar Reizen.
Sementara pikiranku menginginkan hal yang sebaliknya. Benakku mengatakan bahwa mengenal Reizen sama dengan mengenal masalah besar dan itu sukses membuat hatiku merajuk tak setuju.

“DIAM!!” Aku menengahi perang batin itu dengan memejamkan mata dan membentak diri sendiri dalam hati. Saat aku membuka mata aku menatap lurus-lurus pada Reizen Ashida yang masih menunggu reaksiku.

“Aku sudah memasukkan nomornya keakun pribadiku, kau tidak perlu memikirkan tagihan karena aku mendeposit pulsanya melalui rekening pribadi, jadi seberapa seringpun kau menelepon, itu tidak akan jadi masalah Runee-chan.”

“ Dan yang terpenting adalah sekalipun aku pergi kebelahan bumi manapun, aku tetap bisa tahu kau sedang apa dan dimana karena kita akan selalu disambungkan lewat satelit milik private providerku...”

Astaga!! Double WOW, apa aku salah kalau itu terdengar sebagai pernyataan cinta yang Romantis ditelingaku?
Dimanapun kita berada kita akan selalu terhubung oleh private provider!!
Dasar  orang Jepang, tekhnologi bahkan bisa disitir jadi pernyataan cinta.

Dan dia itu sebenarnya orang kaya macam apa , sampai punya jaringan telekomunikasi sendiri untuk ponselnya, dan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Dia pikir dirinya siapa, pangkalan militer? Atau justru sebuah negara?.

“Aku sudah mengatakan padamukan kalau aku akan membuat segalanya jadi mudah untuk kita, maksudku hubungan ini.”

Aku menggelengkan kepalaku perlahan “Kurasa kita tidak perlu  hal ini lagi Ashida-san”  bisikku lesu, “Aku...” kataku kaku “kupikir setelah ini, aku tidak ingin berhubungan lagi denganmu.”

Mata lembutnya beriak seketika, terkejut dan sedikit amarah ada disana. Tapi aku tetap memutuskan untuk melanjutkan kata-kata sesuai keinginanku...keinginan paling jahat untuk membuatnya terluka dan menderita.

“Runee-chan...jika kau masih marah soal...”
“Tidak” aku memotong kalimatnya dengan tiba-tiba “ini tidak ada kaitannya dengan masalah itu, benar katamu kalau itu hanya masa lalu” dengan licik aku menggunakan kata-kata yang tadi dia ucapkan “toh nenekku bukan satu-satunya Jugun Ianfu didunia, dan aku bukan wanita Indonesia pertama yang tertarik pada lelaki Jepang, tapi masalahnya kurasa aku benar-benar tidak bisa.”

Rahang kokohnya mengencang dan bara dimatanya menyala “Apa kau masih akan mengatakan ini kalau kau tidak pernah tahu kenyataan tentang masa lalu kakek nenek kita?” suaranya serak saat bertanya, kepalan tangannya membuatku menatap ngeri, aku takut kalau-kalau tinju itu akan membuatnya mengikuti jejak-jejak bangsanya yang penjajah itu.

Tapi aku...Oh Tuhan! Mungkin aku gila, rasa lega itu datang justru saat aku akhirnya bisa melihatnya marah.

Bukannya meminta maaf dan membenarkan kalau dia dan seksual energinya selalu bisa mempengaruhi dan membuatku mabuk kepayang, aku malah memasang wajah datar dan mengatakan kebohongan yang ingin membuat diri sendiri muntah.

“Ashida-san, kau pasti sangat tahu alasan mengapa kita sampai bisa ada disini” aku menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan kebohonganku “ketertarikan seksual adalah satu-satunya alasan, ka...”

Kata-kataku terhenti oleh tawa sinis Reizen Ashida “jadi kau mau bilang kalau ini hanya semata seks?”
Aku menelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang kering sebelum akhirnya menjawab pertanyaan itu “Ya! apalagi”

“Bahkan seks bisa membuat orang kecanduan Runee-chan...”
Ah ya ampun! Dia benar, tapi bukan aku namanya kalau tidak ahli dalam berkelit dan mengelak “Tidak kalau kita tahu ini tidak akan berlanjut.”

Aku kemudian melihatnya tersenyum, begitu licik dengan mata yang memandang meremehkan “Menurutmu apa aku akan membiarkan kau lepas begitu saja?”

Aku menatapnya ngeri “Kau tidak akan mengejarku, tidak akan...”
“Kenapa kau bisa begitu yakin?” tanyanya.
“Karena...” mendadak tenggorokanku terasa tercekat, haruskah aku mengakui padanya bahwa meski aku tahu itu salah, tapi jauh didasar hati ada keinginan yang kuat untuk membuatnya menderita seperti yang dialami oleh ayah selama bertahun-tahun hidupnya.

Tapi kemudian yang meluncur  keluar dari mulutku justru kalimat pengakuan lainnya “a-aku...kekasih dari William Hegel Gunawan.”

Suasana hening diantara kami terasa mencekam, namun aku lega karena bicara jujur tentang itu. Entah berapa lama kami hanya saling berpandangan dalam kebisuan dan  berbagai rasa yang berkecamuk dihati dan pikiran masing-masing dan lagi-lagi suara batuk John Dunn mengusik ketenangan itu.

“Master, helikopternya telah tiba.”
“Ya, John” Reizen Ashida berdiri dari duduknya tanpa menatapku “tolong antar Miss, Runee kesana..” perintahnya begitu datar sekaligus dingin dan itu membuat sekujur tubuhku merinding. Aku merasakan sensasi  kebas  yang sama seperti yang aku rasa saat Julian mencampakkanku atau bahkan sebenarnya rasanya jauh lebih buruk lagi.

“Maaf tidak bisa mengantarmu Runee-chan” bisiknya tanpa memandangku sama sekali, aku tak bisa mengatakan apapun karena tubuhku terasa lumpuh, hanya mampu memandangnya yang berlalu meningg alkanku untuk masuk kedalam rumah.

Mataku berkaca-kaca dan hatiku terasa lebih sakit dari ketika aku teringat kembali pada kisah Kiku.

“Miss...” suara John menyadarkan aku.
Kuseka airmataku dan kemudian berdiri lalu tersenyum kepadanya “bisakah kau mengantarkanku John...” pintaku lemah.

John Duhn tersenyum simpatik kemudian mengangguk “Dengan senang hati Miss’ katanya pelan sambil mempersilahkan aku untuk melangkah mengikutinya.
...............................................


Sreeeeeeeeeeeeeeetttttttt......................
Tarikan paksa itu memisalkanku dari selimut tebal yang kupakai untuk menutupi diri.
“Benar-benar bebal...........”

Itu suara Hegel, aku membuka mata dan menemukannya tegak menatapku dengan wajah marah “aku tidak meninggalkanmu disini sendirian untuk terus menerus menangisi mantanmu yang brengsek itu Seruni” gerutunya kesal.

“Ap-pa?!” oh ya ampun, pastilah saat ini dia mengira aku diam-diam menangisi Julian.

“Kapan kau pulang?” tanyaku sambil menyedot ingusku, suara yang ditimbulkan oleh perbuatan itu benar-benar menjijikkan, tapi ini didepan Hegel, aku nyaman untuk melakukan apapun bahkan mungkin jika ada yang menantangku untuk buang angin didepannya dengan senang hati aku akan melakukannya, cukup siapkan saja uang lima puluh juta kalau tidak percaya.

“Berhenti menangis Runi atau perlu aku menelpon kepala Bank Indonesia sekarang juga untuk menyuruh salah satu bankir menyita sebagian asetnya perusahaannya supaya kena krisis dan dia hancur...”bukannya menjawab pertanyaanku dia malah sempurna melakukan pengabaian.

Aku tahu dia cuma menebar ancaman, tapi terakhir kali ada lelaki yang membuatku menangis saat kuliah dulu, Hegel menghajarnya sampai mengalami gegar otak parah. Dia masuk bui tapi kemudian ayah tirinya memakai  pengaruh bawah tanah untuk membebaskan Hegel.

Aku tertawa kecil sambil menghapus sisa-sisa air mata “Aku justru heran kau belum melakukannya” ejekku “ tapi sepertinya dia mengalami sesuatu’ sambungku lagi “aku tidak tahu apa alasannya tapi sepertinya dari tadi Julian –sikecoa- berusaha menghubungi aku lewat email dan juga sambungan telepon.”

Dahi Hegel berkerut saat menatapku, matanya menyiratkan rasa tidak suka “Oh Ya!” katanya “mau apa dia?”
“Mana kutahu!  Tadinya kupikir kau sudah membuatnya bangkrut sebelum kita sampai ke Jepang” balasku datar.

Hegel tersenyum licik sambil mengangkat bahunya “Belum” sahutnya “aku masih sibuk untuk sekedar mengurusi mantanmu itu”

“Wow! Itu sungguh diluar kebiasaan, kupikir kau sangat menyayangi aku dan selalu tak sabar untuk membalas dendam pada siapapun yang menyakitiku, tahunyaaa.....ahhh sudahlah” cetusku pura-pura kecewa “Ngomong-ngomong kau belum menjawab pertanyaanku tadi” aku balik membentaknya “kapan kau pulang dari Okinawa?”

“Ah!” dia memegangi lehernya sambil menggerakkannya kekiri kanan “baru saja”

“Kau pergi dengan siapa?”
”Direksi Ashida Holding Company mengajakku naik Helikopter, sialan benar si Jepang kayaraya tukang pamer itu, ada didekatnya membuat harga diriku turun dan aku merasa bagai CEO yang menjual produk kacang goreng”

Aku diam saja mendengar ocehan itu, gerutuan Hegel memang sudah pada tempatnya masa dia lupa kalau ayah tirinya memulai bisnis kacang kulit yang kini bahkan sudah mampu menjadi sponsor klub sepakbola terkenal. Lagipula kalau ngobrol soal kekayaan dengan Reizen Ashida, tentu saja dia sangat sulit untuk ditandingi. Kekayaannya mungkin seratus kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan kekayaan Hegel.

“Mandilah dulu” suruhku “kau kelihatan lelah sekali.”
“Hmm..” desahnya “sangat kelelahan”
“Aku akan memesan makan malam kita agar diantar kesini saja, bagaimana menurutmu?”

Dia tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk lalu berjalan kearah kamar mandi dengan wajah masih terlihat kesal entah karena apa. Sepeninggalannya aku hanya bisa menghela nafas panjang.

Dua puluh menit kemudian Hegel keluar hanya dengan mengenakan kimono mandi, tangannya yang lain bergerak menggosokkan handuk kecil keatas kepalanya untuk mengeringkan rambut yang basah. Dia melirikku sekilas, masih sambil sedikit cemberut, tapi saat melihat mataku sudah kering dia tersenyum lega.

“Sudah nangisnya?’ dia bertanya sambil mengambil tempat disebelahku, kami duduk bersebelahan sambil menatap televisi yang menayangkan acara masak-masak dengan bosan.

“Aku enggak nangis kok” jawabku “Cuma kelilipan.”
“Kelilipan infotainment atau gosip ditabloid online?” ejeknya geli.

Aku tidak menghiraukan ejekannya itu, lebih memilih untuk mengambil makan malam kami dari kereta dorong dan kemudian menaruh meja sarapan kecil penuh makanan  diatas tubuhnya lalu mengambil jatah bagian untukku sendiri.

Diatas meja itu terhidang  Classic Onion Cream Soup sebagai hidangan pembuka, sup bawang dengan kuah krim kental itu menawarkan aroma yang sangat nikmat, aku sengaja memilih ini karena butuh menyamankan perutku. Sejak mengabaikan makan siang di Biei aku belum menyentuh makanan apapun lagi, aku  sungguh-sungguh kelaparan berat bagai Singa yang puasa satu minggu.

Disebelahku Hegel sibuk menggonta-ganti channel tv tanpa memandang sedikitpun pada makanannya.

“Apa mereka benar-benar akan memilih kita sebagai mitra kerja?” aku bertanya sambil setelah berhasil menelan makan malamku dengan susah payah, aku tidak begitu suka rasa krim kental yangt bercampur rempah, sup bawang ini terasa lebih Italia ketimbang Perancis.

“Kurasa tidak ada mitra kerja lainnya yang lebih berprospek selain kita” Hegel menyahuti acuh “lagipula aku tidak terlalu peduli mereka suka atau tidak, soalnya selain Ashida Grup beberapa penawaran lain datang dari grup besar lainnya.”

Sementara aku hanya terdiam dan berusaha menganalis informasi itu dengan otakku, akan lebih baik dampaknya untukku kalau Reizen Ashida membatalkan rencana kerja samanya dengan Hegel. Aku benar-benar tidak sanggup membayangkan bagaimana jika dia tetap ngotot ingin kerjasama. Setelah pengakuanku tadi, bisa saja dia tersinggung berat dan berniat ingin balas dendam padaku melalui Hegel.

‘Ah! Ya ampuuunnn...sadarlah Runi’ aku menegur diri sendiri atas pikiran dangkal itu. Apa pentingnya aku bagi orang sepenting dan sehebat Reizen Ashida, oke mungkin cukup penting mengingat sebagian darah kami yang sama tapi jika sampai berpikir dia akan melakukan sesuatu untuk kembali mendapatkan aku, itu lelucon namanya.

“Aku akan memikirkan baik-baik apa akan mengambil kesempatan kerja sama itu atau tidak” katanya “kudengar Ashida grup seringkali mengakhiri hubungan kerjasama secara sepihak, membuat rugi partner kerjanya dan setelahnya mengakuisisi perusahaan itu tanpa belas kasihan” jelasnya datar “kalau itu benar aku tidak akan sudi bekerja sama dengan mereka Runi.”

Aku mengangguk setuju.
Baik aku maupun Hegel kemudian tidak membahas apapun lagi tentang hubungan kerja itu. Lagipula aku tidak berminat membahas pengalaman pribadiku bersama Reizen Ashida lebih jauh dengan Hegel.

“Runi!”
Suara panggilan Hegel mengalihkan lamunanku. Aku menoleh untuk menatap padanya. Dahiku berkerut saat menemukan arah pandangannya tidak tertuju padaku.
“Aku enggak mau kamu nangis untuk cowok lain lagi” dia melanjutkan kalimatnya “aku enggak akan tahan lagi kalo itu sampai terjadi....”

Aku diam berusaha memahami arah pembicaraannya, aku tetap diam saat kemudian Hegel menepikan meja kecil itu dari atas tubuhnya, kemudian melakukan hal yang sama pada mejaku, kemudian dia duduk tepat dihadapanku diantara kedua kakiku yang dijepit oleh lututnya.

“Kali ini aku enggak akan biarin kamu lepas lagi untuk orang lain...enggak ada lagi Julian KW 1 ataupun Julian KW super, OK!”

Aku tertawa kecil mendengar peringatannya itu. Hegel terkadang sanggup membuat aku terbahak atas pilihan kata-katanya yang sering kali mengejutkan,

“Hanya boleh ada aku, OK!” serunya tanpa peduli dengan reaksiku itu.
“Ngapain sih elu ngotot banget” gerutuku sambil geleng-geleng kepala kemudian bergerak untuk bersandar dibantal bulu empuk yang menyangga punggungku “kita butuh waktu banyak untuk bisa kembali ngerasain feel kayak dulu...”

Dia mengerjabkan matanya sesaat sebelum balik menatapku penuh dengan kerinduan “Aku kangen masa itu, sayang” desahnya pelan “aku kangen banget sama kamu yang dulu.”

Aku menelan ludah dengan gugup, rasa-rasanya sudah terlalu lama kami tidak membicarakan masa lalu.
“Mungkin dulu seharusnya aku enggak pernah membuka jati diri aku yang sebenarnya sama kamu, agar kamu selalu bisa sama-sama aku sampai sekarang.”

“Gel” tegurku “dulu itu sudah benar.”
Dia menggelengkan kepalanya enggak setuju sambil menatapku dengan tatapan marah berbaur dengan penyesalan “Kalau dulu aku enggak buka rahasia kalo aku sepupu yang kamu cari-cari apa kamu masih bakal mutusin aku?” pertanyaan itu mendesakku pada ingatan tentang hal yang sama.

Aku sudah jadi yatim piatu saat pergi ke Jakarta untuk mencari satu-satunya keluarga yang masih kupunya, dan aku tidak pernah menduga kalau William Ng cowok idola nan maha tajir seantero Jakarta adalah sepupu yang aku cari-cari.

Karena tidak mengenalinya lagi, aku oke-oke saja saat dia menyatakan cinta padaku. Jadi pacar Liam, nama panggilan Hegel saat itu  adalah status paling menguntungkan yang bikin aku enggak perlu banting tulang untuk mencukupi kehidupanku karena Liam mampu memberikan apasaja.

Semuanya terasa menyenangkan, dia yang begitu tergila-gila dan menyayangi aku adalah kekasih paling sempurna untuk gadis yatim piatu miskin dan kesepian. 

Tapi semuanya enggak berlangsung lama, saat ibunya tahu kalau anak kesayangannya tergila-gila pada cewek hina dina semuanya jadi terasa buruk untukku karena tante Lidya menggunakan segala cara untuk menghalangi cinta monyet kami.

Aku sudah nyaris dijual kemucikari pemilik rumah bordil paling terkenal di Jakarta kalau saja Hegel tidak mengaku pada sang mama kalau dia tahu siapa aku yang sebenarnya, dan tante Lidya bersedia menerimaku dirumahnya selama Hegel dan aku mau berjanji untuk tidak lagi saling berhubungan.

Hegel menolak mentah-mentah ide itu, tapi aku didepan tante Lidya menyanggupi syaratnya.

Aku mendesah penuh rasa bersalah, kusentuh wajahnya dengan hati-hati.“Dulu itu aku yang salah” kataku mengakui “aku manfaatin kamu untuk sekedar cari kenyamanan, dulu aku percaya kalo anak yatim piatu jadi cewek matre itu bukan aib apalagi dosa”

Hegel tertawa kecil penuh pemakluman tengan kirinya balik memegangi tanganku “Sampai sekarang juga kamu masih matre kok” cetusnya santai “kamu selalu bikin aku ngerasa terancam kalau ada lelaki lain yang punya uang lebih banyak dari yang kupunya.”

“Aku enggak maksud bikin kamu gitu” bantahku pelan “kamu yang paling hebat Hegel” aku jujur saat mengatakan ini “aku nyesel kenapa kita harus jadi sepupu.”

Hegel mengangkat bahu dengan tak acuh “Sepupu atau bukan aku sudah enggak peduli lagi kok Run...” bisiknya tegas “kita nikah yuk” ajakannya begitu mengejutkan “secepatnya...”

Kulepaskan tanganku dari wajahnya dan langsung pasang wajah cemberut sata menatapnya “mulai lagi deh...” omelku ketus “aku masih pengen hidup lebih lama sedikit Hegel, kalo Tante Lidya sampai tahu niat kamu ini gimana? Kamu mau aku dijual lagi ke Mucikari? Aku udah enggak muda lagi, pasti mucikarinya bayar tubuh aku dengan harga murah” candaku sambil tertawa geli sendiri.

“Dia itu ibu aku Runi, sejahat apapun dia dulu bukannya sekarang dia udah mulai bisa menerima kamu..”

“Itu karena aku enggak pernah ngusik kamu, lagipula kemarin-kemarin aku punya Julian. Itu yang bikin dia berpikir kalo kamu aman dari tangan penyihir kecil matre kayak aku ini...”

“Kalo gitu kita nikah diem-diem aja ya... ya... ya... atur aja jadwal aku bisnis ke Vegas bulan depan, kita nikah disana, kamu setuju enggak?”

“ENGGAAKKK!!” aku beranjak dari atas kasur dan segera melangkah menuju kulkas yang tersembunyi didalam sebuah lemari kayu disudut ruangan, berdebat dengan Hegel bikin aku haus saja.

“Kenapa? Kamu enggak nyadar sih, kalo kita sudah hampir masuk kepala tiga?” gerutunya kesal  “Sialan Runi! mungkin kamu enggak kepikiran tapi aku pengen juga punya anak tau...”

WHAT THE HELL!!

Aku menoleh kearahnya dengan takjub.
Barusan dia bilang apa? Anak! Kayak dikiranya aku enggak mau aja, aku sangat..sangat mau tapi kalau itu anaknya...oke! mungkin aku cuma parno, tapi sumpah aku enggak berharap kalau anakku punya nenek macam Tante Lidya. Gilaaa...bisa dibuang ketong sampah anakku.

Aku membuka pintu kulkas dengan kasar, nyaris setengah marah saat membuka tutup kaleng Pocari. Hegel dengan idenya yang selalu gila bikin aku tambah stres saja. Aku menenggak minuman itu persis kayak kuli bangunan yang kehausan setengah mati, dalam sekejap isinya langsung tandas.

Baru saja kau hendak melemparkan sampah kalengku ke tong sampah saat pelukan erat Hegel membelitku dari belakang, aku terdiam kaku karena pelukan itu justru mengingatkan aku akan perlakuan yang sama dari seseorang “Aku pengen bahagia sama kamu” bisiknya lirih, kepalanya bertumpu dibahu kiriku, menempel rapat dan ketat.

“Aku takut kamu akan kembali menemukan orang lain kalau aku sampai enggak berhasil bikin kamu berubah pikiran saat ini juga” entah mengapa aku mendengar kesedihan yang begitu kentara dalam nada suaranya.

“Runi ayo kita nikah! Trus bulan madu secepatnya, kalau kamu hamil kamu tinggal di LA saja sampai melahirkan, setelah anak kita satu tahun baru kamu pulang ke Indonesia...”

Aku melepaskan diri dari pelukan Hegel dengan paksa, kutatap dia dengan penuh amarah “Kamu jangan gila Hegel!!” bentakku kesal “enggak lucu tau! kamu udah bikin aku takut, aku enggak mau dengar rengekan kamu terus-terusan, kamu mengerikan!!”

“Aku tahu, tapi...”
“Apa, kamu mau bilang kalo kamu cinta aku, kamu enggak mau kehilangan aku, GITU!?”
“Nggak..eh, iya aku memang cinta kamu tapi...”
“APAAAA!!??”

Hegel menatapku dalam-dalam, dahinya berkerut dan aku melihatnya menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, dia terlihat begitu bingung sekaligus terpukul.

“Aku enggak tahu Dokter Romi sedang kasih aku lelucon April fool atau apa, tapi inikan bulan Oktober” desahnya lelah “Tapi dia bilang aku...” wajahnya terlipat menahan perih dan gelombang kengerian mengalir deras bagai angin menjelang badai kearahku “ aku, dia bilang...aku...”

“Hegel!” gumamku panik “kau kenapa?”

Saat itulah aku melihatnya bernafas pendek-pendek bagai terkena serangan asma ...” suara itu berubah jadi isakan tertahan yang membuatku kebingungan “Runi, dokter Romi bilang aku kena kanker otak...”

Aku membekap mulutku, mencoba untuk tidak berteriak syok, dan sekali lagi hantaman dingin dan kengerian itu mencerabut jiwaku dari tempat keberadaannya.
...........................
TBC


Note”
•    Ryakugan : Angkatan darat dari militer Jepang.
•    Ianjo: Rumah perempuan, istilah lain dari barak-barak yang dihuni oleh para Jugun Ianfu yang dikelola secara profesional oleh pemerintah Jepang.
•    Jugun Ianfu: Comfort Woman, mereka sering kali disamakan dengan Pelacur, padahal mereka adalah perempuan yang jadi korban kekerasan seksual pada era kependudukan Jepang di Indonesia.

Badless LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang