15. (a) Night of Thousand lanterns

36.3K 1.6K 95
                                    

Aku melangkah tanpa alas kaki menelusuri lorong panjang yang membelah deretan kamar di lantai dua resort. Gaun yang ku kenakan berkibar oleh gerakanku. Dan segalanya mengundang perhatian dari beberapa orang yang kebetulan berpapasan denganku.

Tapi aku tidak peduli. Tidak, di saat seluruh unsur dalam jiwa dan ragaku selaras dalam kesepakatan terhadap satu-satunya orang yang menjadi obsesi sekaligus keinginan terbesar. Reizen Ashida. Diriku hanya menginginkannya.

Aku meluncur turun pada tangga utama dengan tak sabar, beberapa pengawal Zen hanya melihat dengan kebingungan.Tapi mereka tidak melakukan apapun untuk melarangku bertindak semaunya. Aku selalu di istimewakan, tentu saja.

“Runee-chan …” pengawal pribadi Ashida, Tanabe-san—si lelaki bercodet—menyapaku saat aku dengan tak sabar menerjang masuk ke ruang kerja bosnya. Reizen mengangkat kepalanya dan menatapku bingung dari kursi yang ia duduki.

“Aku memilihmu …” nafasku terengah saat mengakuinya. Tapi satu-satunya yang aku inginkan saat ini adalah mengatakan seluruh isi hatiku padanya.

“Runee-chan …”

“Aku akan tetap bersamamu tidak peduli separah apalagi kebohongan yang kau sembunyikan di belakangku. Aku akan bersamamu walau besok mungkin saja kau akan bilang dirimu gay, atau heteroseks, atau transgender, atau  pengidap aids. Aku tidak akan peduli lagi Ashida-san, aku akan tetap bersamamu selamanya …” nafasku terengah, tapi alih-alih rasa sesak, justru kelegaanlah yang melandaku saat pengakuan itu usai terucap.

Dengan tatapan berkaca-kaca aku menatap lurus pada matanya yang selalu tenang, namun hari ini ketenangan justru tidak kutemukan di sana. Mata itu di penuhi riak emosi yang terarah pada apa yang kuharapkan. Zen merasakan ketulusan, keinginan juga harapan yang terkandung di dalam semua janji yang baru saja kuucap. Dan aku tersenyum dengan penuh kebanggaan pada keberanian diriku dengan pilihan yang aku buat. Ya! Dunia memang sudah gila, jadi apa salahnya jika aku memutuskan untuk ikut gila dengan mengakui hal sepenting ini tanpa pikir panjang lagi.

Kulihat bibir Reizen terbuka dan menutup dalam hitungan detik, “Uhm,” aku mendengarnya menggumam ragu, “Aku menunda meeting ini sampai dua jam lagi, oke”

“Apa?” tanyaku tidak percaya. Reizen tidak mengatakan apapun hanya menunjuk dengan dagunya ke balik punggungku, aku berbalik dan menemukan Sembilan wajah yang terhubung lewat layar raksasa menatap kami dengan beragam ekspresi. “TIDAK!!” aku menjerit panik sambil melompat mundur kebelakang dengan tidak percaya tepat sebelum layar dihadapanku mati. Lama setelah layar padam aku hanya mampu menatapnya dengan bibir terbuka lebar. “A-apa yang sudah kulakukan?” Desahku dengan wajah yang terasa panas setelah mulai bisa mengendalikan keterkejutan.

Suara tawa kecilnya terdengar tepat di belakang punggung, bulu kudukku meremang mendengarnya dan aku tidak berani mengambil resiko untuk menoleh. Tidak! Yang ku mau adalah pergi dari sini, sekarang juga!! “Aku uhm … kurasa sebaiknya aku kembali ke kamar.” Dengan ketakutan aku hendak berbalik menuju pintu, tapi cengkraman kuat di pergelangan tanganku menghentikannya.

Reizen mendekapku dari belakang, lengannya yang berotot membelit dari pinggang kanan ke bahu sebelah kiri. “Jangan merasa bersalah sayang,” bisikkannya menenangkan. “Aku terlalu bahagia untuk melepaskanmu sekarang.” Tambahnya lagi.

Badless LoveWhere stories live. Discover now