5. (c) After

58.9K 1.9K 50
                                    

Perjalanan dari Tokyo ke Yokohama tidak memakan waktu lama. Hegel mengajakku naik dari stasiun Shinjuku dengan Kodama alias Shinkansen kelas paling standar yang butuh waktu lebih kurang tigapuluh menitan untuk sampai ke Yokohama.

Ini relatif lambat ketimbang memilih jalur Tokaido dari stasiun Tokyo yang bisa ditempuh dengan Shinkansen super express atau Nozomi Shinkansen. Kami sengaja memilih jalur ini karena memang ingin lebih santai dan harap dimaklumi mengingat ini pengalaman pertamaku naik bullet train sehingga aku benar-benar ingin menikmatinya tanpa harus diburu waktu.

Semuanya nyaris sempurna jika saja aku bisa berhenti mengingat kejadian kemarin sore.

 “Berhenti marah padaku Runi” tegur Hegel dengan pandangan memperingatkan “aku bukan memintamu untuk menggorok lehermu, aku cuma ingin kita menikah tahun ini, itu saja...”

Aku mendengus pelan tanpa mengalihkan pandangan kejendela disampingku, sudah sejak kemarin sore aku memutuskan untuk mendiamkannya nyaris disepanjang waktu.

Sumpah, aku kesal sekali dengan caranya mempermainkan aku. Melamarku! Huh! Aku enggak ngerti apa yang dia pikirkan ketika memutuskan itu. meski kami pernah bersama saat masih abg putih abu-abu bukan berarti dia bisa menjadi lelaki yang akan menikahi aku.

Kami terlalu terlalu dekat sampai-sampai dia tidak bisa menyembunyikan segala bentuk kelakuan bejadnya dariku. Jadi setelah melihat rupa-rupa tingkah Hegel mana mungkin kalau itu tidak bisa membuatku menarik pelajaran berharga, seperti yang sering aku lakukan saat mengasihani mantan-mantan pacar yang dia kencani setelah aku. Sama sekali tidak pernah terpikir olehku untuk bersamanya, dalam ikatan bernama pernikahan. Bahkan dalam mimpi sekalipun.

“Runi katakan sesuatu...” bujuknya putus asa.

“Sesuatu!” ulangku datar dan dingin, dan dari kaca Shinkansen aku melihat bayangannya sedang menjambak rambut dengan kesal.

Disaat norma, melihatnya seperti itu bisa membuatku tertawa tapi sekarang...

“Runi, apa sih yang kau takutkan? Kita sudah saling mengenal nyaris sepanjang usia kita sayaaaang, aneh bangetkan kalo kita enggak nikah, mau tahu setiap reuni dateng barengan tapi setiap kali ditanya status kita masih sahabatan teruuuuss, aku capek yang...”

Errrggg, dasar Hegel payah, masa kami harus nikah cuma gara-gara ingin ada peningkatan status untuk dipamerkan saat reuni uhh..

“Tanya sama diri kamu sendiri, apa pernah aku nyakitin kamu dengan berbuat yang aneh-aneh walau kamu tahu aku sangat menginginkan kamu...”

Perlahan kupejamkan mata dan membenarkan semua kata-katanya. Hegel tidak pernah menyakiti aku, sama sekali tidak pernah. Tapi bukan dirinya sumber ketakutan yang membuat aku dulu memutuskan untuk mengakhiri cinta remaja kami...bukan Hegel, melainkan ibunya.

Aku bergidik dan bisa merasakan bulu kudukku ikut berdiri saat mengingat tatapan mata yang menghujamku dengan sorot mata menuduh milik Tante Lidya saat Hegel mengatakan pada beliau kalau kami telah berpacaran.

Oke, ini mungkin akan kedengaran sangat jahat, tapi sejak kami putus dulu aku sudah menyatakan pada diri sendiri apapun yang terjadi, bahkan jika dimuka bumi hanya tinggal Hegel sebagai satu-satunya lelaki aku enggak akan pernah –dan sudi- menjadi kekasih atau mengenalnya lebih dari sahabat, tidak selama tante Lidya masih hidup.

Badless LoveМесто, где живут истории. Откройте их для себя